Jajangmyeon. Foto: KFoodaddict (Wikipedia)

Jajangmyeon, sebuah hidangan mi khas Korea-Tionghoa yang diperkenalkan oleh para imigran Tiongkok pada akhir abad ke-19. Hidangan mi gandum tebal ini disajikan dengan saus kacang hitam yang kental, menciptakan kombinasi rasa dan tekstur yang unik. Seiring berjalannya waktu, jajangmyeon tidak hanya menjadi hidangan yang populer, tetapi juga mengakar dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi ikon budaya di masyarakat Korea.

Cita rasa khas jajangmyeon berasal dari dua komponen utamanya, yaitu mi dan saus kacang hitam. Mi yang digunakan dalam jajangmyeon adalah mi tepung gandum yang tebal dan kenyal. Tekstur kenyal dari mi ini menjadi salah satu daya tarik utama dari jajangmyeon.

Saus yang dikenal sebagai jajang merupakan komponen inti lainnya dari hidangan ini. Bahan utama dalam saus ini adalah chunjang, yaitu pasta kacang hitam Korea yang memberikan cita rasa khas dan warna gelap pada jajangmyeon. Chunjang terbuat dari kacang kedelai yang dipanggang, menciptakan profil rasa yang unik. Saus ini biasanya disiapkan dengan menggoreng chunjang terlebih dahulu untuk memperkaya rasa.

Bahan-bahan lain yang digunakan dalam pembuatan saus jajang adalah daging, biasanya daging babi yang dipotong dadu, meskipun beberapa resep menggunakan daging sapi. Sayuran seperti bawang bombay, zucchini Korea, dan kubis juga sering ditambahkan untuk memberikan tekstur tambahan. Bumbu seperti daun bawang, jahe, dan bawang putih turut menyumbangkan rasa pada saus ini. Beberapa variasi juga menambahkan makanan laut seperti cumi-cumi atau udang, serta tepung kanji yang digunakan untuk mengentalkan saus.

Ketika disajikan, jajangmyeon sering disajikan bersama potongan mentimun yang memberikan kesegaran dan tektsur renyah, kontras dengan saus yang kaya rasa. Hidangan ini biasanya ditemani oleh danmuji, acar lobak kuning, serta potongan bawang mentah yang bisa dicelupkan ke dalam saus chunjang tambahan.

ajangmyeon memiliki asal-usul yang dapat ditelusuri kembali ke akhir abad ke-19, ketika para imigran Tiongkok dari provinsi Shandong membawa tradisi kuliner mereka ke Incheon, Korea. Hidangan ini pertama kali diperkenalkan di Gonghwachun, sebuah restoran Tiongkok yang didirikan pada tahun 1905 di Pecinan Incheon, yang kini menjadi Museum Jajangmyeon. Restoran ini memainkan peran penting dalam mengadaptasi hidangan Tiongkok asli, zhájiàngmiàn (炸醬麵), agar sesuai dengan selera warga Korea.

Adaptasi jajangmyeon oleh para koki Korea berkembang jauh dari versi aslinya di Tiongkok. Meskipun kedua hidangan ini memiliki elemen yang sama seperti daging babi, mi gandum, dan saus yang terbuat dari pasta kedelai fermentasi, para koki Korea menambahkan karamel untuk menambah rasa manis pada saus dan menggabungkan bahan-bahan tambahan untuk membuat saus yang lebih gelap. Perubahan ini menghasilkan saus hitam-coklat pekat yang menjadi ciri khas jajangmyeon modern.

Zhajiangmian. Foto: Zheng Zhou (Wikipedia)

Popularitas jajangmyeon di Korea meningkat pesat setelah Perang Korea, tepatnya pada pertengahan 1950-an. Hidangan ini menjadi populer karena harganya yang terjangkau, menjadikannya dapat dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat, termasuk pedagang yang mengunjungi pelabuhan Incheon yang sibuk dan pekerja di pasar ikan. Keterjangkauan ini berkontribusi pada penyebarannya yang cepat di seluruh negeri, mengubahnya dari hidangan asing menjadi makanan yang dicintai di Korea.

Dampak budaya jajangmyeon melampaui daya tarik kulinernya. Di Korea Selatan, jajangmyeon telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya populer dan kehidupan sehari-hari. Misalnya, jajangmyeon sering dikaitkan dengan layanan pengantaran makanan, karena merupakan salah satu hidangan pertama yang tersedia secara luas untuk pengantaran cepat ke rumah. Hidangan ini biasanya diantar dalam kotak timah khusus dan tiba dalam waktu kurang dari 30 menit setelah dipesan, menjadikannya pilihan populer bagi masyarakat Korea yang sibuk.

Jajangmyeon juga sering muncul dalam media dan hiburan Korea. Hidangan ini sering kali digambarkan sebagai makanan penghibur atau pilihan makanan yang cocok untuk karakter dalam drama dan film Korea di berbagai situasi. Representasi ini semakin mengukuhkan statusnya sebagai ikon budaya. Signifikansi budaya hidangan ini mungkin paling terlihat dalam tradisi “Black Day”. Pada tanggal 14 April, di mana para lajang di Korea berkumpul untuk mengonsumsi jajangmyeon sebagai cara untuk menyatakan status mereka yang belum menikah.

Seiring dengan meningkatnya popularitas jajangmyeon, hidangan ini telah mengalami berbagai modifikasi untuk memenuhi berbagai selera dan preferensi. Salah satu variasi yang populer adalah gan-jjajang, yang menggunakan saus yang lebih kering tanpa menambahkan air atau kaldu, menghasilkan rasa yang lebih pekat dan konsistensi saus yang lebih kental.

Ada juga jaengban-jjajang, di mana mi yang sudah direbus diaduk bersama saus di dalam wajan dan disajikan di atas piring, memberikan tekstur dan penyajian yang sedikit berbeda. Yuni-jjajang, yang menggunakan daging cincang alih-alih daging yang dipotong dadu, juga menjadi salah satu variasi yang digemari. Sedangkan samseon-jjajang menambahkan makanan laut seperti cumi-cumi dan kerang ke dalam saus, menawarkan rasa yang lebih kompleks.

Variasi populer lainnya adalah jajang-bap, yang menggantikan mi dengan nasi, memberikan tekstur yang berbeda sambil tetap mempertahankan rasa khas saus kacang hitam. Variasi ini sering kali dikombinasikan, menciptakan kombinasi baru seperti samseon-gan-jjajang, yang menggabungkan saus kering dengan tambahan makanan laut.

Fleksibilitas jajangmyeon memungkinkan inovasi yang terus berlanjut, dengan koki dan juru masak rumahan sama-sama bereksperimen dengan bahan-bahan dan metode pengolahan yang baru. Adaptabilitas ini telah berkontribusi pada popularitas jajangmyeon yang terus bertahan dan kemampuannya untuk memenuhi berbagai selera.

Dirayakan setiap tahun pada tanggal 14 April, Black Day adalah hari tidak resmi yang diperuntukkan bagi para lajang yang tidak menerima hadiah pada Hari Valentine (14 Februari) atau White Day (14 Maret). Pada hari ini, orang-orang yang belum memiliki pasangan berkumpul untuk makan jajangmyeon sebagai cara untuk mengekspresikan status mereka. Tradisi ini mendapatkan namanya dari warna hitam saus jajangmyeon, yang melambangkan “kegelapan” dari status lajang.

Gan-jjajang, salah satu variasi jajangmyeon. Foto: moriza (Flickr)

Hubungan antara jajangmyeon dan Black Day semakin meningkatkan signifikansi budaya dari hidangan ini. Jajangmyeon tidak lagi sekadar makanan biasa, melainkan menjadi simbol solidaritas di antara para lajang dan cara yang ringan untuk menghadapi tekanan dalam hubungan romantis dalam masyarakat Korea.

Restoran dan layanan pengantaran makanan sering memanfaatkan tradisi ini dengan menawarkan promosi khusus pada Black Day. Beberapa tempat bahkan mengadakan acara atau pesta bagi para lajang untuk berkumpul dan menikmati jajangmyeon bersama-sama. Tradisi ini juga telah memengaruhi budaya populer, di mana referensi Black Day telah muncul dalam drama, film, dan media lainnya di Korea. Hal ini telah membantu menyebarkan kesadaran tentang tradisi ini di luar Korea, menjadikannya titik menarik bagi para penggemar budaya Korea di seluruh dunia.

Adaptasi halal jajangmyeon telah muncul untuk memenuhi kebutuhan konsumen Muslim serta mereka yang mencari opsi halal baik di Korea maupun di luar negeri. Adaptasi ini bertujuan untuk mempertahankan rasa khas jajangmyeon sambil mematuhi hukum makanan Islam. Perubahan utama dalam adaptasi halal meliputi penggantian daging babi dengan daging sapi, ayam, atau domba yang bersertifikat halal. Beberapa versi juga memilih makanan laut seperti udang atau cumi-cumi yang umumnya dianggap halal.

Bahan-bahan dalam saus seperti chunjang juga harus bersertifikat halal, karena beberapa resep saus versi tradisional mungkin mengandung bahan yang tidak memenuhi kriteria ini. Produsen telah mulai memproduksi chunjang bersertifikat halal untuk memenuhi permintaan.

Dalam pengolahannya, anggur masak atau bahan beraroma alkohol diganti dengan alternatif halal, dan peralatan serta area memasak yang terpisah digunakan di restoran yang menawarkan jajangmyeon halal untuk menghindari kontaminasi dengan bahan yang tidak halal.

Adaptasi jajangmyeon sesuai standar halal mencerminkan tren yang lebih luas dalam industri makanan halal global. Dengan semakin meningkatnya populasi Muslim di negara-negara non-Muslim, permintaan akan versi halal dari hidangan lokal yang populer semakin meningkat. Tren ini terutama terlihat di negara-negara seperti Jepang dan Korea, di mana imigran dan turis Muslim mencari rasa yang sesuai dengan pembatasan diet mereka.

Perjalanan jajangmyeon dari hidangan imigran Tiongkok hingga menjadi makanan pokok yang dicintai di Korea mencerminkan sifat dinamis dari tradisi kuliner dan kemampuannya untuk beradaptasi lintas budaya. Dari asal-usulnya di Pecinan Incheon hingga perannya dalam tradisi unik “Black Day”, jajangmyeon telah menjadi bagian integral dari masakan dan budaya populer Korea. Fleksibilitas jajangmyeon tercermin dalam variasi resepnya yang dapat memenuhi beragam selera sambil mempertahankan identitas intinya. Munculnya adaptasi halal juga menjadi cerminan dari respons industri makanan global terhadap perubahan demografi dan kebutuhan diet.