
Seorang prajurit Korea Utara berhasil membelot ke Korea Selatan pada 19 Oktober 2025 dengan menyeberangi Zona Demiliterisasi (DMZ), kawasan perbatasan yang memisahkan kedua negara. Insiden ini menjadi pembelotan militer pertama dalam lebih dari setahun. Prajurit tersebut menyeberangi salah satu perbatasan paling berbahaya di dunia yang dipenuhi ranjau darat dan sistem pengawasan ketat, dan setelah mencapai pasukan Korea Selatan ia langsung menyatakan niatnya untuk membelot.
Kronologi Pembelotan
Pembelotan terjadi di bagian tengah garis demarkasi militer saat pasukan Korea Selatan mendeteksi pergerakan mencurigakan dari utara. Berbeda dari sebagian besar kasus pembelotan sebelumnya yang berlangsung dramatis, kali ini prajurit tersebut bergerak perlahan dan tetap terpantau kamera pengawas sepanjang penyeberangan. Setelah mencapai titik aman, pasukan Korea Selatan melaksanakan prosedur penyelamatan standar.

Saat ditanya tujuan kedatangannya, prajurit tersebut langsung menyatakan bahwa ia ingin membelot dan akan mengikuti seluruh instruksi petugas. Ia diperkirakan berusia dua puluhan dan kini berada dalam penanganan lembaga terkait untuk penyelidikan lebih lanjut. Militer Korea Selatan melaporkan tidak ada respons atau aktivitas mencurigakan dari pihak utara setelah kejadian itu.
Menurut analis Hong Min dari Korea Institute for National Unification, prajurit tersebut kemungkinan besar telah mengenali kondisi wilayah perbatasan dengan detail, yang membantunya untuk menyeberang dengan selamat. Keahliannya menavigasi medan yang berbahaya diyakini akan memberikan nilai intelijen penting bagi Seoul, sekaligus menjadi insiden signifikan karena merupakan pelanggaran pertama terhadap perbatasan yang telah diperketat oleh rezim Kim Jong-un.
Kasus Oh Chong-song Tahun 2017
Peristiwa ini mengingatkan publik pada pembelotan dramatis oleh Oh Chong-song pada 13 November 2017. Saat itu, Oh, prajurit berusia 24 tahun dan putra dari seorang jenderal tinggi, mengemudikan kendaraannya hingga ke garis demarkasi militer sebelum mobilnya rusak. Ia kemudian berlari melintasi perbatasan sambil dihujani oleh peluru dari rekan-rekannya sendiri.
Oh berhasil diselamatkan dan dibawa ke rumah sakit Ajou di Suwon dalam kondisi kritis, kehilangan setengah volume darahnya. Ia selamat setelah menjalani operasi dan kisahnya menjadi simbol ketegangan di perbatasan.
Dalam wawancara pasca-insiden, Oh mengaku pembelotan itu tidak direncanakan dan terjadi setelah ia melewati pos pemeriksaan dalam keadaan mabuk. Ia takut dieksekusi dan memilih kabur ke selatan. Kasusnya memperlihatkan ketimpangan sosial di Korea Utara dan memicu evaluasi protokol keamanan di DMZ, yang kini menjadi acuan dalam menangani insiden seperti pembelotan Oktober 2025.
Peningkatan Keamanan Perbatasan
Dalam beberapa tahun terakhir, Kim Jong-un terus memperkuat DMZ dengan pertahanan berlapis. Citra satelit tahun 2024 menunjukkan pembangunan parit dan struktur dinding tambahan di sepanjang perbatasan. Zona ini kini dianggap sebagai salah satu wilayah dengan volume ranjau terpadat di dunia, dilengkapi dengan kawat berduri, pagar listrik, kamera pengawas, dan pasukan yang bersiaga selama 24 jam. Meskipun begitu, pembelotan Oktober 2025 menunjukkan bahwa pengetahuan medan dan pola patroli masih dapat membuka celah untuk melintasi perbatasan.
Tren Pembelotan dan Statistik
Kasus ini terjadi di tengah penurunan tajam jumlah pembelot dari Korea Utara. Hanya 96 orang tiba di Korea Selatan pada paruh pertama 2025, jauh di bawah rata-rata tahunan sebelum pandemi yang mencapai lebih dari 1.000 orang.

Selama 2024, terdapat 236 orang pembelot, 89% di antaranya adalah wanita, dan hanya tiga orang yang melintasi perbatasan antar-Korea. Mayoritas pembelotan masih dilakukan melalui Tiongkok, meskipun risikonya tinggi akibat pengawasan ketat dan deportasi paksa.
Pembelotan prajurit ini menjadi kasus ketiga di bawah pemerintahan Presiden Lee Jae-myung, setelah dua kasus pembelotan sipil pada Juli 2025. Sejak berakhirnya Perang Korea pada tahun 1953, sekitar 34.000 warga Korea Utara telah mencapai Selatan, sebagian besar untuk melarikan diri dari kemiskinan dan represi politik.
Konteks Politik Pemerintahan Lee Jae-myung
Presiden Lee, yang menjabat di kursi pemerintahan sejak Juni 2025, menekankan pendekatan rekonsiliasi dengan Pyongyang. Namun, Korea Utara terus menolak berbagai upaya diplomatik. Pembelotan militer ini menjadi ujian besar bagi kebijakan tersebut karena membawa nilai intelijen tinggi dan berpotensi memperkeruh hubungan antar-Korea. Lee kini dihadapkan pada dilema antara kewajiban kemanusiaan terhadap pembelot dan kebutuhan menjaga stabilitas diplomatik.
Peristiwa ini juga terjadi tak lama setelah dilaksanakannya parade militer besar di Pyongyang yang menampilkan persenjataan nuklir di hadapan pejabat dari Tiongkok, Vietnam, dan Rusia. Pernyataan Kim Jong-un agar militernya menjadi “entitas tak terkalahkan” menandai tantangan langsung terhadap kebijakan rekonsiliasi Seoul. Dengan demikian, pembelotan Oktober 2025 bukan sekadar insiden perbatasan saja, tetapi juga cerminan ketegangan geopolitik yang terus berlangsung di Semenanjung Korea.