
Folklor Korea kaya akan kisah-kisah tentang makhluk supranatural, mulai dari arwah gentayangan hingga makhluk yang dapat berubah bentuk. Cerita-cerita hantu yang berakar dalam kepercayaan dan tradisi budaya ini telah memikat generasi demi generasi dengan narasinya yang mencekam.
Dari gwishin (귀신), arwah dengan urusan yang belum terselesaikan di dunia, hingga dokkaebi (도깨비) yang nakal dan gumiho (구미호) yang menggoda, mitologi Korea menawarkan beragam entitas spektral yang terus memengaruhi hiburan dan praktik budaya modern.
Asal Usul Sejarah Cerita Hantu Korea
Berakar pada syamanisme kuno Korea, Buddhisme, dan Konfusianisme, cerita hantu di Korea telah ada sejak ribuan tahun lalu. Selama periode Tiga Kerajaan (57 SM – 935 M), kepercayaan pada entitas supranatural menjadi bagian dari urusan negara dan praktik istana kerajaan.
Pada Dinasti Joseon (1392-1910), cerita hantu mengalami peningkatan kepopuleran, yang sering digunakan untuk pelajaran moral atau komentar sosial. Banyak kisah dari era ini, seperti yang melibatkan cheonyeo gwishin (hantu perawan), mencerminkan norma sosial dan peran gender Konfusian yang ketat pada waktu itu. Asal usul sejarah ini terus memengaruhi cerita hantu Korea modern, mempertahankan nilai-nilai dan kepercayaan budaya sambil beradaptasi dengan konteks kontemporer.
Simbolisme dan Tema dalam Cerita Hantu Korea
Cerita hantu Korea kaya dengan simbolisme dan tema berulang yang mencerminkan nilai-nilai budaya, pengalaman sejarah, dan permasalahan sosial dari negara tersebut. Elemen-elemen ini memberikan kedalaman pada kisah-kisah tersebut.
Salah satu elemen utama dalam cerita hantu Korea adalah konsep han (한), emosi kompleks yang mencakup kesedihan, penyesalan, dan dendam. Banyak hantu dalam cerita rakyat Korea adalah manifestasi dari han, terutama mereka yang mati dengan keinginan yang tidak terpenuhi atau urusan yang belum terselesaikan. Misalnya, cheonyeo gwishin (hantu perawan) mewakili han dari wanita yang mati sebelum memenuhi harapan untuk menikah dan menjadi seorang ibu.
Simbolisme memainkan peran penting dalam cerita gwishin. Makhluk seperti gumiho (rubah berekor sembilan) sering mewakili sifat atau keinginan manusia. Kemampuan gumiho untuk berubah wujud menjadi wanita cantik melambangkan ketakutan akan tipuan dan daya tarik berbahaya dari kecantikan.
Demikian pula, tongkat ajaib dokkaebi melambangkan sifat tak terduga dari keberuntungan dan kesialan dalam hidup. Tema keadilan dan pembalasan juga banyak ditemukan dalam cerita hantu Korea. Roh pendendam sering kembali ke dunia untuk mencari keadilan atas apa yang mereka alami semasa hidup. Ini mencerminkan pentingnya moral dan konsekuensi dari tindakan seseorang, bahkan setelah kematian.
Banyak cerita hantu Korea menampilkan interaksi antara manusia dan roh, menyoroti keyakinan pada batas antara dunia fisik dan spiritual yang bersifat fleksibel. Konsep ini sangat berakar pada tradisi syamanisme Korea dan terus memengaruhi penceritaan di era modern. Lokasi cerita hantu sering membawa beban simbolis. Bangunan yang ditinggalkan atau rusak, terutama sekolah atau rumah sakit, adalah latar umum untuk pertemuan dengan hantu. Tempat-tempat ini melambangkan keruntuhan lembaga sosial dan efek trauma masa lalu.
Warna putih, yang sering dikaitkan dengan kematian dan berkabung dalam budaya Korea, adalah motif visual yang sering muncul dalam cerita hantu. Hanbok putih tradisional yang dikenakan oleh banyak hantu wanita melambangkan baik kemurnian maupun keadaan antara hidup dan mati.

Air juga memiliki simbolisme penting dalam cerita hantu Korea. Sungai dan laut sering digambarkan sebagai perbatasan antara dunia hidup dan mati. Mul gwishin (hantu air) mewujudkan ketakutan akan tenggelam dan kedalaman yang tidak diketahui, baik secara literal maupun metaforis.
Dalam interpretasi modern, cerita hantu Korea sering mengeksplorasi tema ketidaksetaraan sosial, modernisasi yang pesat, dan tekanan kehidupan era modern. Misalnya, cerita yang berlatar di lingkungan perkotaan mungkin menggunakan pertemuan hantu untuk mengomentari keterasingan dan kesepian yang dialami di kota-kota yang sibuk.
Tema dan berbagai elemen simbolis dalam cerita hantu Korea tidak hanya menghibur saja, tetapi juga berfungsi sebagai cermin bagi masyarakat, mencerminkan budaya, trauma sejarah, dan norma sosial yang berkembang. Dengan memahami lapisan-lapisan yang lebih dalam ini, kita dapat memperoleh wawasan tentang jiwa dan kekuatan dari cerita-cerita supranatural ini dalam budaya Korea.
Tema Pembalasan dan Keadilan
Pembalasan dan keadilan menjadi salah satu tema yang menonjol dalam cerita hantu Korea. Dalam banyak kisah hantu Korea, roh yang mati dengan tidak adil kembali untuk membalas dendam terhadap orang-orang yang telah berbuat salah kepada mereka. Tema ini sangat umum dalam cerita yang menampilkan hantu wanita, yang sering mewakili korban penindasan atau ketidakadilan sosial. Konsep han memainkan peran penting dalam narasi pembalasan ini.
Menariknya, hantu Korea sering mencari keadilan melalui jalur hukum, bahkan di akhirat. Dalam banyak cerita rakyat Korea lama, hantu mengunjungi satto (gubernur kerajaan) pada malam hari untuk menuntut balas atas kematian tidak adil mereka melalui hukum positif.
Aspek unik dari cerita hantu Korea ini menunjukkan tingkat pengakuan dan penghormatan terhadap hukum, bahkan di antara entitas supranatural. Kisah Janghwa Hongryeonjeon, salah satu cerita rakyat Korea tertua, menggambarkan tema ini. Dua saudara perempuan yang dibunuh oleh ibu tiri mereka mengunjungi satto kota pada malam hari untuk meminta penyelidikan atas kematian mereka yang tidak adil. Struktur naratif ini umum ditemukan dalam folklor Korea.
Cerita-cerita ini sering berakhir dengan apa yang dapat digambarkan sebagai realisme magis. Setelah serangkaian satto meninggal karena terkejut oleh pertemuan dengan hantu, seorang satto yang bertekad dan berani akhirnya menyelesaikan kasus tersebut, membawa keadilan bagi yang hidup maupun yang telah mati. Penyelesaiannya sering melibatkan hantu yang kembali mengunjungi satto untuk mengungkapkan rasa terima kasih, menciptakan adegan yang mengharukan dari rekonsiliasi antara dunia hidup dan mati.

Prevalensi tema-tema ini dalam cerita hantu Korea mencerminkan keinginan untuk keadilan dan akuntabilitas. Ini menunjukkan keyakinan bahwa ketidakadilan yang tidak terselesaikan dalam hidup dapat berlanjut setelah kematian, memerlukan penyelesaian bagi korban dan masyarakat secara keseluruhan.
Dalam interpretasi kontemporer, tema pembalasan dan keadilan tetap menjadi tema yang populer. Drama Korea modern dengan tema pembalasan, yang sering menampilkan elemen supranatural, mengeksplorasi narasi budaya ini. Popularitas yang terus berlanjut dari tema ini dalam cerita hantu Korea dan media modern menyoroti signifikansi budaya mereka. Selain berfungsi sebagai hiburan, mereka juga menjadi bentuk komentar sosial, mencerminkan kekhawatiran berkelanjutan tentang keadilan, akuntabilitas, dan penyelesaian kesalahan masa lalu dalam masyarakat Korea.
Jenis Gwishin
Gwishin (귀신), atau hantu Korea, hadir dalam berbagai bentuk, masing-masing dengan karakteristik dan asal-usul yang khas yang berakar pada folklor dan kepercayaan budaya Korea. Cheonyeo gwishin (처녀귀신) adalah salah satu jenis yang paling umum dalam folklor Korea. Ini adalah roh wanita muda yang mati sebelum menikah atau melahirkan.
Mereka biasanya muncul mengenakan hanbok putih dengan rambut hitam panjang yang terurai. Cheonyeo gwishin sering digambarkan sebagai roh pendendam, menghantui orang hidup karena keinginan mereka yang tidak terpenuhi. Sedangkan chonggak gwishin (총각귀신), roh pria yang belum menikah, lebih jarang muncul dalam cerita rakyat dibandingkan dengan rekan perempuan mereka.
Mul gwishin (물귀신) adalah roh dari mereka yang tewas tenggelam. Mereka dipercaya bersembunyi di badan air, berusaha menyeret orang hidup ke kedalaman air untuk mengurangi kesepian mereka. Ungkapan Korea “mul gwishin jeokjeon” yang berarti “taktik hantu air” dipercaya berasal dari mitos ini. Ungkapan ini memiliki arti menyeret orang lain turun bersama Anda. Mulgwishin, yang tidak sama dengan mul gwishin, dikenal menarik korban dengan berpura-pura menjadi mayat tenggelam yang membutuhkan penyelamatan.
Dalgyal gwishin (달걀귀신), atau hantu telur, adalah salah satu yang paling ditakuti dalam folklor Korea. Digambarkan sebagai entitas berbentuk telur tanpa fitur wajah atau anggota tubuh, mereka dikatakan menghuni hutan dan pegunungan. Legenda mengatakan bahwa hanya dengan melihat dalgyal gwishin dapat menyebabkan kematian.
Beberapa jenis gwishin lain termasuk Jangsan Beast atau Bear Demon (장산범/웅신), makhluk yang sering dimasukkan dalam folklor supranatural Korea. Makhluk ini digambarkan sebagai binatang berbulu panjang berwarna putih yang menyerupai harimau, dikenal karena kemampuannya meniru suara untuk memikat korban.
Jenis-jenis gwishin ini mencerminkan berbagai aspek masyarakat Korea. Prevalensi hantu perempuan, terutama mereka yang mati tanpa menikah atau tanpa anak, mencerminkan tekanan historis masyarakat pada wanita untuk memenuhi peran tertentu. Konsep ini telah menghasilkan berbagai ritual dan praktik yang bertujuan menenangkan roh-roh yang gelisah ini, termasuk upacara “pernikahan jiwa” (영혼결혼식, yeonghongyeolhonsig) untuk menyatukan hantu pria dan wanita dan memungkinkan mereka beristirahat dengan damai.
Entitas Supranatural Lainnya
Selain gwishin, folklor Korea menampilkan beberapa entitas supranatural lain yang memainkan peran penting dalam mitos dan legenda. Dokkaebi (도깨비) adalah makhluk seperti goblin yang nakal yang sering berinteraksi dengan manusia. Tidak seperti goblin dalam budaya Barat, dokkaebi dapat menjadi baik maupun jahat. Mereka dikenal dengan tongkat ajaib mereka (dokkaebi bangmangi) yang dapat memanggil objek sesuai keinginan. Dokkaebi sering digambarkan sebagai pengelabui yang menikmati tantangan kecerdasan atau kekuatan dengan manusia.
Gumiho (구미호), rubah berekor sembilan, adalah makhluk yang dapat berubah bentuk menjadi wanita cantik. Cerita tradisional menggambarkan gumiho sebagai makhluk jahat yang menggoda pria untuk memakan hati atau jantung mereka. Namun, interpretasi modern kadang-kadang menggambarkan mereka lebih simpatik. Gumiho dikatakan sebagai rubah yang telah hidup selama seribu tahun, mendapatkan kekuatan magis dan kemampuan untuk berubah wujud menjadi manusia.
Jeoseung saja (저승사자) adalah setara dengan malaikat maut dalam budaya Korea. Mereka adalah utusan dari alam baka yang membimbing jiwa ke alam baka. Berbeda dengan penggambaran malaikat maut Barat, jeoseung saja sering digambarkan sebagai seorang pejabat yang mengenakan pakaian tradisional Korea dengan penampilan serius.

Yeomra (염라), Raja Alam Baka dalam mitologi Korea, bertugas untuk menghakimi orang mati dan menentukan nasib mereka di alam baka. Ia sering digambarkan sebagai sosok yang menakutkan duduk di atas takhta, menghakimi jiwa-jiwa yang dibawa ke hadapannya.
Bulgasari (불가사리) adalah makhluk mitos yang sering digambarkan sebagai binatang pemakan logam. Legenda mengatakan bahwa bulgasari diciptakan untuk melindungi rakyat dari penguasa tiran, tetapi menjadi begitu besar dan tak terpuaskan sehingga mulai mengancam rakyat yang seharusnya dilindunginya.
Imugi (이무기) adalah makhluk seperti ular yang bercita-cita menjadi naga. Menurut legenda, imugi harus hidup selama seribu tahun dan menerima Yeouiju (여의주), mutiara atau manik ajaib, untuk berubah menjadi naga seutuhnya.
Entitas-entitas supranatural ini mencerminkan berbagai aspek budaya, sejarah, dan kepercayaan Korea. Mereka sering berfungsi sebagai metafora untuk fenomena alam, pelajaran moral, atau ketakutan dan aspirasi sosial. Keberadaan makhluk-makhluk ini dalam media dan hiburan Korea modern menunjukkan signifikansi budaya mereka yang bertahan lama.
Pengaruh Budaya dan Media
Cerita-cerita hantu tradisional Korea, dikenal sebagai “jeonseor-e gohyang” (전설의 고향), telah diwariskan dari generasi ke generasi secara lisan dan dalam bentuk tulisan. Banyak dari cerita ini telah dikompilasi ke dalam buku-buku, melestarikan warisan budaya yang kaya ini untuk audiens modern. Industri film Korea pun telah mengadopsi tema-tema supranatural, menghasilkan banyak film horor yang menampilkan hantu dan monster tradisional. Salah satu yang paling terkenal adalah “A Tale of Two Sisters” (2003), yang mengambil elemen dari folklor Korea.
Serial televisi seperti “Korean Ghost Stories” (2008-2009) telah mengadaptasi kisah-kisah tradisional untuk audiens modern, dengan setiap episode menampilkan entitas supranatural atau cerita hantu yang berbeda. Popularitas cerita hantu Korea dalam media bahkan telah menginspirasi media internasional. Misalnya, konsep hantu perempuan pendendam yang umum dalam cerita rakyat Korea memengaruhi penciptaan karakter ikonik dalam seri film “The Ring.”
Banyak cerita hantu tradisional telah berkembang menjadi legenda urban modern. Misalnya, cerita tentang “Hantu di Jalan Tol Jayu-ro” telah menarik perhatian dalam beberapa tahun terakhir, dengan beberapa selebriti mengklaim telah bertemu dengan seorang wanita hantu di jalan ini. Cerita hantu kontemporer ini sering menggabungkan elemen tradisional dengan latar modern, menjaga folklor tetap hidup dan relevan.
Cerita hantu dan tema supranatural bahkan telah menjadi bagian dari pariwisata budaya Korea. Beberapa area yang dikenal dengan penampakan hantu atau legenda supranatural telah menjadi tujuan wisata populer. Selama Halloween, event yang telah mendapatkan popularitas di Korea dalam beberapa tahun terakhir, banyak acara dan atraksi memasukkan elemen dari cerita hantu tradisional Korea.
Entitas supranatural Korea juga telah menemukan jalannya ke dalam video game dan media digital. Misalnya, karakter Ahri dari game populer League of Legends didasarkan pada gumiho. Upaya pelestarian dan pendidikan tentang cerita hantu tradisional Korea dan kepercayaan supranatural juga dilakukan. Museum, pusat budaya, dan program pendidikan sering kali memasukkan informasi tentang aspek-aspek dari folklor Korea, mengakui pentingnya dalam memahami budaya dan sejarah Korea.
Dalam interpretasi modern, cerita hantu Korea sering berfungsi sebagai sarana eksplorasi psikologis atau komentar sosial. Misalnya, prevalensi hantu perempuan dalam cerita rakyat Korea telah dianalisis sebagai refleksi dari ketidaksetaraan gender historis dan tekanan sosial yang dialami oleh perempuan.
Popularitas yang terus berlanjut dan kemampuan beradaptasi dari cerita hantu Korea dan entitas supranatural ini menunjukkan signifikansi budaya mereka yang mendalam. Cerita-cerita ini terus berkembang, menemukan relevansi baru dalam masyarakat kontemporer sambil mempertahankan hubungan dengan tradisi folklor yang kaya di Korea.