
Lee Jae-myung mencatat salah satu kisah politik paling menonjol dalam sejarah demokrasi modern Korea Selatan. Lahir dari keluarga yang kekurangan dan harus bekerja di pabrik sejak usia belasan tahun, Lee berhasil mengubah nasibnya hingga meraih gelar hukum, menjadi aktivis HAM, dan akhirnya menjabat sebagai Presiden Republik Korea pada pertengahan 2025.
Masa Kecil dan Pekerjaan Pabrik
Lee Jae-myung dilahirkan di Andong, Korea Selatan, kemungkinan pada 8 Desember 1963, meskipun catatan resmi menyebutkan ia lahir tanggal 22 Desember 1964. Ia adalah anak kelima dari tujuh bersaudara dalam keluarga miskin. Sejak kecil, tuntutan ekonomi memaksa Lee untuk melewatkan berbagai kegiatan luar sekolah bersama teman sebayanya. Hobi sederhana seperti memancing di sungai hanya bisa ia lakukan sesekali. Ketika beranjak remaja, kondisi keuangan keluarga semakin terpuruk akibat kebiasaan berjudi sang ayah. Pendidikan menengah menjadi kemewahan yang tak terjangkau.
Pada usia 13 tahun, setelah keluarganya pindah ke Seongnam—kota industri yang dibangun khusus untuk pekerja berpenghasilan rendah—Lee mulai bekerja di pabrik perakitan kalung. Ia menggantikan pendidikan dengan pekerjaan yang menuntut tenaga dan risiko tinggi. Suatu kali, ia menghirup asap timbal dalam kadar tinggi setelah menyolder selama berjam-jam. Di pabrik selanjutnya, majikannya kabur tanpa membayarkan gaji tiga bulan yang seharusnya menjadi haknya. Pengalaman tersebut semakin menambah beban mental dan fisik Lee.

Trauma terbesar terjadi saat ia bekerja di pabrik sarung tangan bisbol, di mana sebuah mesin press industri menjepit pergelangan tangan kirinya hingga cedera parah. Tanpa penanganan medis yang memadai, cedera tersebut menyebabkan kecacatan permanen dan membuatnya tidak memenuhi syarat untuk mengikuti wajib militer. Keputusasaan ini sempat mendorong Lee untuk mencoba mengakhiri hidupnya, namun nyawanya tertolong ketika seorang apoteker memberikan obat ringan alih-alih pil tidur seperti yang diminta Lee.
Meskipun masa kecilnya dipenuhi penderitaan, dorongan untuk bersekolah kembali menyala saat ia melihat anak-anak seusianya mengenakan seragam sekolah. Lee belajar sendiri di sela-sela waktu isitrahat, lalu berhasil lulus ujian masuk sekolah menengah pertama pada 1978. Tiga tahun kemudian, ia mendapatkan ijazah setara sekolah menengah atas setelah lulus ujian masuk universitas.
Karier Hukum dan Aktivisme
Setelah menyelesaikan pendidikan di Chung-Ang University dengan beasiswa penuh pada 1986, Lee memilih menjadi pengacara daripada hakim atau jaksa. Ia bergabung dengan Minbyun, organisasi pengacara yang berfokus pada hak asasi manusia dan isu ketenagakerjaan. Semangatnya semakin terpacu setelah mendengarkan kuliah oleh Roh Moo-hyun, yang menginspirasi Lee untuk memperjuangkan keadilan sosial melalui praktik hukum.

Pada tahun 1995, Lee ikut mendirikan Seongnam Citizens’ Association untuk menekan korupsi dan memperbaiki layanan publik. Melalui kasus korupsi “Park View” dan kampanye menuntut dibangunnya rumah sakit kota setelah dua rumah sakit swasta tutup, ia menunjukkan bahwa perubahan sistemik memerlukan aksi kolektif. Penolakan dewan kota terhadap proposal pendirian rumah sakit baru hanya dalam 47 detik memicu aksi protes yang sempat membuat Lee menghadapi tuduhan menghalangi tugas pejabat, namun hal ini justru mengokohkan tekadnya bahwa politik adalah jalan untuk perubahan nyata.
Kiprah Politik dan Kepemimpinan
Jejak politik Lee dimulai saat ia terpilih menjadi Wali Kota Seongnam pada 2006, jabatan yang dipegangnya selama tiga periode hingga tahun 2018. Ia dikenal dengan pendekatannya yang progresif dan berani dalam menghadapi elit politik, seperti saat mendukung kebijakan transparansi anggaran dan layanan publik berbasis digital. Pada 2018, Lee terpilih sebagai Gubernur Provinsi Gyeonggi. Di sana, ia merintis program “dividen pemuda”—sebuah ujicoba pendapatan dasar universal (UBI) untuk generasi muda—yang kemudian menjadi landasan visi ekonominya di tingkat nasional.

Meskipun kalah tipis dalam pemilihan presiden 2022, Lee konsisten mempertahankan pengaruhnya sebagai pemimpin Partai Demokrat. Pada Januari 2024, ia selamat dari upaya pembunuhan saat kampanye di Busan, setelah ditikam di leher. Pemulihannya berlangsung cepat, dan ia kembali tampil di muka publik dengan langkah terkoordinasi bersama tim keamanan.
Puncak ketenaran Lee tercapai saat krisis konstitusional pada akhir 2024, ketika Presiden Yoon Suk-yeol mendeklarasikan keadaan darurat dan mengerahkan pasukan militer ke gedung parlemen. Lee, yang kala itu baru saja terpilih kembali untuk memimpin oposisi, merekam aksinya memanjat pagar gedung Dewan Nasional dan bergabung dalam sidang darurat melalui siaran langsung. Momen itu menjadi viral, memperkuat citranya sebagai pembela demokrasi.
Pada 3 Juni 2025, Lee memenangkan pemilihan presiden susulan setelah Yoon dimakzulkan, dengan mayoritas signifikan di parlemen. Keberhasilan ini didukung oleh reputasinya yang tegas membela rakyat kecil, sekaligus janji reformasi ekonomi dan kebijakan sosial.
Agenda Kebijakan dan Tantangan Kepresidenan
Sejak dilantik pada 4 Juni 2025 tanpa masa transisi dua bulan, Lee langsung menjalankan beberapa program prioritas. Langkah awalnya adalah menambahkan tunjangan anak menjadi 200.000 won per bulan sebagai tahap awal penerapan UBI nasional. Di bidang ekonomi, ia menambah anggaran riset semikonduktor, energi bersih, dan infrastruktur digital untuk merangsang pertumbuhan dan menekan ketimpangan.
Sektor kesehatan mendapat perhatian dengan rencana pendirian fakultas kedokteran baru dan rumah sakit milik negara untuk meningkatkan akses layanan medis. Kebijakan ketenagakerjaan juga direformasi melalui pengenalan minggu kerja empat setengah hari guna meningkatkan keseimbangan kerja dan hidup. Tax relief keluarga semakin dipermudah sesuai jumlah anak untuk mengatasi tren kelahiran yang menurun.

Dalam reformasi peradilan, Lee mengusulkan penambahan jumlah hakim Konstitusi demi memperkaya interpretasi hukum dan mencegah tumpang tindih kekuasaan. Pada ranah luar negeri, pendekatannya yang pragmatis mempertahankan kemitraan pertahanan dengan Amerika Serikat sekaligus membuka dialog dengan Korea Utara, Tiongkok, dan Rusia. Proses penyerahan kontrol operasi perang dari AS ke militer Korea Selatan pun dipercepat sebagai simbol kedaulatan nasional.
Meskipun mendapat dukungan legislatif yang kuat, Lee menghadapi beberapa gugatan pidana terkait masa jabatannya sebagai wali kota dan gubernur, dengan lima proses peradilan yang masih berjalan. Isu ini kerap digunakan pihak oposisi untuk menekan wibawa pemerintahannya. Selain itu, tantangan terbesar Lee adalah menyatukan kembali masyarakat yang terbelah pasca-krisis konstitusional dan memulihkan kepercayaan publik.
Prospek Masa Depan
Perjalanan panjang Lee Jae-myung dari pabrik ke pabrik hingga ke Gedung Kepresidenan dipenuhi lika-liku. Ke depan, kemampuan Lee untuk memadukan agenda sosial dan ekonomi sambil mengatasi proses hukum yang membelitnya akan menjadi penentu keberhasilan masa kepresidenannya. Sebagai presiden yang dibesarkan oleh realitas keras kehidupan, popularitas dan mandat legislatifnya besar, tetapi begitu pula harapan publik terhadap pencapaian konkret yang bisa mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat Korea Selatan.