Deklarasi Darurat Militer di Korea Selatan

on in Berita

Pada malam 3 Desember 2024, Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol membuat langkah yang mengejutkan dengan mendeklarasikan darurat militer. Deklarasi ini diumumkan dalam siaran langsung pada pukul 22:27 waktu setempat, menjadi kali pertama diberlakukannya darurat militer sejak Korea Selatan memasuki era demokrasi pada 1987.

Presiden Yoon menuduh Partai Demokrat, yang menjadi partai oposisi, terlibat dalam kegiatan anti-negara dan bekerja sama dengan Korea Utara untuk mengacaukan stabilitas negara. Langkah ini mencakup larangan aktivitas politik, pembatasan kebebasan pers, pengerahan militer di sekitar gedung Majelis Nasional, serta penunjukan Park An-su sebagai komandan darurat militer.

Namun, keputusan ini langsung menuai protes keras dari berbagai pihak. Anggota Majelis Nasional dari oposisi dengan cepat mengadakan sesi darurat untuk membatalkan deklarasi tersebut. Dalam waktu kurang dari enam jam, tepatnya pada pukul 04:30 pagi, Presiden Yoon mencabut keputusan darurat militer. Insiden ini menunjukkan peran penting Majelis Nasional dalam menjaga tatanan demokrasi di tengah ancaman kekuasaan yang otoriter.

Majelis Nasional Korea Selatan memainkan peran krusial dalam membatalkan deklarasi darurat militer. Meskipun sempat dihalau oleh militer dan polisi, para anggota oposisi berhasil memasuki gedung Majelis Nasional dan mengadakan sidang darurat.

Sidang ini diwarnai dengan adegan dramatis. Selain harus melewati barikade keamanan, staf parlemen bahkan membarikade ruang sidang untuk mencegah gangguan dari militer. Dengan suara bulat, 190 dari 300 anggota menyetujui resolusi untuk mencabut darurat militer. Langkah cepat ini menunjukkan kekuatan institusi demokrasi Korea Selatan dalam menghadapi situasi darurat dan merespons ancaman otoritarianisme dengan tegas.

Pemberlakuan darurat militer oleh Presiden Yoon berakar mendalam pada sejarah politik Korea Selatan yang panjang. Sejak pendirian Republik Korea pada 1948, darurat militer telah diberlakukan sekitar 17 kali, sering kali untuk mengatasi gejolak politik atau menekan oposisi. Contoh pertama terjadi pada Oktober 1948, ketika Presiden Syngman Rhee menggunakan darurat militer untuk menekan pemberontakan komunis. Periode ini diwarnai oleh tindakan keras terhadap oposisi yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya.

Syngman Rhee, 1948. (Foto public domain)

Pada dekade 1950-an hingga 1970-an, darurat militer sering diberlakukan di bawah pemerintahan otoriter. Salah satu periode paling kontroversial terjadi di bawah kepemimpinan Park Chung-hee, yang menggunakan darurat militer untuk mengendalikan oposisi politik dan membatasi kebebasan sipil. Tragedi terbesar terkait darurat militer terjadi pada Mei 1980, ketika pemerintahan Chun Doo-hwan memberlakukan darurat militer secara nasional, yang kemudian memicu Pemberontakan Gwangju. Aksi protes rakyat terhadap pemerintahan militer ini ditanggapi dengan tindakan represif yang mengakibatkan ratusan korban jiwa.

Sejak transisi menuju demokrasi pada akhir 1980-an, Korea Selatan mengalami penurunan frekuensi pemberlakuan darurat militer. Sebelum kejadian di bawah Presiden Yoon, darurat militer terakhir diberlakukan pada 1979, mencerminkan kemajuan negara ini dalam membangun institusi yang demokratis. Upaya Yoon untuk memberlakukan darurat militer pada 2024 dipandang sebagai langkah mengejutkan, memicu ingatan pahit akan masa lalu Korea Selatan yang otoriter.

Deklarasi darurat militer langsung memicu protes luas di seluruh Korea Selatan. Masyarakat dari berbagai lapisan, termasuk mahasiswa, pekerja, dan kelompok keagamaan, dengan cepat mengorganisir aksi untuk menuntut pengunduran diri Presiden Yoon. berbagai universitas di Korea pun menjadi pusat aktivitas protes. Di Universitas Nasional Seoul, mahasiswa mengadakan sidang darurat, di mana mayoritas menyetujui resolusi yang mengecam tindakan Yoon. Seruan serupa terdengar di berbagai kampus lain, mencerminkan solidaritas di antara generasi muda dalam mempertahankan nilai-nilai demokrasi.

Aksi protes menolak darurat militer. Foto: Hashflu (Wikipedia)

Pada 4 Desember, ribuan orang berkumpul di Gwanghwamun Square, Seoul, dalam aksi lilin yang diorganisir oleh kelompok sipil. Aksi ini mengingatkan pada protes lilin besar-besaran yang berhasil menjatuhkan Presiden Park Geun-hye pada 2017. Tradisi aksi lilin ini telah menjadi simbol perlawanan damai terhadap ketidakadilan di Korea Selatan.

Survei opini publik menunjukkan bahwa mayoritas warga Korea Selatan mendukung pemakzulan Presiden Yoon. Protes terus berkembang, dengan rencana aksi besar-besaran pada 7 Desember untuk mendukung pemungutan suara di Majelis Nasional mengenai pemakzulan Yoon. Skala protes ini menunjukkan keteguhan masyarakat dalam menolak langkah-langkah yang dianggap mengancam demokrasi.

Krisis singkat darurat militer pada Desember 2024 menjadi pengingat penting akan rapuhnya institusi demokrasi dan kekuatan perlawanan publik. Upaya Presiden Yoon untuk memberlakukan pemerintahan militer tidak hanya menciptakan krisis politik saja, tetapi juga menyoroti ketahanan institusi dan masyarakat Korea Selatan dalam mempertahankan demokrasi. Di sisi lain, keputusan cepat untuk mencabut darurat militer mencerminkan kemajuan yang telah dicapai negara ini dalam membangun sistem demokrasi yang kuat.