Kompleks Industri Kaesong

on in History, Society
Salah satu bangunan pabrik di Kompleks Industri Kaesong. Foto: User:Mimura (Wikipedia)

Kompleks Industri Kaesong, yang didirikan pada tahun 2004 tepat di utara Zona Demiliterisasi Korea, merupakan salah satu proyek kerja sama ekonomi paling penting antara Korea Selatan dan Korea Utara. Proyek ini memadukan modal dan teknologi dari Selatan dengan lahan dan tenaga kerja dari Utara, menciptakan zona manufaktur khusus yang pada puncaknya mempekerjakan lebih dari 50.000 orang pekerja asal Korea Utara.

Kompleks Industri Kaesong (KIK) lahir dari inisiatif kerja sama ekonomi antar-Korea yang lebih luas selama era “Kebijakan Sinar Matahari (Sunshine Policy)” Korea Selatan. Gagasan ini pertama kali muncul pada 1999, ketika pendiri Hyundai, Chung Ju-yung, bertemu dengan Kim Jong-Il, pemimpin Korea Utara saat itu.

Awalnya, Sinuiju di Sungai Yalu menjadi kandidat utama dari lokasi kawasan ini, tetapi setelah negosiasi lebih lanjut, Kaesong dipilih karena letaknya yang strategis, hanya 10 kilometer di utara Zona Demiliterisasi dan sekitar 72 kilometer dari Seoul.

Pada Desember 2002, Hyundai Asan yang diberi hak eksklusif untuk membangun dan mengoperasikan kawasan industri di Kaesong. Hyundai Asan menandatangani perjanjian dengan Korean Land Corporation (KLC), badan usaha milik negara Korea Selatan, menandai keterlibatan langsung pemerintah. Upacara peletakan batu pertama digelar pada musim panas 2003, konstruksi dimulai pada April 2004, dan kompleks ini resmi beroperasi pada Desember 2004 setelah masa uji coba selesai pada bulan Juni di tahun yang sama.

Pengembangan direncanakan dalam tiga fase selama delapan tahun. Perluasan pada fase pertama mengembangkan kawasan industri seluas kira-kira 330 hektare, yang ditujukan untuk manufaktur padat karya, terutama tekstil dan kulit. Fase kedua menambah 430 hektare untuk industri manufaktur dan jasa, sedangkan fase ketiga mengalokasikan 2.050 hektare untuk industri teknologi tinggi dan kimia. Setelah tuntas, total area diharapkan mencapai 65 kilometer persegi dengan kapasitas 700.000 pekerja pada 2012.

Tujuan utama KIK adalah mendorong kerja sama ekonomi yang menguntungkan kedua Korea sekaligus memupuk perdamaian dan stabilitas di semenanjung. Bagi Korea Selatan, proyek ini membantu usaha kecil dan menengah bersaing dengan memanfaatkan tenaga kerja berbiaya rendah tanpa harus memindahkan pabrik ke Tiongkok atau negara lain. Bagi Korea Utara, kehadiran investor dari Selatan diharapkan dapat memicu reformasi ekonomi melalui penerapan prinsip pasar dan manajemen modern.

Pemandangan Kompleks Industri Kaesong dari Observatorium Dora. Foto: Laika uc (Flickr)

Selain sasaran ekonomi, KIK juga memiliki makna diplomatik dan strategis. Kompleks ini dirancang menjadi “benteng kerja sama ekonomi antar-Korea” yang dapat membentuk komunitas ekonomi bersama melalui pembagian tugas yang rasional antara kedua negara. Hal ini tercermin dari penghubungan rel kereta dan jalan lintas di perbatasan. Terlebih lagi, proyek ini sempat diproyeksikan dapat menjadikan Semenanjung Korea sebagai pusat logistik Asia Timur Laut dengan konektivitas hingga Eropa.

KIK beroperasi dengan pengaturan administratif khusus, yaitu zona bebas bea, tanpa pembatasan penggunaan mata uang asing atau kartu kredit, dan tanpa persyaratan visa untuk masuk ke lokasi. Perusahaan Korea Selatan mendapat insentif seperti asuransi risiko politik untuk melindungi modal mereka. Semua produk yang dihasilkan di Kaesong diekspor ke Selatan, menciptakan rantai nilai terkontrol yang saling menguntungkan namun tetap menjamin keamanan investasi.

Selama beroperasi, KIK memberikan manfaat ekonomi besar bagi kedua negara dengan memanfaatkan keunggulan komparatif masing-masing.

FamilyMart yang disediakan untuk pekerja asal Korea Selatan. Foto: User:Mimura (Wikipedia)

Bagi Korea Utara, kompleks ini menjadi sumber devisa penting. Upah pekerja pada tahun 2004 berjumlah sekitar US$57,50 per bulan. Jauh di bawah kisaran US$100–200 di Tiongkok saat itu. Namun dengan lebih dari 50.000 pekerja, KIK menghasilkan sekitar 100 juta USD setahun melalui gaji, pajak, dan biaya lainnya. Selain pendapatan langsung, proyek ini memacu transfer teknologi dan pengembangan infrastruktur, dengan efek ekonomi tahunan diperkirakan mencapai 600 juta USD atau sekitar 3,3% PNB Korea Utara pada 2003.

Dari sisi lapangan kerja, KIK menyerap 6,14% tenaga kerja produktif Korea Utara pada awal tahun 2000-an, sekaligus memperkenalkan praktik manufaktur modern dan manajemen profesional.

Bagi Korea Selatan, KIK menjadi penyelamat bagi banyak usaha kecil dan menengah yang tertekan biaya tenaga kerja domestik. Antara tahun 2007–2014, perusahaan Korea Selatan di Kaesong mencatat kenaikan laba rata-rata sekitar 11% per tahun, peningkatan omzet 8%, dan pertumbuhan nilai aset tetap 26%, meskipun secara nasional jumlah perusahaan di sektor serupa menurun hingga sebesar 65%.

Manfaat ekonomi tambahan mencakup efek induksi produksi sekitar ₩84 miliar per tahun dan nilai tambah ₩24,4 triliun dalam sembilan tahun, setara 3,4% PNB Korea Selatan pada 2003. Proyek ini juga menciptakan 10.000 lapangan kerja baru di Selatan (sekitar 0,46% tenaga kerja aktif).

Dari segi produksi, sektor tekstil dan pakaian menyumbang 35% total produksi KIK, kimia 13%, mesin dan logam 26%, serta elektronik 15% pada tahun 2006–2007.

Meskipun begitu, visi Kompleks Industri Kaesong untuk menjadi pusat perdagangan Asia Timur Laut tak dapat terwujud dengan sempurna akibat komplikasi politik, termasuk keprihatinan AS atas status produk Kaesong dalam perjanjian bebas perdagangan dengan Amerika Serikat.

KIK kerap terganggu oleh ketegangan geopolitik, yang kemudian memuncak pada penutupan permanen kawasan ini di tahun 2016.

Gangguan pertama terjadi pada April 2013, yang terjadi ketika Korea Utara melakukan uji coba nuklir ketiga pada Februari 2013 dan dikenakan sanksi oleh PBB. Pada 3 April 2013, Utara memblokade akses warga Selatan, dan lima hari kemudian menarik 53.000 orang pekerja, menghentikan operasi selama lima bulan, merugikan 123 perusahaan dengan rata-rata kerugian sebesar US$3 juta per perusahaan.

Setelah negosiasi panjang di Panmunjom, kompleks tersebut kembali beroperasi pada Juli 2013 dengan protokol inspeksi fasilitas dan mekanisme pencegahan penghentian sepihak. Pada 16 September, 820 manajer dan pekerja Selatan kembali melintasi perbatasan untuk memulai produksi.

Namun, hambatan komunikasi serta antrean di pos pemeriksaan militer dan bea cukai menghambat efisiensi, yang pada akhirnya meningkatkan biaya operasional.

Penutupan akhir terjadi pada 10 Februari 2016 saat Presiden Park Geun-hye mengumumkan penghentian “sementara” pasca uji nuklir keempat Korea Utara pada Januari 2016. Hari berikutnya, Utara mengusir seluruh staf asal Korea Selatan dan membekukan aset, menjadikan zona ini sebagai area militer, menimbulkan kerugian gabungan sebesar US$1,3 miliar bagi perusahaan Selatan dan menghilangkan sekitar US$100 juta devisa Utara.

Harapan sempat bangkit pada deklarasi Panmunjom 2018, namun gagal pasca-batalnya pertemuan di Hanoi 2019 antara AS dan Korea Utara. Sejak itu, Utara melanjutkan operasi terbatas tanpa izin, menggunakan peralatan dan bahan yang ditinggalkan oleh perusahaan Selatan.

Setelah penutupan pada 2016, Korea Utara melanjutkan operasi KIK secara sepihak, seperti diumumkan media resmi Uriminzokkiri pada Oktober 2017. Mereka mengklaim bahwa fasilitas tersebut berada di wilayah kedaulatan Utara, sehingga bebas dari campur tangan pihak luar.

Bukti citra satelit menunjukkan setidaknya 30 pabrik kini kembali beroperasi, tiga kali lipat dari tahun 2022, yang mengolah tekstil, komponen elektronik, dan produk padat karya lain, meskipun kapasitasnya masih terbatas dan mendapat protes dari Seoul atas pelanggaran hak milik.

Aktivitas di Kaesong belakangan menunjukkan sedikit peningkatan sejak 2023. Kementerian Unifikasi Selatan terus memprotes penggunaan aset tanpa izin, sementara lembaga penyangga proyek telah dibubarkan.

Masa depan KIK sangat bergantung pada iklim politik. Reaktivasi resmi menuntut terobosan diplomatik, termasuk langkah denuklirisasi proporsional dan pelonggaran sanksi. Namun, rekam jejak menunjukkan bahwa setiap kemajuan ekonomi antar-Korea sangat rentan terhadap fluktuasi hubungan politik dan keamanan.