Kaesong, sebuah kota khusus yang terletak di bagian selatan Korea Utara, memiliki sejarah panjang sebagai pusat kekuasaan dan budaya. Sejak tahun 919 Masehi, kota ini menjadi ibukota Dinasti Goryeo ketika Wang Geon, pendiri dinasti tersebut, menetapkannya sebagai pusat pemerintahan.
Jejak Ibukota Goryeo
Kota ini awalnya dikenal sebagai Gaeju sebelum berganti nama menjadi Gaegyeong pada masa Raja Gwangjong, lalu diubah lagi menjadi Gaesong-bu pada masa Raja Seonjong. Selama hampir lima abad, Kaesong (juga dikenal sebagai Songdo, atau “Kota Pinus”), yang tumbuh menjadi pusat politik dan budaya Korea.
Letaknya yang strategis menjadikan Kaesong sebagai pusat perdagangan penting, khususnya dalam perdagangan ginseng yang kelak menjadi identitas wilayah ini. Namun, kota ini juga menghadapi berbagai macam konflik, termasuk ketika Kaesong nyaris hancur dalam Perang Goryeo-Khitan pada tahun 1010. Pada akhir masa Goryeo, muncul pula ketegangan sosial, seperti pemberontakan budak yang dipimpin Manjeok pada tahun 1198 yang akhirnya dipadamkan oleh jenderal Ch’oe Ch’unghŏn.

Kaesong kehilangan statusnya sebagai ibukota pada 1394, ketika Yi Seong-gye mendirikan Dinasti Joseon dan memindahkan pusat pemerintahan ke Hanyang (kini Seoul). Meskipun demikian, warisan sejarahnya tetap terjaga, terutama dalam bentuk makam-makam kerajaan seperti makam Raja Taejo, Raja Hyejong, Raja Gyeongjong, dan Raja Gongmin. Menariknya, Kaesong juga menjadi lokasi dari dua makam penting dari Dinasti Joseon, yakni makam Raja Jeongjong dan makam Ratu Sinui.
Tata ruang kota yang mengikuti prinsip geomansi serta pengaruh ajaran Buddha, Konfusianisme, dan Taoisme, memberikan gambaran penting mengenai perkembangan budaya dan politik Korea abad pertengahan. Kaesong menjadi salah satu kunci untuk memahami sejarah pra-modern Semenanjung Korea.
Letak Geografis dan Potensi Alam
Secara geografis, Kaesong terletak di koordinat 37°58′LU dan 126°33′BT, menjadikannya kota paling ujung selatan di Korea Utara yang berbatasan langsung dengan Zona Demiliterisasi (DMZ) dan hanya berjarak sekitar 70 km dari Seoul. Wilayah ini sebelumnya termasuk dalam Provinsi Hwanghae Utara.

Kota ini dikelilingi oleh pegunungan, dengan Gunung Songak (489 m) dan Gunung Pongmyong menjadi batas alam utama, sementara Gunung Janam (103 m) berada di pusat kota dengan patung Kim Il Sung berdiri di puncaknya. Wilayah timur lautnya memiliki gugusan Pegunungan Ahobiryeong, termasuk Gunung Cheonma, Myoji, dan Suryong. Sebagian besar topografi kota terdiri dari perbukitan rendah dengan dataran aluvial di bagian barat daya, yang sangat mendukung aktivitas pertanian.
Dua sungai utama, Sungai Imjin dan Sungai Ryesong, mengalir di sisi timur laut dan barat kota, mengarah ke muara Sungai Han. Kaesong memiliki iklim kontinental lembap dengan musim dingin yang kering dan dingin serta musim panas yang panas dan lembap. Rata-rata suhu tahunan mencapai 10°C, dengan musim bebas embun beku terpanjang di Korea Utara, yaitu 180 hari.
Struktur geologinya mencakup lapisan tanah dari zaman Proterozoikum, Paleozoikum, dan Senozoikum, serta granit intrusi dari zaman Mesozoikum. Kekayaan mineral seperti emas, seng, tembaga, fluorspar, batu kapur, dan kaolin menunjukkan potensi sumber daya alam yang signifikan. Sekitar 55% dari luas wilayah Kaesong merupakan hutan, mayoritas berupa pohon pinus, yang menopang keanekaragaman hayati setempat.
Warisan Dunia UNESCO
Pada tahun 2013, UNESCO menetapkan “Monumen dan Situs Bersejarah di Kaesong” sebagai Situs Warisan Dunia. Terdiri dari 12 komponen, kawasan ini mewakili nilai budaya, politik, dan spiritual dari masa Dinasti Goryeo.
Salah satu situs tersebut meliputi reruntuhan Istana Manwoldae yang menjadi kediaman kerajaan. Tata letaknya mencerminkan integrasi ajaran Buddha, Konfusianisme, Taoisme, serta prinsip geomansi. Kaesong Namdaemun atau Gerbang Selatan menjadi satu-satunya gerbang kota yang tersisa dari masa lampau, dibangun pada 1391-1393 dan direnovasi kembali setelah Perang Korea. Di dalamnya terdapat lonceng bersejarah Yeonbok seberat 14 ton yang dibuat pada tahun 1346.

Museum Goryeo, yang menempati bekas lahan lembaga pendidikan tertinggi di masa dinasti tersebut, kini menyimpan berbagai artefak penting. Kompleks ini dulunya menampung hingga 2.000 pelajar dan kini menjadi pusat pelestarian seni dan teknologi abad pertengahan Korea. Selain itu, makam-makam kerajaan seperti makam Raja Gongmin dan Raja Taejo menampilkan seni arsitektur pemakaman yang khas, dengan patung batu, ukiran, dan jalur seremonial.
Yang membuat situs-situs ini istimewa adalah tingkat pelestariannya yang tinggi. Karena Kaesong masih berada di wilayah Korea Selatan pada masa Perang Korea, kota ini terhindar dari kerusakan besar sehingga struktur bersejarahnya tetap utuh. Hal ini memberikan gambaran otentik tentang masa lalu Korea.
UNESCO mengakui bahwa situs-situs ini penting bukan hanya karena arsitekturnya saja, tetapi juga karena peranannya dalam merekam transisi budaya dari Buddhisme ke Neo-Konfusianisme yang memengaruhi struktur sosial dan pemerintahan di Asia Timur.
Zona Industri Kaesong
Zona Industri Kaesong yang didirikan pada tahun 2004 merupakan simbol kerja sama ekonomi antar-Korea. Terletak tepat di utara DMZ, kawasan ini menjadi rumah bagi lebih dari 100 perusahaan Korea Selatan yang mempekerjakan sekitar 50.000 pekerja Korea Utara. Gaji yang diterima para pekerja berjumlah sekitar 20% dari upah minimum Korea Selatan.

Pada puncaknya di tahun 2012, kompleks ini menghasilkan produk dengan nilai sekitar USD 470 juta, terutama dari sektor tekstil dan manufaktur ringan. Namun, kawasan ini ditutup pada 2016 setelah meningkatnya ketegangan terkait uji coba nuklir Korea Utara. Meskipun kini tidak lagi aktif, infrastruktur Zona Industri Kaesong masih berdiri dan menjadi bukti dari masa ketika kerja sama lintas batas pernah dijalankan.
Kekayaan Budaya dan Kuliner Lokal
Pusat kota tua Kaesong masih mempertahankan arsitektur hanok dari masa Dinasti Joseon. Pengunjung dapat merasakan suasana Korea pramodern yang langka ditemui di kota-kota lain. Kuliner lokalnya pun mencerminkan warisan kerajaan, termasuk hidangan seperti bossam kimchi, pyeonsu (pangsit kotak), sinseollo (hidangan hot pot yang awalnya dinikmati kalangan bangsawan), seolleongtang, joraengi tteokguk, umegi, dan gyeongdan. Ginseng dari Kaesong terkenal sejak lama karena kualitasnya yang tinggi dan bernilai ekspor.
Kaesong sebagai Simbol Sejarah dan Potensi Masa Depan
Kaesong bukan sekadar kota perbatasan. Ia adalah simbol dari masa lalu kerajaan Korea, sekaligus panggung dari dinamika geopolitik modern. Di balik ketegangan lintas batas, Kaesong menyimpan cerita panjang mengenai peradaban, pendidikan, perdagangan, dan warisan budaya. Dari arsitektur istana hingga kerja sama industri modern, kota ini menawarkan gambaran utuh mengenai kompleksitas dan kesinambungan sejarah Korea.