
Meskipun kondisi alam dan sejarahnya berbeda, Indonesia dan Korea Selatan sama-sama menghadapi tantangan alokasi lahan untuk pertanian dan kehutanan. Di Korea Selatan, upaya reforestasi yang masif sejak era pascaperang serta adaptasi sistem pertanian pada lahan yang terbatas telah membuahkan hasil luar biasa.
Sejarah Awal Pertanian di Semenanjung Korea
Jejak pertanian di Korea Selatan bermula sejak era Neolitikum, sekitar sepuluh ribu tahun lalu. Bukti arkeologis berupa batu penggiling biji-bijian dan beragam jenis cangkul yang ditemukan di Watpo-ri, Provinsi Hamgyong Utara, menunjukkan bahwa masyarakat pada saat itu mulai menanam tanaman sederhana. Meskipun kegiatan berburu dan mengumpulkan hasil hutan masih menjadi sumber utama kebutuhan hidup, berbagai komunitas perkampungan kecil mulai bercocok tanam dengan menanam otek (millet) dan padi di wilayah pesisir.
Pengenalan budidaya padi diperkirakan terjadi pada akhir milenium kedua Sebelum Masehi, yang dibawa dari wilayah Tiongkok. Namun, padi baru benar-benar menjadi makanan pokok pada masa Kerajaan Silla (57 SM–935 M). Pada Zaman Perunggu (1300–300 SM), alat pertanian berupa cangkul dari perunggu turut andil pada perluasan ladang padi. Situs Songguk-ri, misalnya, menunjukan adanya transformasi lahan kering menjadi sawah di wilayah selatan semenanjung.

Menginjak Zaman Besi, metode bercocok tanam kian maju dengan penggunaan bajak yang ditarik oleh hewan. Pada masa Silla, pemerintah menerapkan program peningkatan kualitas benih, pembangunan saluran irigasi, dan pencegahan hama. Di masa pemerintahan Raja Heungdeok pada awal abad ke-9, benih ginseng dari Tiongkok diujicobakan di lereng Gunung Jiri, sementara teh dan sutra mulai dikembangkan secara terbatas.
Pada periode Goryeo (918–1392), berbagai inovasi alat pertanian mulai muncul, seperti sekop, cangkul, dan bajak yang lebih efisien, juga diperkenalkannya kincir air dari Tiongkok Selatan untuk meningkatkan efektivitas irigasi. Pada tahun 1365, budidaya kapas mulai diperkenalkan dari wilayah Vietnam, menandai diversifikasi tanaman tekstil pertama di wilayah ini.
Saat memasuki Dinasti Joseon (1392–1910), kemajuan pertanian semakin terlihat. Buku tertua tentang pertanian di Korea, “Nongsa Chiksŏl,” mencatat bahwa pada abad ke-15, jenis tanaman yang paling banyak dibudidayakan di antaranya adalah padi kuning, otek, kedelai, serta padi biasa, diikuti dengan gandum dan ginseng.
Pada pertengahan abad ke-16, metode pindah tanam padi mulai meluas, dan pada abad ke-18 teknik ini mulai diterapkan pada lahan tadah hujan dan lahan kering. Teknik pemupukan dan sistem irigasi kian disempurnakan, serta praktik tanam dua kali setahun dengan tanaman campuran memberikan hasil panen yang lebih stabil.
Namun, kebutuhan kayu bakar untuk pemanasan ondol yang sangat tinggi memicu degradasi hutan yang massif. Pada abad ke-19, hampir seluruh lereng gunung tampak gundul, memicu longsor dan merusak lahan pertanian di kaki bukit. Fenomena ini menjadi indikasi awal tantangan lingkungan yang harus dihadapi selanjutnya.

Pada awal masa penjajahan Jepang (1910–1945), perubahan signifikan melanda sistem pertanian. Mulai tahun 1907, warga Jepang diperbolehkan memiliki lahan pertanian di Korea, dan pada 1916 Perusahaan Oriental Development Company diperkirakan menguasai sekitar 104.000 hektar lahan. Survei lahan yang dilakukan pemerintah kolonial memaksa banyak petani Korea kehilangan hak atas tanahnya. Tercatat lebih dari 278.000 keluarga petani terpaksa merantau ke Manchuria antara 1910 hingga 1925. Kebijakan fiskal Jepang yang berfokus pada modernisasi dan peningkatan produksi pertanian lebih menguntungkan Jepang melalui ekspor komoditas pangan, sementara petani Korea—yang mencapai 73,6% populasi—mengalami kemiskinan ekstrem dan kelaparan.
Keberhasilan Reforestasi Pascaperang
Kondisi pascaperang Korea pada pertengahan abad ke-20 sangat memprihatinkan, dengan area hutan yang nyaris habis akibat penebangan intensif semasa penjajahan Jepang dan perang Korea (1950–1953). Sebagai respons atas situasi ini, pemerintah Korea Selatan meluncurkan enam Rencana Kehutanan Nasional berturut-turut sejak 1973, diawali dengan “Rencana Penciptaan Hutan Sepuluh Tahun.” Program ini dirancang secara sistematis dengan target yang jelas, melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan seluruh masyarakat dalam kegiatan penanaman pohon, pemeliharaan bibit, serta pencegahan kebakaran hutan.
Dukungan politik kuat di bawah kepemimpinan Presiden Park Chung-Hee menjadikan program ini lebih terkoordinasi. Berbagai lembaga penyuluhan pertanian dan kehutanan diberdayakan untuk mengorganisasi kegiatan gotong royong menanam pohon di area kritis bersama dengan masyarakat. Pada dekade 1980-an, tujuan awal reforestasi tercapai lebih cepat, dan pada tahun 2000-an hampir seluruh wilayah yang kritis telah tertanam kembali.

Hingga saat ini, hutan di Korea Selatan menutupi sekitar 6,3 juta hektar, atau 63% dari total luas daratan. Struktur hutan terdiri atas 36,9% pohon konifer, 31,8% pohon gugur, 26,5% campuran konifer dan gugur, serta 4,8% tipe lain seperti semak dan pohon buah. Laju pertumbuhan stok kayu rata-rata mencapai 165 m³ per hektar pada 2020, meningkat 29 kali lipat sejak tahun 1953. Angka ini bahkan melampaui rata-rata OECD sebesar 131 m³ per hektar. Manfaatnya mencakup penyerapan gas rumah kaca, pencegahan erosi, pengaturan aliran air, serta peningkatan ruang terbuka hijau yang berdampak positif pada kesehatan masyarakat dan kegiatan rekreasi.
Namun, keberhasilan ini tidak dapat terlepas dari tantangan berkelanjutan, seperti alih fungsi lahan untuk perkotaan dan industri. Oleh karenanya, program kehutanan pun kini berfokus pada pemulihan dan konservasi hutan di sekitar daerah perkotaan serta pemantauan kualitas ekosistem hutan.
Sistem Tanaman Pertanian Utama
Hanya sekitar 22% dari total wilayah Korea Selatan termasuk ke dalam wilayah subur, dan hal ini memaksa negara untuk mengembangkan metode budidaya intensif. Padi menjadi tulang punggung produksi pertanian. Pada tahun 1978, pemerintah berhasil mencapai swasembada beras, menjadikannya negara Asia pertama setelah Jepang yang menggapai kemandirian pangan pada komoditas padi. Walaupun proporsi area persawahan tidak terlalu besar, kontribusi padi terhadap pendapatan petani mencapai lebih dari 40%, dan menyumbang sekitar 90% dari total produksi pangan pokok di sektor tanaman serealia.
Tanaman lain seperti jelai, gandum, kedelai, dan kentang ditanam dalam skala yang lebih kecil. Karena kekurangan lahan, sebagian besar kebutuhan gandum dan kedelai masih bergantung pada impor. Di sektor hortikultura, produksi sayur-sayuran terus berkembang, dengan jumlah produksi mencapai sekitar 9,2 juta ton pada 2019. Kubis Tiongkok menjadi komoditas sayur terbesar berdasarkan volume produksi, diikuti dengan bawang bombai, lobak, dan daun bawang. Di beberapa daerah, varietas bawang merah dan bawang putih juga cukup populer.

Budidaya buah berkembang terutama di wilayah dengan iklim lembap dan hangat, seperti Pulau Jeju. Peneliti di Jeju berhasil mengidentifikasi lebih dari 126 varietas jeruk yang ditanam di sana. Selain jeruk, buah persik dan bawang bombai menunjukkan pertumbuhan nilai ekonomi yang signifikan—dengan rata-rata peningkatan pendapatan tahunan sebesar 8,3% untuk buah persik dan 8,2% untuk bawang bombai selama periode 1980 hingga 2018.
Untuk menghadapi urbanisasi dan pergeseran fungsi lahan, petani beralih pada sistem pertanian terpadu, di mana mereka memadukan tanaman padi dengan sayuran atau tanaman musiman lain agar hasil panen lebih beragam. Teknik tanam tumpang sari juga diterapkan di lahan kering, sehingga memaksimalkan pemanfaatan lahan sepanjang tahun. Pemupukan organik sekaligus adopsi varietas padi unggul menjadikan produktivitas per hektar lebih tinggi meskipun lahan semakin berkurang.
Perkebunan Modern dan Teknologi Cerdas
Kemajuan teknologi pertanian memperkuat daya saing sektor ini, terutama dalam menghadapi penurunan luas lahan garapan sebesar 29% antara 2011 hingga 2019. Pemerintah mendorong penerapan pertanian cerdas (smart farming) untuk mengatasi tantangan tenaga kerja dan usia petani yang menua—di mana lebih dari 50% petani berusia di atas 65 tahun. Pada 2019, anggaran sebesar 248 miliar won dialokasikan untuk riset dan subsidi perangkat teknologi, seperti sensor kelembapan tanah, sistem irigasi otomatis, dan aplikasi mobile untuk memantau pertumbuhan tanaman.
Di tingkatan perkebunan, hortikultura berciri khusus mulai berkembang pesat. Tanaman bunga mendulang nilai tinggi meskipun hanya menempati 0,4% dari total lahan pertanian; kontribusinya mencapai 2,6% dari nilai produksi pertanian secara keseluruhan. Budidaya sayuran di rumah kaca juga semakin canggih, dengan kontrol suhu, kelembapan, dan pemupukan terprogram yang dapat diakses melalui smartphone. Metode vertikultur (vertical farming) mulai diperkenalkan di kawasan perkotaan untuk memastikan pasokan sayur segar dengan jejak karbon minimal dapat terjaga.

Pasar jasa perawatan pohon dan taman pun bertumbuh pesat seiring dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya ruang hijau di perkotaan. Pada 2024, nilai pasar jasa ini diperkirakan mencapai 2 miliar dolar AS, dengan proyeksi melonjak menjadi 3 miliar dolar AS pada 2033. Pelayanan landscaping, pemangkasan, serta konsultasi penataan taman menjadi sumber pendapatan tambahan bagi petani yang kehilangan sebagian lahan pertanian akibat urbanisasi.