Dinamika Peran Militer dalam Masyarakat Korea

on in Society
Moon Jae-in bersama dengan Menteri Pertahanan Korea Selatan, 2017. Foto: UNC – CFC – USFK (Wikipedia)

Kebijakan militer di Semenanjung Korea menunjukkan perbedaan jelas antara Korea Utara dan Korea Selatan. Korea Utara mengutamakan doktrin yang menempatkan institusi militer sebagai pilar utama, sedangkan Korea Selatan membangun sistem yang menyesuaikan diri dengan konteks demokrasi modern. Perbedaan ini memunculkan dinamika tentang cara kedua negara menjalankan pemerintahan, mempertahankan keamanan, serta mengatur hubungan sosial.

Korea Utara mengadopsi kebijakan Songun sejak dekade 1990-an. Kebijakan ini memberi prioritas kepada Tentara Rakyat Korea dalam hampir semua urusan negara. Organisasi pertahanan ini tidak hanya berfungsi sebagai kekuatan pelindung saja, tetapi juga berperan dalam sektor ekonomi dan struktur sosial. Satuan-satuan militer terlibat dalam proyek konstruksi, upaya pertanian, dan kegiatan lain di luar tugas pertahanan. Pengaruhnya merata di seluruh aspek kehidupan, dengan penekanan bahwa peran individu sering kali diukur melalui kesetiaan terhadap ideologi negara.

Songun memengaruhi alokasi sumber daya, dengan kegiatan militer memperoleh porsi terbesar dari anggaran nasional. Dampaknya dapat terlihat dalam kehidupan sehari-hari, termasuk pada pola distribusi barang dan pengelolaan infrastruktur. Walau kebijakan ini memberikan stabilitas tertentu dari sudut pandang pemerintahan, terdapat berbagai pihak internasional yang terus memantau kesiapan tempur Korea Utara.

Meskipun demikian, ketika Kim Jong-un mengambil alih kepemimpinan, terdapat penyesuaian untuk menyeimbangkan sektor ekonomi dan militer yang dikenal dengan istilah byungjin. Pendekatan ini dimaksudkan untuk menjalankan pembangunan ganda, yaitu untuk memelihara kekuatan pertahanan sambil menggerakkan ekonomi. Namun, basis kebijakan Songun tetap menjadi landasan penting di Korea Utara.

Konvoi rombongan Presiden Rusia Vladimir Putin di Pyongyang, Juni 2024. Foto: Kremlin.ru (Wikipedia)

Keterlibatan militer Korea Utara dalam kegiatan nonpertahanan juga berhubungan dengan struktur sosial. Kebijakan ini berdampak pada penentuan status masyarakat. Kesempatan pendidikan, karier, dan akses terhadap bahan kebutuhan pokok sering dikaitkan dengan kesetiaan pada negara. Selain itu, informasi publik diatur secara ketat, dan hanya sedikit pengetahuan luar yang dapat diterima oleh masyarakat umum. Pendekatan ini memengaruhi cara Korea Utara berinteraksi di kancah internasional. Di berbagai forum, fokus pada pertahanan dan kemampuan nuklir menjadi bagian dari strategi negosiasi.

Di sisi lain, Korea Selatan mengembangkan pendekatan yang berbeda. Sejak transisi demokrasi pada akhir 1980-an, negara ini secara bertahap membentuk struktur pengawasan sipil terhadap institusi militer. Walau sempat berada di bawah pemerintahan otoriter pada tahun-tahun sebelumnya, perubahan politik memicu keinginan kuat dari rakyat untuk memastikan bahwa pasukan bersenjata berfungsi di bawah kontrol pemerintahan terpilih. Akan tetapi, meskipun proses demokratisasi berhasil di banyak sektor, masih terdapat tantangan tersendiri dalam pengelolaan hubungan sipil-militer.

Salah satu persoalan utama di Korea Selatan adalah dominasi figur militer dalam posisi sipil yang berkaitan dengan pertahanan. Keberadaan purnawirawan di tubuh Kementerian Pertahanan sering dipandang dapat mengurangi unsur pengawasan sipil yang ideal. Kebijakan dan kebiasaan penempatan pejabat militer di jabatan strategis dianggap berpotensi menciptakan konflik kepentingan. Situasi ini memunculkan diskusi tentang efektivitas sistem pertahanan dan seberapa jauh pengaruh korps militer berlanjut di dalam tatanan politik.

Demo penolakan darurat militer di Korea Selatan, Desember 2024. Foto: Hashflu (Wikipedia)

Isu lain berpusat pada penegakan prinsip bahwa kekuatan bersenjata harus tunduk pada otoritas demokratis. Insiden pada akhir tahun 2024, ketika Presiden Yoon Suk-yeol sempat berupaya untuk menyatakan darurat militer, dianggap menyoroti kelemahan tertentu dalam mekanisme negara. Walaupun darurat militer berhasil dibatalkan, peristiwa ini mendorong evaluasi mengenai seberapa kuat kontrol sipil yang ada pada saat ini.

Korea Selatan juga menghadapi permasalahan terkait wajib militer bagi warga negara laki-laki. Sistem ini menuntut setiap individu untuk menjalani pelatihan dalam jangka waktu tertentu. Walaupun dianggap perlu untuk menjaga kesiapan menghadapi ancaman, kebijakan ini menimbulkan diskusi tentang pemerataan beban. Sejumlah kalangan meminta pemerintah untuk meninjau kembali durasi masa dinas dan bagaimana konsekuensinya terhadap rencana pendidikan maupun pekerjaan.

Militerisasi di Semenanjung Korea berjalan dengan bentuk yang berbeda di masing-masing negara. Korea Utara menerapkan sistem “mempersenjatai seluruh populasi” yang bertujuan untuk memperkuat kesiapan nasional di setiap lini. Penerapan struktur paramiliter, wajib militer, dan lembaga pertahanan sipil menunjukkan seberapa jauh pertahanan menjadi bagian integral dari kehidupan di negara tersebut. Situasi ini membuat kontrol pemerintah terhadap aktivitas masyarakat menjadi lebih luas.

Sebaliknya, militerisasi di Korea Selatan berkaitan dengan kebutuhan mempertahankan diri dari potensi ancaman, namun berada dalam konteks tata kelola negara demokratis. Meskipun wajib militer tetap berlaku, upaya merumuskan sistem pertahanan yang selaras dengan kebebasan sipil terus dilakukan. Berdirinya lembaga think tank dan pakar kebijakan keamanan menciptakan perdebatan tentang bagaimana mengatur keseimbangan antara kesiapan tempur dan prinsip-prinsip konstitusional.

Tantangan berikutnya muncul dalam proses diplomasi dan hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan. Keberadaan program nuklir di Korea Utara menjadi faktor yang memengaruhi kebijakan pertahanan di Seoul. Setiap langkah yang diambil Pyongyang dapat memicu respons dari berbagai pihak. Walaupun pemerintah Korea Selatan juga berupaya menegakkan diplomasi untuk mengurangi potensi ketegangan, kesiapan militer harus tetap terjaga.

Hubungan lintas batas turut diperumit oleh perbedaan ideologi dan tingkat keterbukaan masing-masing negara. Sistem di utara menekankan prinsip kemandirian yang mencakup ekonomi tertutup dan pembatasan arus informasi. Sementara di selatan, masyarakat terbiasa dengan akses luas pada media global. Perbedaan ini menyulitkan pencarian titik temu. Upaya perundingan kerap kali menemui tantangan karena kerangka pemikiran kedua pihak berangkat dari landasan yang berbeda.

Ada pula persoalan internal di Korea Selatan yang berkaitan dengan homogenitas kepemimpinan dalam struktur pertahanan. Dalam beberapa kasus, kepemimpinan yang sebagian besar diisi oleh mantan perwira Angkatan Darat dapat memengaruhi sudut pandang kebijakan yang kurang menyeluruh. Beberapa pakar keamanan menyarankan diversifikasi latar belakang pimpinan pertahanan, termasuk keikutsertaan individu yang memiliki pengalaman di luar militer. Pemahaman lebih luas tentang isu ekonomi, hukum internasional, dan hubungan diplomatik dapat memperkuat kebijakan pertahanan.

Reformasi militer di Korea Selatan sering dikaitkan dengan peningkatan kurikulum pendidikan di akademi militer. Personel aktif dan calon perwira diharapkan dapat mempelajari model hubungan sipil-militer yang selaras dengan prinsip demokrasi. Pendekatan ini tidak semata menitikberatkan latihan fisik saja, melainkan juga menekankan pada wawasan sejarah, politik global, dan manajemen krisis.

Terkait cara menghadapi Korea Utara, muncul gagasan di beberapa kalangan untuk membangun pertukaran kultural secara terbatas. Sejumlah pengamat menilai bahwa kegiatan budaya atau ajang olahraga dapat memfasilitasi interaksi yang lebih terbuka. Walaupun tidak dapat memunculkan perubahan instan, pendekatan ini dianggap bisa menjadi pembuka ruang komunikasi.

inter-Korean summit, April 2018. Foto: Blue House (Republic of Korea)

Di sisi lain, pemantauan internasional mengenai aktivitas nuklir dan peluncuran rudal Korea Utara tetap berjalan. Hal ini bertujuan untuk menjaga keamanan regional. Sebagian pihak di Korea Selatan juga menilai perlunya dialog tentang reformasi wajib militer. Pemerintah masih mempertimbangkan ancaman di Semenanjung Korea serta kebutuhan mempertahankan kesiapan pasukan. Suara masyarakat sipil berperan dalam memengaruhi kebijakan tersebut.

Kedua Korea menghadapi jalan berbeda dalam mengelola hubungan militer dengan warga sipil. Korea Utara menekankan peran militer yang sangat luas, sementara Korea Selatan berupaya menjaga prinsip demokrasi dalam pengaturan pasukan bersenjata. Tantangan terus muncul, termasuk faktor geopolitik dan ketegangan regional.

Ke depan, isu pengawasan sipil terhadap militer berpeluang tetap menjadi bahasan utama di Korea Selatan. Pertanyaan seputar sejauh mana purnawirawan dapat berperan dalam lingkup pemerintahan akan terus dikaji. Bagi Korea Utara, kebijakan Songun mungkin akan dipertahankan bersamaan dengan harapan membangun ekonomi. Perbedaan sistem di kedua negara menekankan pentingnya pemahaman konteks budaya dan politik. Prospek rekonsiliasi memerlukan pendekatan panjang serta kehati-hatian, sekaligus menjaga stabilitas di Semenanjung.