
Ansan, sebuah kota industri di Provinsi Gyeonggi, Korea Selatan, telah menjadi rumah bagi komunitas ekspatriat Indonesia yang signifikan. Kota ini telah mendapatkan julukan “miniatur Indonesia” karena tingginya jumlah warga Indonesia yang tinggal dan bekerja di sana. Artikel kali ini akan mengeksplorasi hubungan antara kota Ansan dan komunitas ekspatriat Indonesia, menggambarkan bagaimana komunitas ini telah berintegrasi ke dalam lanskap Ansan yang multikultural sambil mempertahankan identitas budaya mereka. Berbagai aspek seperti adaptasi budaya, aktivitas ekonomi, dan tantangan yang dihadapi oleh ekspatriat Indonesia di Ansan pun akan dibahas secara mendalam.
Ansan sebagai Kota Multikultural
Ansan dikembangkan sebagai kota terencana pertama di Republik Korea, yang mengambil contoh dari kota Canberra, Australia, dan kemudian dipromosikan menjadi kota pada tahun 1986. Kota ini merupakan pusat kewirausahaan terbesar di Korea Selatan, menampung lebih dari 10.000 perusahaan kecil dan menengah. Ansan Science Valley memainkan peran utama bagi perusahaan-perusahaan di era revolusi industri keempat, mirip dengan ‘Silicon Valley’ di Amerika.
Fitur utama yang mendefinisikan Ansan dan menjadi kebanggaan terbesarnya adalah struktur kosmopolitannya. Sebagai salah satu kota dengan etnis yang paling beragam di Korea Selatan, Ansan umumnya dijuluki sebagai ‘desa global kecil’. Kota ini menampung 94.704 orang asing dari 118 negara, mewakili 13,0% dari total populasinya. Dengan jumlah penduduk total sekitar 623.256 orang (per September 2024), Ansan menjadi salah satu kota dengan persentase tertinggi penduduk asing di negara tersebut.
Keragaman Ansan juga tercermin dalam kebijakan pemerintah kotanya. Untuk menghormati hak asasi, keragaman budaya, dan perbedaan dari para warga asing, kota Ansan menerapkan berbagai kebijakan yang memungkinkan warga Korea dan pendatang baru untuk dapat hidup berdampingan secara harmonis. Ansan bahkan memimpin proses yang membawa pada pembentukan Dewan Nasional Kota Multikultural dan menetapkan sistem kooperatif pemerintah daerah.
Komunitas Ekspatriat Indonesia di Ansan
Demografi dan Migrasi
Meskipun data spesifik tentang jumlah ekspatriat Indonesia di Ansan tidak tersedia secara pasti, diketahui bahwa terdapat sekitar 42.000 orang Indonesia di Korea Selatan pada tahun 2019. Sebagian besar dari mereka adalah pekerja migran yang datang melalui program Employment Permit System (EPS), sebuah kerja sama Government-to-Government (G2G) antara Indonesia dan Korea Selatan.

Ekspatriat Indonesia di Ansan sebagian besar terdiri dari pekerja di sektor manufaktur, walaupun ada juga yang bekerja di sektor perikanan. Mayoritas dari pekerja Indonesia lebih memilih bekerja di pabrik (manufaktur) daripada di sektor perikanan (laut) karena kondisi cuaca yang ekstrem di Korea Selatan. Menariknya, kota Ansan kerap dijadikan meeting point bagi imigran Indonesia, menjadikannya pusat komunitas Indonesia di Korea Selatan.
Organisasi Komunitas
Ekspatriat Indonesia di Ansan telah membentuk berbagai organisasi komunitas untuk memperkuat ikatan dan mempertahankan identitas budaya mereka. Salah satu organisasi utama adalah KOMPAK (Komunitas Paguyuban Ansan-Korea) yang dipimpin oleh Beni Handerias. KOMPAK dan 20 paguyuban lainnya bekerjasama dalam mensukseskan program Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Seoul terkait Indonesia.
Selain itu, terdapat juga organisasi berbasis agama seperti Komunitas Muslim Indonesia (KMI) dan Indonesian Community in Corea (ICC) yang mendukung kegiatan keagamaan komunitas Muslim Indonesia di Ansan. Organisasi-organisasi ini berperan penting dalam memelihara ikatan sosial dan budaya di antara ekspatriat Indonesia.
Sistem Pekerja Migran Indonesia di Korea Selatan
Employment Permit System (EPS)
Mayoritas ekspatriat Indonesia di Ansan datang melalui program EPS, sebuah program kerjasama antar pemerintah Indonesia dan Korea Selatan. Program ini didasarkan pada MOU tentang Penempatan Tenaga Kerja antara Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia dan Kementerian Tenaga Kerja Republik Korea (MOEL).
Untuk bekerja di Korea melalui sistem EPS, pencari kerja harus mengikuti ujian kompetensi bahasa Korea “EPS-TOPIK” yang diselenggarakan oleh Human Resources Development Service of Korea (HRD Korea). Ujian ini terdiri dari dua bagian, yaitu membaca dan mendengarkan, masing-masing berisi 20 pertanyaan yang dikerjakan selama 25 menit.
Persyaratan umum untuk menjadi pekerja migran di Korea di antaranya adalah berusia 18-39 tahun, pendidikan minimal SMP atau sederajat, sehat jasmani rohani, tidak cacat fisik dan tidak buta warna, serta lulus ujian EPS-TOPIK. Kontrak kerja berlangsung selama 3-5 tahun dan dapat diperpanjang, dengan gaji sesuai standar UMR Korea yaitu sekitar 25 juta rupiah per bulan.
Kuota dan Penempatan
Korea Selatan menetapkan kebijakan tentang kuota tenaga kerja untuk setiap negara. Untuk Indonesia, Korea Selatan memiliki batas 9.000 pekerja setiap tahunnya. Meskipun demikian, pada tahun 2016, pengiriman pekerja Indonesia ke Korea Selatan untuk sementara ditutup di beberapa sektor karena akumulasi tenaga kerja ilegal.
Menurut data dari BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia), pengiriman pekerja migran Indonesia ke Korea Selatan sangat diminati oleh banyak orang. Banyak calon pekerja memilih Korea Selatan sebagai tujuan kerja mereka karena pertumbuhan ekonomi yang maju dan dapat memberikan gaji yang lebih menjanjikan dibandingkan dengan negara lain untuk pekerja berketerampilan rendah.
Kehidupan Sosial dan Budaya
Kuliner dan Belanja
Salah satu aspek paling menonjol dari kehadiran ekspatriat Indonesia di Ansan adalah berkembangnya bisnis kuliner dan pasar Indonesia. Kota ini memiliki banyak restoran Indonesia, seperti Warung Nusantara yang dimiliki oleh Indria Dhanualve Duduh, seorang ekspatriat Indonesia yang telah tinggal di Korea Selatan sejak 2012. Restoran ini menyajikan hidangan khas Indonesia seperti nasi goreng, bakso, lontong sayur, hingga rendang.

Terdapat juga supermarket Indonesia terbesar di Korea bernama Batavia Indonesia Mart. Supermarket ini menyediakan berbagai produk asal Indonesia, mulai dari mie instan merek Indomie dan ABC, aneka biskuit dan wafer Indonesia, hingga berbagai merek teh celup dan kopi instan. Tidak hanya itu, supermarket ini juga menjual berbagai bumbu instan, bakso halal, hingga tempe yang sangat sulit ditemukan di Korea.
Ansan memiliki kawasan khusus bernama ‘da-munhwa-eumsik-geori’ (jalanan makanan multikultural) yang menyediakan rumah makan dari berbagai negara termasuk Indonesia, Thailand, Vietnam, Kamboja, dan Tiongkok. Kawasan ini menjadi tempat di mana ekspatriat Indonesia dapat menikmati masakan dari tanah air mereka dan juga memperkenalkan kuliner Indonesia kepada warga negara lainnya.
Kehidupan Beragama
Aspek penting lainnya dari kehidupan ekspatriat Indonesia di Ansan adalah praktik keagamaan. Masyarakat Muslim Indonesia telah mendirikan masjid di kota Ansan, yaitu masjid Sirotol Mustaqim Islamic Centre. Pembangunan masjid ini dimulai sejak tahun 2007, dengan penggerak utamanya adalah Adjat Sudrajat, seorang buruh migran asal Brebes yang didukung penuh oleh Komunitas Muslim Indonesia (KMI) dan Indonesian Community in Corea (ICC).
Masjid tersebut dibangun dengan empat lantai dan menghabiskan total biaya 600 juta won atau setara dengan 6 milyar rupiah, yang dikumpulkan dari hasil infaq buruh migran dan warga negara Indonesia yang tinggal di Korea. Masjid ini menjadi tempat berkumpul para wisatawan dan pendatang muslim, dengan kegiatan seperti buka puasa bersama, sahur bersama, sholat tarawih dan kajian saat bulan Ramadhan.
Acara Budaya
Festival Indonesia 2023 yang diselenggarakan di Ansan menunjukkan eksistensi budaya Indonesia di kota tersebut. Festival ini dihadiri oleh sekitar 2000 pengunjung, termasuk pekerja Indonesia di Korea, mahasiswa dan pelajar Indonesia di Korea, diaspora, warga negara Korea, dan warga negara asing lainnya.
Festival tersebut menampilkan berbagai pertunjukan seni budaya Indonesia meliputi pencak silat, Reog Ponorogo, tarian tradisional Indonesia seperti Tor-Tor, musik campursari, dan juga penampilan band warga negara Indonesia di Korea. Kegiatan festival juga dimeriahkan dengan pameran produk Indonesia, kuliner Indonesia, dan berbagai layanan stan informasi bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Korea.
Tantangan dan Kisah Sukses
Tantangan yang Dihadapi
Meskipun ekspatriat Indonesia di Ansan telah membangun komunitas yang kuat, mereka juga menghadapi berbagai tantangan. Penelitian menunjukkan bahwa beberapa pekerja Indonesia melaporkan mengalami pelecehan dan diskriminasi di tempat kerja, dengan sekitar setengah dari mereka mengalami diskriminasi dan pelecehan verbal, dan dua perlima mengalami pelecehan fisik.
Pekerja migran Indonesia juga menghadapi tantangan terkait jam kerja yang terlalu tinggi. Dua pertiga dari pekerja yang diwawancarai mencatat bahwa mereka bekerja lebih dari 12 jam per hari, dan empat dari lima pekerja mengklaim bahwa jam kerja mereka melebihi jam yang ditentukan dalam Kontrak Kerja Standar (SLC).
Kondisi tempat tinggal juga menjadi tantangan bagi beberapa ekspatriat Indonesia. Meskipun semua responden menyebutkan bahwa mereka tinggal di akomodasi yang disediakan oleh pemberi kerja mereka selama bekerja di Korea Selatan, hanya seperempat yang menyatakan puas dengan kondisi tempat tinggal tersebut.
Kisah Sukses
Di tengah tantangan tersebut, terdapat juga kisah sukses dari ekspatriat Indonesia di Ansan. Salah satunya adalah Indria Dhanualve Duduh atau yang akrab disapa Cika, seorang wanita asal Bogor yang telah tinggal di Korea Selatan sejak 2012. Cika adalah seorang pengusaha yang juga aktif mengajar budaya Indonesia di sekolah-sekolah lokal.
Cika telah mengenal BNI sejak 2019 ketika masih bekerja sebagai penjual kartu SIM lokal. Berkat kontribusinya dalam memperkenalkan BNI di Korea Selatan dan memberikan edukasi kepada pekerja migran Indonesia (PMI), Cika menerima penghargaan sebagai Diaspora Heroes dari BNI pada tahun 2024.
Dimulai dari membuka layanan katering nasi kotak untuk banyak diaspora Indonesia, kini Cika mengembangkan Warung Nusantara di kota Ansan. Restoran yang menyajikan berbagai hidangan khas Indonesia ini menjadi pilihan pertama bagi orang-orang yang mencari makanan halal di kota tersebut. Sekitar 80 persen pengunjung Warung Nusantara adalah orang Indonesia, sementara 20 persen lainnya adalah orang Korea, serta orang Bangladesh dan India yang mencari makanan halal.