Seoul, ibu kota Korea Selatan, memiliki sejarah panjang lebih dari dua ribu tahun lamanya. Sejak awal pendiriannya pada tahun 18 SM sebagai Wiryeseong, ibu kota Kerajaan Baekje, kota ini telah mengalami berbagai perubahan, menjadikannya pusat budaya, ekonomi, dan politik seperti yang kita kenal saat ini. Artikel ini akan mengulas lebih tentang evolusi Seoul dari masa kerajaan kuno hingga menjadi kota metropolitan, dengan menyoroti perubahan yang terjadi di setiap era yang membentuk identitas Seoul saat ini.
Masa Wiryeseong dan Kerajaan Baekje
Sejarah Seoul bermula pada masa Kerajaan Baekje, salah satu dari Tiga Kerajaan Korea, yang menetapkan wilayah tersebut sebagai ibu kota yang dinamai Wiryeseong. Didirikan pada tahun 18 SM, Wiryeseong menjadi pusat politik dan budaya Baekje hingga tahun 475 M. Nama “Wiryeseong” merujuk pada dua kota berbeda yang diperkirakan terletak di kawasan Seoul modern. Pemilihan dua lokasi ibu kota ini diduga sebagai upaya strategis untuk melindungi Baekje dari ancaman invasi.
Selama pemerintahan Raja Goi (234-286 M), Baekje berubah dari konfederasi menjadi kerajaan yang lebih terpusat, dengan sistem pemerintahan yang lebih terstruktur. Perubahan ini menjadi dasar bagi pertumbuhan Baekje sebagai kekuatan utama di Semenanjung Korea. Selain itu, Baekje juga menjalin hubungan budaya dan politik dengan Jepang. Melalui pengiriman utusan, seniman, dan cendekiawan, Baekje memainkan peran penting dalam pembentukan budaya Jepang awal, yang berdampak hingga masa kini.
Era Hanseong, yang dinamai berdasarkan wilayah ibu kota Baekje, berlangsung hingga tahun 475 M ketika Goguryeo, kerajaan pesaing di utara, menyerang Wiryeseong. Raja Gaero dari Baekje gugur dalam pertempuran ini, dan ibu kota Baekje pun dipindahkan ke selatan, pertama ke Ungjin (kini Gongju), lalu ke Sabi (kini Buyeo). Meskipun demikian, warisan masa Baekje di Wiryeseong tetap menjadi pondasi penting bagi peran Seoul sebagai ibu kota di masa mendatang, terutama di bawah dinasti-dinasti selanjutnya.
Penggalian arkeologi di wilayah Seoul telah menemukan berbagai artefak dari periode Baekje, memberikan bukti konkret mengenai sejarah awal kota ini. Temuan-temuan ini memberikan wawasan berharga mengenai pencapaian budaya dan teknologi Baekje pada masa itu, memperkaya pemahaman kita tentang masa lalu Seoul yang kaya.
Perencanaan Kota pada Masa Dinasti Joseon
Dinasti Joseon (1392-1910) menandai era penting dalam perkembangan urban Seoul, yang pada saat itu dikenal dengan nama Hanyang. Pada tahun 1394, Hanyang menjadi ibu kota Joseon, dan perencanaan kotanya didasarkan pada prinsip-prinsip Konfusianisme dan kepercayaan geomansi, yang kemudian memengaruhi tata kota dan arsitektur dari wilayah ini selama berabad-abad setelahnya.
Hanyang dirancang mengikuti konsep tradisional dari kota terencana Tiongkok, dengan sistem grid yang berpusat pada istana kerajaan. Kota ini dikelilingi oleh tembok benteng sepanjang 18 kilometer yang berfungsi sebagai pertahanan sekaligus simbol kekuasaan.
Tembok ini memiliki delapan gerbang, yang masing-masing memiliki maknanya tersendiri dalam kosmologi Konfusianisme. Tata kota Hanyang juga merefleksikan hierarki sosial Joseon, di mana Istana Gyeongbokgung terletak di pusat kota yang mencerminkan posisi penting dari raja. Di selatan istana terletak distrik pemerintahan, sementara area pemukiman dibagi berdasarkan status sosial, dengan para bangsawan tinggal lebih dekat dengan istana dan rakyat biasa di bagian luar.
Salah satu ciri utama dari perencanaan urban Joseon di antaranya adalah jalan utama yang lebar membentang dari utara ke selatan dan dari timur ke barat, membentuk pola grid. Sungai Cheonggyecheon, yang mengalir melalui kota, berperan penting dalam pengendalian banjir dan sanitasi. Selain itu, ada juga Kuil Jongmyo dan Altar Sajik yang terletak masing-masing di timur dan barat istana sebagai situs ritual penting.
Prinsip perencanaan urban Dinasti Joseon bertahan hingga akhir abad ke-19. Meskipun demikian, kota ini mengalami perubahan spasial yang lambat di tengah bertambahnya populasi dan aktivitas ekonomi yang berkembang, khususnya di pusat kota, kawasan Mapo, dan Yeongdeungpo.
Warisan perencanaan kota era Joseon masih terlihat hingga kini, terutama dalam tata letak distrik pusat dan pelestarian situs-situs bersejarah, yang memberikan karakter unik pada Seoul sebagai kota yang menggabungkan elemen tradisional dan modern.
Modernisasi pada Masa Kolonial Jepang
Pada masa penjajahan Jepang (1910-1945), Seoul mengalami perubahan besar yang berdampak signifikan terhadap lanskap urban dan struktur sosialnya. Era ini sering disebut sebagai periode “modernitas kolonial”, di mana kota mengalami modernisasi yang pesat di bawah kekuasaan Jepang, meskipun dengan implikasi yang kompleks dan kontroversial bagi masyarakat Korea.
Pemerintah kolonial Jepang melaksanakan inisiatif perencanaan kota secara ekstensif untuk mengubah Seoul, yang saat itu disebut Gyeongseong, menjadi ibu kota kolonial modern. Modernisasi ini meliputi pengenalan infrastruktur baru, sistem transportasi, dan gaya arsitektur yang mengubah tata letak kota tradisional. Perubahan besar yang terjadi antara lain perluasan kota melampaui tembok tradisionalnya, pembangunan jalan lebar dan lurus, serta pengenalan utilitas modern seperti listrik, air bersih, dan sistem pembuangan limbah.
Namun, modernisasi ini sebagian besar dirancang untuk melayani kepentingan rezim kolonial daripada masyarakat Korea. Banyak landmark dan lingkungan tradisional Korea diubah atau bahkan dihapus, termasuk pembongkaran sebagian Istana Gyeongbokgung untuk memberi ruang bagi Gedung Pemerintahan Umum Jepang, yang menjadi simbol penaklukan atas kedaulatan Korea.
Masa kolonial ini menimbulkan perdebatan di kalangan akademisi. Beberapa berpendapat bahwa periode ini membawa modernisasi yang diperlukan, sementara yang lain menekankan sifat eksploitatif dan trauma budaya yang ditimbulkannya.
Periode ini juga memunculkan “dualitas kolonial”, di mana perkembangan modern berdampingan dengan elemen tradisional, menciptakan lanskap sosial dan budaya yang kompleks. Meskipun ada perubahan fisik besar, semangat untuk mempertahankan identitas Korea tetap hidup, dan ketegangan antara modernisasi dan pelestarian budaya ini terus memengaruhi perkembangan Seoul di era pascakolonial.
Seoul Sebagai Megakota Modern
Saat ini, Seoul berdiri sebagai sebuah metropolitan yang memadukan teknologi mutakhir dengan warisan budaya yang kaya. Sebagai ibu kota Korea Selatan, Seoul menjadi rumah dari lebih dari 10 juta jiwa dan berfungsi sebagai pusat ekonomi, budaya, dan teknologi negara ini. Visi perencanaan urban Seoul saat ini berpusat pada upaya menciptakan kota yang cerdas, inklusif, dan ramah lingkungan.
Salah satu fokus utama dari Seoul modern adalah penerapan solusi kota pintar untuk mengoptimalkan manajemen lalu lintas, meningkatkan keselamatan publik, dan memperbaiki layanan publik. Kota ini juga menekankan aspek pembangunan berkelanjutan dengan mengurangi jejak karbon melalui transportasi ramah lingkungan dan bangunan hemat energi. Selain itu, proyek-proyek regenerasi kota seperti Seoullo 7017 dan regenerasi Pusat Perbelanjaan Sewoon mencerminkan pergeseran menuju revitalisasi ruang-ruang urban yang ada.
Seoul juga terus berupaya untuk menjaga keseimbangan antara modernisasi dan pelestarian budaya. Upaya pelestarian situs-situs bersejarah, seperti kawasan empat gunung dalam kota, menjadi bagian penting dari identitas kota yang terus berkembang ini.
Bentang urban Seoul saat ini mencerminkan perpaduan antara gedung pencakar langit yang futuristik, situs-situs bersejarah yang dipugar, dan proyek arsitektur inovatif. Kota ini terus berkembang, menghadapi tantangan seperti keterjangkauan perumahan dan keberlanjutan lingkungan, sekaligus mempertahankan posisinya sebagai salah satu metropolis global terkemuka.
Seoul adalah contoh kota yang terus berubah, namun tidak melupakan akarnya. Dari Wiryeseong pada masa Baekje hingga menjadi pusat teknologi dan budaya modern, setiap era memberikan kontribusi terhadap identitas Seoul.