Rekaman Otentik Dinasti Joseon, yang dikenal sebagai Joseon Wangjo Sillok, adalah catatan sejarah yang disusun oleh negara untuk mendokumentasikan pemerintahan dari 25 raja Dinasti Joseon dari tahun 1392 hingga 1865. Rekaman ini terdiri dari 1.893 volume dan lebih dari 49 juta karakter, menjadikannya sebagai dokumentasi terpanjang dari satu dinasti yang berkelanjutan dalam sejarah dunia. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang sejarah dan proses penyusunan Sillok, peran para sejarawan, dampak kolonialisme Jepang, serta signifikansi sejarah dari catatan ini.
Sejarah Joseon Sillok
Joseon Wangjo Sillok mencakup sejarah sepanjang lebih dari 500 tahun, dari akhir abad ke-14 hingga statusnya saat ini sebagai bagian dari “Memori Dunia” UNESCO. Tradisi penyusunan arsip kerajaan dimulai dengan berdirinya Dinasti Joseon pada tahun 1392 oleh Raja Taejo. Sillok pertama, yang mencatat pemerintahan Raja Taejo, selesai disusun pada tahun 1413 di bawah pemerintahan Raja Taejong. Sejak saat itu, setiap raja berikutnya menginisiasi penyusunan catatan pemerintahan pendahulunya setelah wafat.
Selama periode Joseon, Sillok menghadapi berbagai tantangan dalam proses pelestariannya. Pada masa invasi Jepang ke Korea (1592-1598), yang dikenal sebagai Perang Imjin, tiga dari empat repositori asli Sillok hancur. Satu-satunya salinan yang tersisa di Repositori Jeonju berhasil diselamatkan berkat upaya heroik para cendekiawan dan pejabat lokal yang memindahkan catatan tersebut ke tempat aman di pegunungan.
Setelah perang, Raja Seonjo memerintahkan rekonstruksi volume Sillok yang hilang dan mendirikan situs repositori baru. Empat arsip sejarah (sago) baru dibangun di lokasi pegunungan yang terpencil, yaitu di Chunchugwan, Chungju, Jeonju, dan Seongju. Sistem penyimpanan yang tersebar ini membantu melindungi catatan tersebut dari bencana di masa mendatang.
Meskipun proses penyusunan dan pelestarian Sillok relatif lancar hingga akhir abad ke-19, periode kolonial Jepang (1910-1945) membawa ancaman baru terhadap arsip ini. Pemerintah kolonial memindahkan beberapa volume ke Jepang, sementara beberapa lainnya rusak atau hancur selama periode tersebut. Setelah Korea merdeka pada tahun 1945, berbagai upaya dilakukan untuk memulihkan dan mengembalikan Sillok. Pada tahun 1973, pemerintah Korea Selatan menetapkan Rekaman Otentik Dinasti Joseon sebagai Harta Nasional No. 151, menyoroti nilai sejarah dan budaya yang sangat besar dari catatan tersebut.
Pada tahun 1997, UNESCO mengakui signifikansi global Sillok dengan mendaftarkannya dalam Memory of the World Register. Pengakuan internasional ini membantu mempromosikan pelestarian dan studi lebih lanjut tentang Sillok di seluruh dunia. Baru-baru ini, upaya digitalisasi telah membuat Sillok lebih mudah diakses.
Institut Sejarah Korea Nasional telah menciptakan basis data daring yang menyediakan akses gratis ke teks asli dalam bahasa Tionghoa dan terjemahan bahasa Korea. Arsip digital ini merevolusi penelitian tentang sejarah dan budaya Joseon, memungkinkan para cendekiawan dan masyarakat umum untuk menjelajahi catatan berharga ini dengan lebih mudah.
Proses Penyusunan Sillok
Proses penyusunan Sillok merupakan usaha yang teliti dan sangat terstruktur yang biasanya dimulai setelah kematian seorang raja. Proses ini melibatkan beberapa tahap dan protokol ketat untuk memastikan akurasi dan kelengkapannya.
Tahap pertama adalah pengumpulan bahan-bahan sumber, seperti catatan harian (sacho) yang disimpan oleh sejarawan istana. Catatan harian tersebut mencakup Seungjeongwon Ilgi (Catatan Sekretariat Kerajaan), Sangsi Cheongeo (catatan dari Kantor Penasehat Khusus), dan Gyeongseong Ilgi (Catatan Harian Biro Ibu Kota). Setelah sumber terkumpul, kantor sementara yang disebut Sillokcheong didirikan untuk mengawasi proses penyusunan. Kantor ini diisi oleh cendekiawan yang dipilih secara cermat berdasarkan integritas dan keahlian mereka dalam sejarah.
Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara kronologis dan dirancang menjadi narasi yang koheren. Draft yang telah dibuat kemudian melalui beberapa tahap penyuntingan dan pemeriksaan silang untuk memastikan akurasi dan menghilangkan inkonsistensi.
Setelah disetujui oleh para pejabat senior dan cendekiawan, naskah final disalin ke atas kertas berkualitas tinggi menggunakan tinta khusus. Beberapa salinan dibuat dan disimpan di berbagai lokasi untuk menjaga keselamatan catatan tersebut.
Setelah penyusunan selesai, semua bahan sumber, termasuk sacho, dimusnahkan melalui proses yang disebut secho, yaitu merendam dokumen dalam air sehingga teks menjadi tidak terbaca. Hal ini dilakukan untuk menjaga kerahasiaan dan keunikan Sillok.
Peran Historiografer dalam Penyusunan Sillok
Peran para sejarawan istana (sagwan) sangat penting dalam menjaga akurasi dan ketidakberpihakan catatan sejarah. Para cendekiawan ini bertanggung jawab mencatat semua urusan harian istana dan masalah negara dengan teliti dan objektif. Mereka selalu mendampingi raja untuk mencatat setiap kata dan tindakannya secara rinci, menjaga kerahasiaan dengan ketat. Mereka juga mendapatkan perlindungan hukum dan independensi editorial untuk memastikan dokumentasi yang tidak bias.
Catatan harian yang disusun oleh para sagwan ini menjadi sumber utama untuk penyusunan Sillok. Para sagwan menunjukkan kemampuan mereka dalam menggambarkan sejarah (chae), pengetahuan sejarah (hak), dan kemampuan penilaian (sik). Komitmen mereka terhadap akurasi dan ketidakberpihakan terbukti dalam kesediaan mereka untuk mencatat peristiwa yang mungkin tidak menyenangkan bagi raja, seperti insiden terkenal ketika Raja Taejong terjatuh dari kudanya.
Dampak Kolonialisme Jepang terhadap Sillok
Periode kolonial Jepang dari tahun 1910 hingga 1945 membawa dampak besar terhadap Sillok. Pada masa ini, catatan tersebut berada di bawah kendali pemerintah kolonial Jepang, yang mengakibatkan beberapa konsekuensi yang signifikan. Repositori di Jeongjoksan dan Taebaeksan dipindahkan ke Universitas Kekaisaran Keijō di Seoul, sementara salinan Odae-san dibawa ke Universitas Kekaisaran Tokyo di Jepang. Banyak volume sillok yang hancur selama gempa besar Kantō pada tahun 1923 di Jepang.
Selain itu, kredibilitas catatan pemerintahan dua raja terakhir Dinasti Joseon, Gojong dan Sunjong, dianggap terpengaruh oleh kolonialisme Jepang, sehingga mengurangi nilai historis dan ketidakberpihakannya. Akibatnya, catatan ini tidak dimasukkan ke dalam Harta Nasional Korea Selatan atau dalam daftar Memori Dunia UNESCO. Sebagian volume Sillok juga dijarah selama masa ketidakstabilan sekitar kemerdekaan Korea, dengan rumor bahwa beberapa salinan dibawa ke Korea Utara. 46 volume yang diambil oleh Jepang baru dikembalikan ke Korea pada tahun 2006, lebih dari 60 tahun setelah berakhirnya kolonialisme.
Warisan dan Signifikansi Sillok
Rekaman Otentik Dinasti Joseon berdiri sebagai harta sejarah yang tak tertandingi, menawarkan wawasan berharga tentang hampir lima abad sejarah Korea. Proses penyusunannya yang teliti dan kepatuhan yang ketat terhadap objektivitas menjadikan Sillok sebagai sumber sejarah yang sangat andal bagi para cendekiawan. Meskipun menghadapi berbagai tantangan, termasuk perang, pendudukan kolonial, dan bencana alam, Sillok sebagian besar berhasil bertahan, menjadi bukti dari pentingnya catatan ini dan upaya yang dilakukan untuk melestarikannya.
Saat ini, Sillok terus memainkan peran penting dalam studi tentang Korea. Digitalisasi dan akses terbuka telah merevolusi penelitian, memungkinkan para cendekiawan di seluruh dunia untuk mendalami sejarah Joseon dengan lebih mudah. Sebagai bagian dari Memory of the World UNESCO, Rekaman Otentik Dinasti Joseon tidak hanya berfungsi sebagai jendela ke masa lalu Korea tetapi juga sebagai contoh luar biasa dari pencatatan sejarah, menawarkan pelajaran dalam tata kelola, pelestarian budaya, dan nilai abadi dari dokumentasi sejarah yang akurat.