
Pasar tradisional di Korea Selatan menyimpan sejarah panjang yang terus hidup di tengah modernisasi. Meskipun menghadapi tekanan dari format ritel modern dan perubahan pola konsumsi, berbagai inisiatif telah diluncurkan untuk menjaga peran penting pasar ini dalam kehidupan masyarakat. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang perjalanan sejarah, tantangan, dan strategi revitalisasi pasar tradisional di Korea.
Sejarah Pasar Tradisional Korea
Pasar tradisional telah menjadi bagian penting dari struktur sosial dan ekonomi masyarakat Korea selama berabad-abad. Sejak masa Dinasti Joseon awal (1392–1910), pasar-pasar ini sudah dikenal, meskipun perdagangan di kala itu masih diatur secara ketat. Perkembangan ekonomi, perdagangan, dan sirkulasi mata uang yang lebih luas pada abad ke-17 mendorong pertumbuhan pasar secara signifikan. Penggunaan mata uang standar Sangpyeong tongbo dari tahun 1678 hingga 1894 menjadi salah satu faktor utama yang mendorong ekspansi ini. Hingga awal abad ke-19, lebih dari seribu pasar telah tercatat di Korea.
Selain fungsi ekonominya, pasar tradisional juga berperan sebagai pusat pertukaran informasi dan interaksi sosial. Bahkan pada masa penjajahan Jepang, pasar-pasar ini menjadi tempat berkumpulnya masyarakat dalam kegiatan politik dan mendukung pergerakan kemerdekaan.
Sebagian besar pasar tradisional beroperasi dalam siklus lima hari, menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat agraris yang mandiri dan tidak terlalu bergantung pada barang jadi. Beberapa pasar menjual produk spesifik, seperti pasar hewan ternak, pasar hasil bumi, dan pasar obat tradisional. Salah satu contoh dari pasar ini adalah Pasar Yangnyeongsi di Daegu yang berfokus pada perdagangan bahan obat-obatan tradisional dan telah beroperasi sejak 1658.
Dengan pertumbuhan ekonomi pesat pada tahun 1970-an, jumlah pasar permanen harian meningkat drastis. Lebih dari 700 pasar tercatat pada akhir dekade tersebut, mencerminkan perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat.
Tantangan di Era Modern
Meskipun masih memiliki nilai budaya dan sejarah, pasar tradisional di Korea menghadapi tantangan besar dari ritel modern dan e-commerce. Antara tahun 2013 hingga 2020, lebih dari 100 pasar tradisional tutup, sementara jumlah supermarket besar bertambah hampir dua kali lipat. Pada tahun 2023, makanan menjadi kategori penjualan online terbesar, mencakup sekitar 30% dari total penjualan daring.
Perubahan demografis turut memperparah situasi. Sekitar 64,3% pengunjung pasar tradisional berasal dari kelompok usia 50 tahun ke atas, sedangkan hanya 5,4% berasal dari kelompok usia 20 tahun ke bawah. Ini menunjukkan kesenjangan generasi yang mengancam kesinambungan pasar.
Masalah citra juga menjadi kendala. Sebanyak 65,1% responden dalam survei menyebut kurangnya variasi produk, kekhawatiran terhadap kualitas, harga yang tidak bersaing, dan pelayanan yang kurang ramah sebagai alasan utama mereka enggan kembali atau merekomendasikan pasar tradisional. Kasus-kasus pemalakan harga terhadap wisatawan turut memperburuk reputasi.
Strategi Revitalisasi yang Inovatif
Berbagai strategi telah diterapkan untuk menghidupkan kembali pasar tradisional dan menjadikannya relevan di tengah perubahan zaman. Beberapa pasar di Seoul seperti Amsa dan Mangwon menjadi contoh transformasi digital, dengan menyediakan sistem pembayaran elektronik, layanan pemesanan daring, dan pengantaran barang.
Upaya lain adalah penyelenggaraan pasar malam yang menampilkan kuliner Korea dan hiburan modern. Program ini ditujukan untuk menarik pengunjung muda dan wisatawan yang mencari pengalaman unik. Gabungan antara makanan tradisional dan suasana malam yang hidup dapat membantu memperluas daya tarik pasar. Pemerintah turut andil melalui program yang dijalankan Kementerian UKM dan Startup. Bantuan ini meliputi peningkatan infrastruktur, pelatihan pedagang, serta dukungan dalam strategi pemasaran.
Pendekatan tematik juga terbukti efektif. Pasar Tongin di Seoul, misalnya, memperkenalkan konsep “lunchbox buffet” yang memungkinkan pengunjung untuk menyusun sendiri menu dari berbagai kios makanan. Cara ini tidak hanya menarik perhatian pencinta kuliner saja, tetapi juga menciptakan pengalaman yang lebih interaktif.

Kerja sama antar pedagang dalam bentuk pemasaran kolektif turut membantu meningkatkan daya saing. Penggunaan merek bersama, penyelenggaraan promosi, dan program loyalitas telah menunjukkan hasil positif dalam meningkatkan kunjungan ulang.
Sebagian pasar juga mengadopsi pendekatan berbasis komunitas, seperti pembentukan kelompok usaha berbasis pasar yang mempekerjakan warga lansia. Pendekatan ini memberikan penghasilan tambahan bagi kelompok usia lanjut sekaligus memperkuat fungsi sosial pasar.
Namun demikian, hambatan dalam usaha ini masih ada. Kesenjangan digital merupakan tantangan besar karena banyak pedagang pasar termasuk dalam kelompok yang belum akrab dengan teknologi. Diperlukan pelatihan yang tepat sasaran agar semua pedagang dapat memanfaatkan kemajuan digital.
Studi Kasus Keberhasilan
Beberapa pasar telah berhasil menjawab tantangan tersebut dengan pendekatan khas. Salah satu contohnya adalah Pasar Gwangjang di Seoul yang telah menjadi destinasi kuliner populer dengan sajian seperti bindaetteok dan mayak kimbap yang digemari wisatawan. Ada juga Pasar Junggok yang mulai menerapkan layanan belanja online dan pengiriman sejak 2005, menyasar rumah tangga muda dan individu.

Pasar Sindang mengubah ruang kosong menjadi galeri seni dan studio kecil, menggabungkan perdagangan tradisional dengan kreativitas. Sedangkan di Busan, Pasar Bupyeong memanfaatkan statusnya sebagai pasar malam pertama di Korea dengan menyajikan aneka jajanan dari berbagai negara.
Revitalisasi pasar tradisional di Korea menunjukkan bahwa warisan budaya dan inovasi tidak saling bertentangan. Sebaliknya, keduanya dapat saling menguatkan. Dengan menggabungkan nilai historis, fungsi sosial, dan adaptasi teknologi, pasar tradisional tetap dapat menjadi ruang ekonomi dan budaya yang relevan. Keberlanjutan pasar-pasar ini akan sangat bergantung pada kemampuan para pedagang untuk beradaptasi sambil tetap menjaga identitasnya di tengah lanskap ritel yang terus berubah.