
Ketika Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor baru sebesar 25% terhadap barang dari Korea Selatan pada 2 April 2025, gelombang kekhawatiran langsung menyapu sektor ekonomi Korea Selatan.
Kebijakan yang mulai berlaku pada 10 April 2025 tersebut menjadi pukulan besar bagi hubungan perdagangan kedua negara, yang pada tahun 2024 mencapai nilai ekspor sebesar 127,8 miliar dolar AS. Pemerintah Korea Selatan pun segera merespons dengan serangkaian kebijakan darurat dan dukungan finansial, termasuk penyediaan likuiditas hingga 100 triliun won atau setara dengan 68,12 miliar dolar AS.
Riwayat Hubungan Dagang dan Tarif Baru
Tarif ini bukan menjadi kebijakan pertama dari pemerintahan Trump yang menyasar Korea Selatan. Sebelumnya pada Maret 2025, tarif 25% sudah lebih dahulu diterapkan terhadap produk baja asal Korea. Tarif tersebut mencederai kesepakatan perdagangan bebas Korea Selatan–Amerika Serikat (KORUS FTA) yang telah berlaku sejak 2012 dan diperbarui pada 2018, di mana sebelumnya sekitar 95% barang dari AS dibebaskan dari tarif impor ke Korea.
Terdapat kebingungan pada awal pengumuman tarif karena perbedaan data antara penyampaian Presiden Trump dan dokumen resmi Gedung Putih, yang menyebutkan tarif 25% dan 26% secara bergantian. Namun yang jelas, kebijakan ini menandai perubahan tajam dalam hubungan ekonomi bilateral.
Sektor Terimbas
Sektor otomotif dan semikonduktor, dua sektor utama dalam ekspor Korea Selatan, menerima dampak terbesar dari tarif ini. Bahkan, industri otomotif menyumbang sekitar 27% dari total ekspor Korea Selatan ke AS pada 2024. Produsen mobil Korea kini berada dalam posisi kurang menguntungkan dibandingkan kompetitor lain yang memiliki basis produksi lebih besar di dalam wilayah Amerika. Untuk menjaga kelangsungan sektor ini, pemerintah menaikkan dukungan pembiayaan hingga 15 triliun won atau sekitar 10,18 miliar dolar AS.
Di sisi lain, industri semikonduktor juga berada dalam posisi rentan. Beberapa pengamat bahkan menyebut penerapan tarif pada semikonduktor sebagai tindakan yang merugikan Amerika sendiri. Korea Selatan memang memiliki alternatif pasar ekspor lain, namun AS masih sangat bergantung pada impor semikonduktor dari Korea. Kim Heungchong, mantan presiden Korea Institute for International Economic Policy, menyebut langkah AS tersebut sebagai “menembak kaki sendiri”.
Industri baja juga tak luput dari tekanan. Sebagai eksportir baja terbesar keempat ke Amerika Serikat, Korea Selatan sudah terdampak tarif sejak Maret. Penambahan tarif baru akan semakin menekan daya saing produsen baja lokal. Industri lain yang berpotensi akan terdampak adalah sektor farmasi, yang sempat disebut secara eksplisit oleh Presiden Trump sebagai target tarif berikutnya.
Langkah-Langkah Tanggap Darurat Pemerintah Korea
Menghadapi tekanan tersebut, pemerintah Korea Selatan merespons secara sistematis. Di antaranya, pemerintah menyuntikkan hingga 100 triliun won dalam bentuk likuiditas darurat dan kebijakan stabilisasi pasar. Dukungan pembiayaan bagi industri otomotif ditingkatkan, sementara pajak pembelian mobil diturunkan dari 5% menjadi 3,5% hingga pertengahan tahun 2025. Subsidi potongan harga kendaraan listrik pun dinaikkan hingga 30%–80% dan diperpanjang masa berlakunya selama enam bulan ke depan.

Bank Sentral Korea (Bank of Korea) juga mempertimbangkan untuk melonggarkan kebijakan moneternya lebih cepat dari rencana awal, dengan kemungkinan penurunan suku bunga pada 17 April 2025. Di sisi diplomatik, pemerintah Korea Selatan lebih memilih jalur negosiasi ketimbang pembalasan langsung. Delegasi tingkat tinggi telah dikirim ke Amerika Serikat dengan harapan dapat membuka ruang kerja sama baru, termasuk di bidang industri perkapalan dan gas cair.
Penyesuaian Ekonomi Jangka Panjang
Dampak kebijakan tarif ini tidak hanya terbatas pada tataran jangka pendek. Pemerintah dan pelaku industri Korea Selatan kini terpaksa harus meninjau ulang model pertumbuhan ekonomi yang selama ini bertumpu pada ekspor. Strategi diversifikasi pasar ekspor menjadi salah satu fokus utama. Hubungan dagang dengan negara-negara Asia Tenggara, India, dan pasar berkembang lainnya diproyeksikan akan diperluas guna mengurangi ketergantungan pada pasar Amerika Serikat.
Selain itu, restrukturisasi industri dan inovasi teknologi menjadi agenda penting. Pemerintah Korea kemungkinan akan mempercepat pelaksanaan program “New Deal” yang mendukung industri digital dan ramah lingkungan sebagai mesin pertumbuhan baru. Konsumsi domestik juga mulai diposisikan sebagai penopang utama perekonomian. Pemberian subsidi kendaraan listrik dan insentif pembelian mobil merupakan sinyal awal dari arah kebijakan ini.
Banyak perusahaan Korea juga sedang mengevaluasi ulang rantai pasok dan strategi produksinya. Relokasi fasilitas produksi ke wilayah Amerika Serikat atau negara lain menjadi salah satu opsi untuk mengurangi dampak dari tarif. Pergeseran ini akan berpengaruh pada struktur industri manufaktur Korea dan global.

Dalam jangka panjang, transformasi ekonomi Korea juga diperkirakan akan bergerak ke arah sektor jasa. Pemerintah diprediksi akan memperkuat sektor keuangan, kesehatan, dan ekspor budaya sebagai sumber pertumbuhan baru yang lebih tahan terhadap gejolak dagang global.
Penyesuaian struktural seperti ini tentu tidaklah mudah. Diperlukan investasi besar dalam pendidikan dan program pelatihan ulang tenaga kerja agar masyarakat dapat mengikuti perubahan arah ekonomi. Menurut proyeksi AMRO (ASEAN+3 Macroeconomic Research Office), perekonomian Korea Selatan tetap menunjukkan ketahanan dengan proyeksi pertumbuhan sebesar 1,6% pada 2025, walaupun angka ini lebih rendah dari prediksi sebelumnya.
Aliansi Dagang Baru di Asia-Pasifik
Perubahan kebijakan tarif Amerika terhadap Korea Selatan juga terjadi di tengah transformasi lanskap perdagangan Asia-Pasifik secara lebih luas. Kawasan ini semakin terintegrasi secara ekonomi. Pada 2022, sekitar 57% nilai perdagangan Asia berasal dari transaksi intra-kawasan, naik dari 54% dari tahun 2000.
Salah satu pendorong integrasi ini adalah Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang melibatkan 15 negara Asia-Pasifik, termasuk Korea Selatan. Perjanjian ini memfasilitasi pengurangan tarif dan integrasi rantai pasok. Pada tahun 2024, perdagangan intra-ASEAN pulih sebesar 7,03% setelah sebelumnya turun 13,3% di tahun 2023.

Beberapa negara Asia kini menjadi penghubung utama dalam perdagangan global. Vietnam, misalnya, semakin berperan sebagai perantara perdagangan antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Sementara itu, India mulai menempuh jalur tersendiri dengan meningkatkan ekspor ke Eropa dan Amerika serta memperkuat hubungan dagang dengan Rusia, khususnya dalam sektor energi.
Tren penanaman modal asing juga mencerminkan perubahan ini. India mencatat peningkatan investasi proyek baru (greenfield) sebesar 35% pada periode 2022–2023 dibandingkan rata-rata sebelum pandemi. Negara-negara ASEAN mengalami kenaikan 10%, sementara investasi ke Tiongkok justru menurun lebih dari 60%.
Di sisi lain, perjanjian CPTPP (Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership), yang merupakan kelanjutan dari TPP pasca keluarnya Amerika Serikat, tetap menjadi alat penting dalam memperkuat kerja sama perdagangan kawasan.
Namun demikian, pergeseran ini tidak bebas dari risiko. Ketergantungan berlebih pada regionalisasi bisa menjadi titik lemah jika salah satu pasar utama terganggu. Ketegangan geopolitik antara AS dan Tiongkok juga tetap menjadi sumber ketidakpastian bagi perdagangan global.
Meningkatnya peran Asia dalam perdagangan dunia tercermin dari pangsa ekspor dan impor nominal global kawasan ini, yang masing-masing mencapai angka 38,9% dan 36,7% pada 2024. Angka ini menegaskan posisi Asia sebagai pusat baru dalam dinamika perdagangan global.
Tarif impor yang diterapkan Amerika Serikat terhadap Korea Selatan memunculkan tantangan struktural yang serius. Namun, respons cepat pemerintah Korea, ditambah dengan strategi jangka panjang untuk diversifikasi dan restrukturisasi ekonomi, menunjukkan kemampuan negara tersebut dalam menghadapi tekanan global. Dalam konteks regional, pergeseran aliansi dagang di Asia-Pasifik semakin menguatkan pentingnya integrasi dan fleksibilitas dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global yang terus berubah.