
Pungsu, atau yang sering dikenal sebagai feng shui ala Korea, adalah praktik geomansi kuno yang bertujuan untuk menciptakan harmoni antara tempat tinggal manusia dengan lingkungan alaminya. Sistem kepercayaan tradisional ini, yang berakar kuat dalam budaya Korea, berfokus pada aliran energi atau “qi” untuk menentukan lokasi yang menguntungkan bagi bangunan, makam, dan struktur lainnya.
Asal-Usul Pungsu
Pungsu merupakan adaptasi geomansi Tiongkok yang telah berakar dalam sejarah Korea sejak masa lampau. Bukti arkeologi menunjukkan bahwa prinsip geomansi sudah memengaruhi budaya Korea sejak abad ke-5 dan ke-6 Masehi. Hal ini terlihat dalam lukisan empat penjaga pelindung serta bukit berbentuk bulan sabit di sekitar situs ibu kota Kerajaan Koguryo, Hwandosong, di Sungai Yalu bagian atas.
Geomansi pertama kali berkembang di Dataran Loess, Tiongkok kuno, sebagai metode memilih lokasi tempat tinggal yang nyaman, khususnya di dalam gua. Istilah geomansi “hyol” (xue: 穴), yang secara harfiah berarti “gua”, digunakan untuk menggambarkan lokasi yang menguntungkan. Saat geomansi menyebar ke Korea, praktik ini beradaptasi dengan lanskap dan budaya setempat. Salah satu tokoh penting dalam tradisi ini adalah Master Toson, yang dikenal menganalisis lanskap Korea berdasarkan prinsip geomansi dan merumuskan berbagai ramalan geomantik.
Pengaruh pungsu semakin meningkat selama periode Tiga Kerajaan (57 SM – 935 M) dan mencapai puncaknya pada masa Dinasti Goryeo (918-1392) serta Joseon (1392-1910). Pada masa tersebut, pungsu memainkan peran penting dalam berbagai aspek masyarakat Korea, seperti:
- Pemilihan lokasi ibu kota dan lokasi makam kerajaan.
- Tata letak istana dan arsitektur penting lainnya.
- Penentuan lokasi makam leluhur.
- Desain permukiman dan rumah individu.
Selama Dinasti Joseon, pemerintah bahkan membentuk pos resmi dalam Gwansanggam (Kantor Pengamatan Fenomena Alam) untuk para ahli geomansi. Mereka bertanggung jawab atas praktik dan pendidikan terkait prinsip-prinsip geomansi.

Pungsu tidak hanya memengaruhi perencanaan arsitektur saja, tetapi juga memasuki ranah politik dan gerakan sosial. Misalnya, gerakan Tonghak, yang berfokus pada keagamaan dan reformasi sosial, mengintegrasikan penjelasan geomantik dalam teks dan praktiknya di abad ke-19. Meskipun mendapat oposisi dari beberapa sarjana Neo-Konfusianisme yang menganggap praktik ini sebagai takhayul, pungsu tetap menjadi bagian integral dari budaya Korea.
Selama masa penjajahan Jepang (1910-1945), pungsu menjadi bentuk perlawanan budaya. Meskipun terdapat laporan yang menyatakan bahwa pihak Jepang berupaya untuk mengganggu aliran energi geomantik di semenanjung Korea, kepercayaan terhadap pungsu tetap bertahan. Hingga saat ini, meskipun perencanaan kota modern dan pendekatan ilmiah telah menggantikan sebagian besar praktik pungsu tradisional, prinsip-prinsipnya masih memengaruhi budaya Korea, khususnya dalam hal hunian pribadi dan lokasi makam.
Prinsip-Prinsip Geomantik dalam Pungsu
Prinsip geomantik pungsu berakar pada konsep qi (기), yaitu energi, dan interaksinya dengan lanskap alam. Praktik ini bertujuan mengidentifikasi dan memanfaatkan aliran energi yang menguntungkan untuk penempatan struktur atau makam. Beberapa elemen kunci dalam geomansi pungsu meliputi:
- Baesanimsu (배산임수): Prinsip dasar ini menekankan posisi ideal bangunan dengan gunung di belakang dan sumber air di depan. Susunan ini diyakini dapat mengumpulkan dan menyalurkan energi positif dengan lancar ke dalam bangunan.
- Empat Penjaga (Sasinsa): Pungsu mengadopsi konsep empat penjaga langit yang melindungi empat arah mata angin, yaitu Cheongryong (Naga Biru) di Barat, Baekho (Harimau Putih) di barat, Jujak (Burung Phoenix Merah) di selatan, dan Hyeonmu (Kura-kura Hitam) di utara. Keempat penjaga ini sering diwakili oleh fitur alami di sekitar lokasi.
- Keseimbangan Yin dan Yang: Pungsu berusaha menciptakan harmoni antara energi yang saling berlawanan, dengan gunung melambangkan energi maskulin (yang) dan air melambangkan energi feminin (yin).
- Lima Elemen (Ohang): Interaksi dan keseimbangan elemen Bumi, Logam, Air, Kayu, dan Api di lingkungan sekitar dipercaya dapat memengaruhi energi suatu lokasi.
- Hyeol (혁): Istilah ini merujuk pada titik vital atau “titik akupunktur” tanah tempat qi paling terkonsentrasi.
- Aliran angin dan air: Nama “Pungsu” secara harfiah berarti “angin dan air”. Praktisi pungsu menganalisis pergerakan elemen ini di suatu area untuk menilai dampaknya pada sirkulasi qi.
- Analisis topografi: Para ahli pungsu mempelajari bentuk, kontur, dan orientasi tanah secara cermat untuk menentukan kualitas energinya.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, praktisi pungsu berupaya menciptakan lingkungan yang harmonis yang diyakini dapat meningkatkan kesejahteraan penghuninya.
Pengaruh Pungsu pada Arsitektur Korea
Pengaruh pungsu dalam hunian pribadi dapat ditemui dengan mudah pada arsitektur hanok, rumah tradisional Korea. Pembangunan hanok menerapkan prinsip Baesanimsu, dengan posisi rumah membelakangi gunung dan menghadap air, biasanya dengan orientasi ke selatan. Susunan ini diyakini memanfaatkan energi positif, melindungi dari angin dingin utara, dan memaksimalkan paparan sinar matahari. Tata letak internal hanok juga mencerminkan prinsip pungsu, di mana sisi timur yang melambangkan kehidupan digunakan untuk area tinggal, sementara sisi barat yang dikaitkan dengan kematian sering digunakan untuk ruang penyimpanan.
Pengaruh pungsu juga terlihat pada perencanaan kota dan struktur penting. Kota Seoul, misalnya, terletak strategis di sepanjang Sungai Hangang dan dikelilingi oleh gunung, sebuah lokasi yang dianggap menguntungkan menurut pungsu. Istana Gyeongbokgung, istana utama Dinasti Joseon, juga dibangun sesuai dengan praktik ini, terletak di antara dua gunung dengan aliran sungai di depannya.

Dalam arsitektur Buddhis Korea, prinsip pungsu memainkan peran penting dalam penempatan dan desain kuil. Kuil-kuil ini sering dibangun di lereng gunung, menghadap selatan, dengan tata letak dan orientasi yang dirancang untuk harmonis dengan lingkungan di sekitarnya.
Pungsu terus memberikan pengaruh bahkan dalam arsitektur Korea kontemporer. Meskipun teknik perencanaan perkotaan telah berkembang, elemen-elemen pungsu masih sering digunakan dalam desain dan orientasi bangunan baru. Contoh nyata dari perpaduan ini dapat dilihat dalam pengembangan kota pintar seperti Distrik Bisnis Internasional Songdo, di mana prinsip pungsu dipertimbangkan bersama teknologi mutakhir.
Dampak pungsu yang bertahan lama pada arsitektur Korea tidak hanya terlihat dalam segi estetika ataupun spiritual saja, tetapi juga dalam segi praktis. Prinsip-prinsip pungsu sering kali sejalan dengan praktik pembangunan yang ramah lingkungan, mempromosikan harmoni dengan lingkungan alami dan penggunaan sumber daya alam secara optimal. Aspek ekologis pungsu ini mendapatkan apresiasi baru dalam konteks arsitektur dan perencanaan kota yang berkelanjutan.
Pungsu bukan hanya sekadar praktik tradisional saja, tetapi juga menjadi cerminan dari cara hidup yang berupaya untuk menciptakan harmoni antara manusia dan alam. Meskipun zaman telah berubah, nilai-nilai yang terkandung dalam pungsu tetap diterapkan, terutama dalam menginspirasi praktik perencanaan yang berkelanjutan dan menghormati lingkungan.