Kebakaran di pusat data National Information Resources Service (NIRS) di Daejeon pada 26 September 2025 memicu gangguan layanan publik terbesar dalam sejarah e‑government Korea. Ledakan baterai lithium-ion saat perawatan rutin menyebabkan thermal runaway dan merusak sistem inti. Dalam hitungan jam, ratusan layanan pemerintah lumpuh. Peristiwa ini membuka kelemahan arsitektur data nasional Korea yang sangat bergantung pada satu fasilitas.

NIRS menjadi tulang punggung dari sistem e‑government Korea, mengintegrasikan infrastruktur TI kementerian dan pemerintah daerah melalui tiga lokasi utama, yaitu di Daejeon, Gwangju, dan Daegu. Daejeon menampung proporsi layanan paling besar, termasuk portal Government24 dan sistem pendukung keselamatan publik. Ketergantungan tinggi pada satu lokasi memperbesar risiko ketika terjadi insiden pada ruang server tingkat atas.

Ilustrasi baterai lithium-ion untuk laptop. Foto: Kristoferb (Wikipedia)

Pada Jumat, 26 September 2025 pukul 20.20, sebuah baterai lithium-ion meledak di lantai lima ruang server. Api dengan cepat menyebar ke modul baterai lain dan memicu suhu ekstrem yang menyulitkan pemadaman. Sekitar pukul 20.15–21.00, 647 server sistem di markas Daejeon dimatikan sementara sebagai bagian dari protokol darurat untuk mencegah kerusakan meluas.

Upaya pemadaman melibatkan 170 orang petugas dan 63 unit pemadam, namun strategi agresif ditinggalkan karena panas berlebih dari baterai yang terbakar. Api utama baru terkendali pada Sabtu, 27 September sekitar pukul 06.00 pagi. Di hari yang sama, pemerintah mengeluarkan peringatan gangguan layanan dan menyampaikan permintaan maaf resmi.

Kebakaran menghancurkan 96 server sistem secara fisik dan memaksa penghentian layanan pada ratusan sistem lain yang terhubung. Sebanyak 384 modul baterai pada sistem UPS mengalami kerusakan berat, dan hampir dua ratus di antaranya hancur total. Tidak adanya sistem failover ke pusat data Gwangju atau Daegu saat bencana terjadi semakin memperparah dampak dari kebakaran ini. Sejumlah layanan vital terhenti, termasuk Government24 dan pelacakan GPS 119 untuk respons darurat. Kantor-kantor pemerintah kembali melakukan proses administrasi dengan kertas, sementara layanan pos dan sejumlah layanan administrasi berjalan secara luring.

Ilustrasi pekerjaan administrasi. Foto: Leon Dewiwje (Unsplash)

Kerusakan paling serius terjadi pada G‑Drive, repositori penyimpanan kerja yang diwajibkan bagi pegawai negeri sejak 2016. Sekitar 858 terabita data yang setara dengan berkas kerja ratusan ribu pegawai hilang. Karena pertimbangan volume dan waktu replikasi yang lama, badan pemerintah tidak memiliki cadangan eksternal. Upaya pemulihan melalui surel lama, cetakan fisik, dan local drive terbaru hanya menyelamatkan sebagian kecil materi saja.

Sepuluh hari setelah insiden, layanan yang kembali aktif baru mencapai sekitar 115 sistem. Pada 5 Oktober, angka pemulihan naik menjadi 132 sistem atau sekitar seperlima dari total sistem yang terdampak. Fokus awal diarahkan pada 36 layanan Kelas 1 yang kritikal bagi keselamatan dan keamanan, termasuk pemulihan sebagian surel dinas pemerintah dan identitas digital bergerak.

Namun, keterkaitan antarsistem membuat ruang server yang tidak terbakar pun ikut terhenti. Untuk 96 sistem yang rusak total, strategi yang dipilih adalah rekonstruksi di pusat government‑private cloud Daegu. Lebih dari 500 personel dari berbagai lembaga publik dan swasta dikerahkan dalam upaya perbaikan tersebut. Meskipun ritme pekerjaan ditingkatkan, jadwal pemulihan bergeser ke pertengahan Oktober dan bahkan memasuki November untuk penyelesaian penuh.

Presiden memerintahkan peningkatan signifikan pada keamanan sistem dan percepatan anggaran untuk cadangan darurat, serta mendorong desentralisasi pusat data dan penerapan cadangan ganda. Perdana Menteri juga menyampaikan permintaan maaf dan menaikkan status penanganan ke tingkat serius. Kementerian Administrasi dan Keamanan mengoordinasikan prioritas pemulihan untuk layanan keselamatan, aset nasional, dan fungsi ekonomi.

Selain itu, pemerintah mengumumkan kebijakan baru untuk pemantauan dan keselamatan baterai, penempatan sensor termal, serta pemisahan fisik ruang UPS dari ruang server. Langkah transparansi ditempuh melalui pengarahan media harian dan pelaporan capaian pemulihan.

Gangguan berkepanjangan menimbulkan frustrasi yang meluas. Gagalnya identifikasi identitas digital membuat penumpang tertahan di bandara, sementara akses ke dokumen akademik dan layanan kesehatan terganggu karena ketergantungan pada verifikasi daring.

Ilustrasi pengecekan di bandara. Foto: Phil Mosley (Unsplash)

Informasi mengenai usia baterai, rekomendasi penggantian yang tidak ditindaklanjuti, dan tidak adanya cadangan eksternal untuk G‑Drive menambah kekecewaan. Perbandingan insiden ini dengan kebakaran pusat data swasta pada 2022 menegaskan pola kelemahan pada konsentrasi infrastruktur dan manajemen siklus hidup peralatan. Komunikasi resmi pada awal kejadian pun dikritik karena tidak sejalan dengan kebutuhan warga ketika portal informasi tidak dapat diakses.

Insiden ini menyoroti beberapa masalah mendasar. Pertama, konsentrasi pusat data pada satu lokasi melanggar prinsip redundansi nasional. Kedua, tidak adanya active‑active redundancy menghambat sistem failover untuk beroperasi dengan mulus saat pusat primer mengalami kendala.

Lalu, kebijakan pencadangan data yang tidak seragam dan terikat batasan teknis menempatkan aset data strategis tanpa perlindungan yang memadai. Selain itu, tata kelola aset dan pemeliharaan peralatan, termasuk baterai yang melampaui rekomendasi usia pakai, tidak sejalan dengan standar keandalan pusat data skala nasional.

Pemerintah mempercepat penggunaan pusat cadangan yang sebelumnya tertunda, mengadopsi replikasi waktu nyata untuk layanan prioritas, serta menyusun standar keselamatan baterai yang lebih ketat. Kewajiban cadangan ganda di lokasi berbeda mulai diberlakukan pada sistem kelas kritikal. Pemetaan ketergantungan antarsistem dilakukan untuk mengurangi kegagalan beruntun. Di sisi operasional, latihan pemulihan bencana, runbook lintas‑lembaga, dan audit siklus hidup aset menjadi prasyarat agar respons dalam kondisi darurat lebih konsisten.

Kebakaran NIRS 2025 mengubah gangguan teknis menjadi krisis tata kelola infrastruktur digital. Dampaknya memperlihatkan bahwa inovasi layanan publik harus ditopang arsitektur yang berlapis, terdesentralisasi, dan diaudit secara berkala.