Jangma: Musim Hujan Badai di Korea

on in Society
Ilustrasi musim hujan. Foto: Marc Kleen (Unsplash)

Jangma, atau musim hujan tahunan di Korea Selatan, menjadi kombinasi antara tantangan dan keindahan yang unik bagi negara ini. Umumnya berlangsung selama 3-5 minggu dari pertengahan Juni hingga akhir Juli, jangma ditandai dengan hujan lebat, kelembapan tinggi, dan suhu antara 23°C hingga 28°C.

Dikenal sebagai “hujan panjang” dalam bahasa Korea, jangma telah menjadi bagian penting dari sejarah dan budaya Korea selama berabad-abad. Secara historis, jangma memainkan peran penting dalam membentuk praktik pertanian dan masyarakat Korea.

Kehadiran musim hujan ini telah menjadi fitur yang dapat diandalkan dalam kehidupan warga Korea, memengaruhi pertanian, arsitektur, dan tradisi budaya. Praktik pertanian tradisional Korea dikembangkan dengan musim hujan tahunan ini, terutama budidaya padi yang sangat diuntungkan dari curah hujan yang melimpah.

Musim hujan di Asia Timur, termasuk jangma di Korea, adalah fenomena meteorologi yang lebih luas yang juga memengaruhi Tiongkok dan Jepang. Di Tiongkok, musim ini dikenal sebagai meiyu, sedangkan di Jepang disebut tsuyu. Pengalaman bersama akan curah hujan musiman ini telah berkontribusi pada kesamaan budaya dan pertanian di banyak negara di Asia Timur.

Sepanjang sejarah Korea, jangma telah menjadi berkah sekaligus tantangan. Meskipun curah hujan sangat penting untuk pertanian, khususnya budidaya padi, hujan yang berlebihan dapat menyebabkan banjir dan kerusakan tanaman. Dualitas ini tercermin dalam catatan sejarah dan cerita rakyat, di mana jangma sering digambarkan sebagai kekuatan alam yang kuat namun tidak terduga.

Arsitektur tradisional Korea berkembang sebagai respons terhadap tantangan yang ditimbulkan oleh jangma. Fitur seperti atap yang lebar untuk melindungi dinding dari kerusakan akibat hujan, lantai yang ditinggikan untuk mencegah masuknya air, dan sistem drainase yang efisien semuanya dikembangkan sebagai adaptasi terhadap musim hujan tahunan. Elemen-elemen arsitektur ini menjadi ciri khas gaya bangunan Korea, menunjukkan bagaimana jangma telah memengaruhi lanskap fisik Korea.

Jangma ditandai oleh hujan deras yang sporadis dan kelembapan tinggi, yang dapat menyebabkan banjir di daerah dataran rendah. Cuaca selama periode ini tidak dapat diprediksi, dengan perubahan mendadak dari kondisi kering menjadi hujan lebat, sering disertai angin kencang yang dapat membuat payung menjadi tidak efektif. Topan juga dapat terjadi selama musim ini, yang semakin menambah intensitas pola cuaca. Meskipun menantang, jangma juga berperan penting dalam mengisi kembali persediaan air alami maupun buatan.

Ilustrasi banjir. Foto: jim gade (Unsplash)

Pola jangma di Korea telah berubah dalam beberapa tahun terakhir, kemungkinan besar dipengaruhi oleh perubahan iklim. Di masa lalu, jangma terjadi secara teratur antara pertengahan Juni dan akhir Juli, berlangsung selama 3-5 minggu. Namun, pengamatan terbaru menunjukkan pergeseran dalam waktu dan intensitasnya. Musim hujan kini sering dimulai lebih awal dan berakhir lebih lambat, dengan pola curah hujan yang lebih tidak menentu.

Para ilmuwan iklim telah mencatat peningkatan kejadian cuaca ekstrem selama jangma, termasuk hujan deras yang lebih sering dan periode kering yang lebih lama di antara hujan. Ketidakpastian ini menimbulkan tantangan baru bagi pertanian, perencanaan kota, dan pengelolaan air di Korea Selatan. Pola yang berubah ini juga meningkatkan risiko banjir di beberapa daerah dan kekeringan di daerah lain, memerlukan adaptasi dalam infrastruktur dan kesiapsiagaan bencana.

Jangma telah lama menjadi bagian dari cerita rakyat dan tradisi budaya Korea, mencerminkan dampaknya yang signifikan pada kehidupan sehari-hari di sepanjang sejarahnya. Dalam mitologi Korea, musim hujan sering dikaitkan dengan naga, yang diyakini dapt mengendalikan air dan curah hujan.

Satu legenda mengisahkan tentang raja naga yang tinggal di istana bawah air, yang muncul selama jangma untuk membawa hujan yang sangat dibutuhkan bagi tanaman. Hubungan antara naga dan hujan ini terlihat dalam seni tradisional Korea, di mana naga sering digambarkan di antara awan dan air.

Mural naga pada makam Era Goguryeo. Foto: 朝鮮總督府

Musim hujan juga menginspirasi berbagai kebiasaan dan pepatah rakyat. Salah satu pepatah Korea yang populer menyatakan “장마에 바지 걷어 올린다” (jangma-e baji geodeoo ollinda), yang berarti “menggulung celana selama jangma,” yang secara metaforis menyarankan untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan.

Musim hujan sangat memengaruhi kehidupan sehari-hari di Korea Selatan, sering kali menghambat aktivitas luar ruangan dan rencana perjalanan. Wisatawan harus menyesuaikan diri dengan kondisi basah, dan lebih disarankan untuk memilih kegiatan dalam ruangan seperti menjelajahi museum, galeri seni, atau pusat perbelanjaan.

Curah hujan yang deras dapat menyebabkan tantangan transportasi, dengan banjir yang berpotensi menyebabkan penutupan jalan dan penundaan transportasi umum. Pertanian pun sangat terpengaruh, karena petani harus mengelola tanaman mereka dengan hati-hati untuk mencegah kerusakan akibat kelembapan berlebihan. Keselamatan juga menjadi perhatian utama selama jangma, dengan risiko banjir, tanah longsor, dan sengatan listrik dari aliran listrik yang terbuka semakin meningkat, sehingga diperlukan kesadaran dan langkah-langkah pencegahan yang maksimal.

Dari segi lingkungan, jangma berperan penting dalam ekosistem Korea Selatan. Curah hujan yang deras mengisi kembali sumber daya air, mendukung sektor pertanian dan menjaga habitat alami. Sawah terutama mendapat diuntungkan dari hujan musiman ini. Namun, intensitas jangma juga dapat menimbulkan tantangan, yang berpotensi menyebabkan erosi tanah dan banjir jika curah hujan berlebihan.

Dalam budaya Korea, jangma telah menginspirasi berbagai tradisi dan adaptasi. Banyak orang Korea menggunakan waktu ini untuk menikmati aktivitas dalam ruangan, yang mengarah pada banyaknya jumlah kafe, pasar dalam ruangan, dan tempat hiburan. Arsitektur tradisional Korea sering kali menggabungkan fitur-fitur yang dirancang untuk mengatasi curah hujan yang deras, seperti atap yang lebar dan sistem drainase yang efisien.

Musim hujan juga memengaruhi kuliner Korea. Banyak orang Korea menikmati makanan tertentu selama waktu ini, seperti pancake gurih (pajeon) dan anggur beras (makgeolli), yang dianggap sebagai pasangan sempurna untuk suara hujan.

Pajeon. Foto: Maggie (Flickr)

Masyarakat Korea modern telah mengembangkan cara-cara unik untuk mengatasi dan bahkan merayakan musim hujan. Misalnya, beberapa distrik di Seoul, seperti Seocho-gu, menerapkan “sherif nyamuk” selama musim panas untuk mengendalikan populasi nyamuk yang meningkat akibat kondisi lembap. Pendekatan inovatif ini menunjukkan bagaimana daerah perkotaan beradaptasi dengan tantangan yang ditimbulkan oleh jangma.

Perubahan iklim secara signifikan mengubah pola dan intensitas jangma di Korea Selatan. Musim monsun kini sering dimulai lebih awal dan berakhir lebih lambat, menyimpang dari waktu jangma pada umumnya di masa lalu. Para ilmuwan iklim telah mencatat peningkatan kejadian cuaca ekstrem selama jangma, termasuk hujan deras yang lebih sering dan periode kering yang lebih lama di antara hujan.

Perubahan ini menimbulkan tantangan baru bagi pertanian, perencanaan kota, dan pengelolaan air di Korea Selatan. Ketidakpastian yang meningkat telah menyebabkan risiko banjir yang lebih tinggi di beberapa daerah dan kekeringan di daerah lain, memerlukan adaptasi dalam infrastruktur dan kesiapsiagaan bencana. Misalnya, daerah perkotaan perlu meningkatkan sistem drainase untuk menangani curah hujan yang lebih intens, sementara praktik pertanian mungkin memerlukan penyesuaian untuk menghadapi pola curah hujan yang berubah.

Jangma tetap menjadi bagian penting dari siklus iklim tahunan Korea, yang terus memainkan peran vital dalam mengisi kembali sumber daya air dan mendukung ekosistem negara tersebut. Seiring dengan berubahnya iklim, penelitian dan pemantauan yang berkelanjutan sangat penting untuk membantu masyarakat Korea beradaptasi dengan perubahan sifat musim hujan dan mengurangi potensi dampak negatif. Meski menjadi tantangan, jangma tetap menjadi waktu pembaruan dan pertumbuhan, dengan banyak orang Korea menghargai keindahan lanskap negara mereka yang diperkaya oleh hujan yang melimpah.