Dampak Fenomena NEET di Korea Selatan dan Solusi Pemerintah

on in Society
Ilustrasi konsultasi. Foto: Headway (Unsplash)

Fenomena NEET (Not in Employment, Education, or Training) memiliki konsekuensi yang luas, tidak hanya bagi individu yang terlibat saja tetapi juga bagi perekonomian dan masyarakat Korea Selatan secara keseluruhan.

Pada tingkat makro, keberadaan NEET merupakan beban signifikan bagi perekonomian. Individu NEET merupakan bagian dari populasi usia produktif yang tidak dimanfaatkan dan tidak aktif secara ekonomi, sehingga menjadi penghambat laju keuangan.

Selain itu, fenomena NEET semakin memperparah krisis tenaga kerja dan menambah beban pada sistem pensiun. Dengan populasi yang menua dan angka kelahiran yang rendah, kurangnya partisipasi pemuda dalam angkatan kerja memperburuk kekurangan tenaga kerja produktif, yang pada akhirnya dapat mengancam pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Secara sosial, status NEET seringkali dikaitkan dengan citra negatif seperti risiko pengucilan sosial dan mobilitas sosial yang terbatas. Pemuda yang terasing dari pendidikan, pekerjaan, atau pelatihan vokasi berisiko menjadi terpinggirkan secara sosial, dengan pendapatan di bawah garis kemiskinan dan kurangnya keterampilan untuk meningkatkan situasi ekonomi mereka.

Ilustrasi depresi. Foto: Gadiel Lazcano (Unsplash)

Ada juga peningkatan risiko perilaku kriminal dan masalah kesehatan mental di kalangan NEET. Studi menunjukkan bahwa status NEET berhubungan dengan risiko bunuh diri yang lebih tinggi dan berpotensi untuk melakukan tindak kriminal. Masalah kesehatan mental seperti keputusasaan, kesepian, kecemasan, dan depresi umum terjadi di kalangan pemuda yang tidak aktif secara ekonomi, dan isolasi mereka berdampak pada keluarga serta kesejahteraan masyarakat secara lebih luas.

Fenomena ini juga menimbulkan rasa kekecewaan di kalangan pemuda Korea. Banyak pemuda mempertanyakan sistem pendidikan dan ekonomi yang mereka pandang berbalik melawan mereka, dengan tingkat kepuasan pemuda di Korea berada di bawah 20%, lebih rendah dari kebanyakan negara anggota OECD. Perasaan tanpa harapan ini diperparah oleh meningkatnya ketidaksetaraan, terutama dalam pendidikan, di mana pendapatan orang tua menjadi pendorong utama kesenjangan pendidikan.

Terakhir, NEET juga berkontribusi pada penundaan peristiwa penting dalam hidup, seperti pernikahan dan memiliki anak. Ketika pemuda menghadapi kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan yang layak dan stabil, mereka seringkali menunda atau bahkan mengabaikan peristiwa kehidupan penting ini, yang pada akhirnya berpotensi memperburuk masalah populasi Korea yang menua dengan cepat.

Pemerintah Korea Selatan telah mengakui urgensi masalah NEET dan telah meluncurkan berbagai inisiatif untuk mengatasinya, meskipun tantangan dalam implementasinya masih besar.

Pemerintah Korea Selatan telah mengumumkan investasi signifikan, yang jumlahnya hampir mencapai 1 triliun won pada November 2023, untuk mendorong individu NEET kembali ke pasar kerja. Rencana ini mencakup perluasan layanan pencocokan pekerjaan dan peluncuran platform informasi magang.

Kementerian Ketenagakerjaan juga memperkenalkan “Arah Kebijakan Ketenagakerjaan Pemuda 2025” yang mencakup inisiatif dukungan kerja terpusat selama empat bulan setelah kelulusan. Periode ini dianggap sebagai “masa emas” untuk penempatan kerja pemuda, berdasarkan contoh dari Uni Eropa.

Program ini menyediakan layanan personalisasi satu-per-satu, kuliah khusus untuk mempersiapkan wawancara, dan komunitas mentoring dengan alumni. Bagi mereka yang masih belum mendapatkan pekerjaan setelah empat bulan, pemerintah akan menghubungkan mereka dengan kebijakan seperti pengalaman kerja dan pelatihan vokasi. Untuk pemuda yang menganggur lebih dari setahun, Sistem Dukungan Ketenagakerjaan Nasional akan digunakan untuk menggabungkan kegiatan mencari pekerjaan dengan dukungan hidup.

Ilustrasi konseling. Foto: Gabrielle Henderson (Unsplash)

Selain itu, Program Vision Plan, program dukungan ketenagakerjaan pemuda yang dilaksanakan dari tahun 2016 hingga 2018, menunjukkan hasil positif. Program ini memberikan dukungan holistik kepada pemuda dari latar belakang kurang mampu, termasuk pelatihan akademik dan vokasi, dukungan psikososial, serta kursus musik dan aktivitas fisik. Evaluasi program menemukan peningkatan niat mencari pekerjaan sebesar 8,3% dan penurunan risiko menjadi NEET sebesar 6,6% di antara peserta program dibandingkan dengan non-peserta.

Pemerintah juga berupaya untuk meningkatkan akses pada layanan kesehatan mental dan telah mengesahkan Undang-Undang Dukungan Pemuda Putus Sekolah pada tahun 2014, mendirikan Pusat Dukungan Pemuda Putus Sekolah (Dream Center) untuk memberikan perlindungan dan dukungan kepada pemuda yang keluar dari sistem pendidikan formal.

Meskipun berbagai inisiatif telah dijalankan, pemerintah Korea Selatan masih menghadapi tantangan signifikan dalam mengatasi masalah NEET. Salah satu tantangan utama adalah ketidakcocokan pekerjaan yang terus-menerus. Meskipun ada upaya, pasar tenaga kerja masih belum mampu menghasilkan cukup “pekerjaan layak” yang stabil, bergaji baik, dan menawarkan jalur kemajuan. Banyak pekerjaan yang tersedia dianggap tidak stabil, bergaji rendah, ataupun berjangka pendek, yang membuat pemuda enggan menerimanya.

Preferensi perusahaan terhadap pekerja berpengalaman juga menjadi hambatan struktural yang sulit diatasi oleh lulusan baru. Selain itu, ada juga faktor pergeseran nilai di kalangan pemuda, di mana banyak orang yang kini lebih memprioritaskan fleksibilitas dan keseimbangan hidup-kerja di atas ukuran perusahaan atau keamanan pekerjaan tradisional. Hal ini mendorong mereka untuk memilih pekerjaan lepas (freelance) atau wirausaha, meskipun tingkat keberhasilan wirausaha muda masih rendah dan pendapatan cenderung tidak stabil.

Stigma sosial terhadap NEET dan masalah kesehatan mental juga menghambat efektivitas program. Banyak masyarakat masih mempertanyakan mengapa pemerintah harus membantu pemuda yang “hanya berdiam diri di rumah”, yang berpotensi memperkuat perasaan menyalahkan diri sendiri dan membuat pemuda enggan mencari dukungan yang mereka butuhkan. Keterbatasan anggaran dan sumber daya untuk program dukungan, serta kurangnya konselor yang terspesialisasi, juga menjadi kendala.

Pada akhirnya, diperlukan reformasi struktural yang lebih mendalam untuk memecah dualisme pasar tenaga kerja dan mereformasi sistem pendidikan agar lebih responsif terhadap kebutuhan pasar. Tanpa perubahan budaya dan reformasi besar-besaran dalam sistem kerja dan kebijakan sosial, krisis ini mungkin akan sulit diatasi, mengancam masa depan ekonomi dan sosial Korea Selatan.

Fenomena NEET di Korea Selatan adalah permasalahan kompleks yang menjadi semakin parah. Faktor utama meliputi kurangnya pekerjaan berkualitas, ketidakcocokan antara keterampilan lulusan dan kebutuhan pasar, preferensi perusahaan terhadap pekerja berpengalaman, serta dampak dari budaya pendidikan yang sangat kompetitif dan mahal.

Faktor-faktor sosial seperti biaya hidup tinggi, perubahan nilai-nilai pemuda, dan masalah kesehatan mental juga berkontribusi pada kecenderungan pemuda untuk menarik diri dari pasar kerja. Dampak dari fenomena ini sangat besar, mulai dari kerugian ekonomi makro yang signifikan hingga peningkatan risiko pengucilan sosial, masalah kesehatan mental, dan penundaan peristiwa penting dalam hidup bagi individu.

Meskipun pemerintah Korea Selatan telah meluncurkan berbagai inisiatif, seperti investasi besar dan program dukungan kerja yang komprehensif, tantangan dalam implementasinya masih substansial. Ketidakmampuan pasar untuk menghasilkan lapangan pekerjaan yang layak, stigma sosial, dan kebutuhan akan reformasi struktural yang lebih luas menjadi hambatan utama.