Dadeumijil: Cara Tradisional Korea Menyetrika

on in Culture
Dadeumi. (Foto public domain)

Dadeumijil, atau dikenal juga sebagai dadeumi, adalah metode tradisional menyetrika kain di Korea dengan cara memukulnya menggunakan tongkat kayu secara ritmis. Lebih dari sekadar teknik praktis untuk merapikan pakaian, dadeumijil juga menjadi simbol budaya yang merepresentasikan suara dan ritme kehidupan sehari-hari masyarakat Korea. Diakui sebagai salah satu dari 100 Simbol Budaya Korea, praktik ini menyoroti nilainya dalam warisan budaya negara tersebut.

Praktik dadeumijil diperkirakan bermula pada era Dinasti Joseon (1392-1910). Dadeumijil pertama kali didokumentasikan dalam buku berjudul “Gyuhap chongseo” dari abad ke-18, yang berisi panduan rinci tentang perawatan kain dan teknik dadeumijil.

Pada masa pra-industri, Korea menghadapi tantangan iklim lembap, dan kelembapan ini dapat memengaruhi kualitas kain yang menggunakan serat alami seperti ramie dan sutra. Kebutuhan untuk menjaga kain tetap halus, lembut, dan berkilau tanpa merusaknya melahirkan metode dadeumijil. Teknik ini juga tidak hanya terbatas di Korea saja. Di Jepang, metode serupa dikenal dengan nama “kinuta”, yang menunjukkan adanya pendekatan budaya yang serupa di Asia Timur akibat kondisi iklim dan tradisi tekstil yang sama.

Dadeumitbangmangi dan dadeumitdol. Foto: InSapphoWeTrust (Flickr)

Seiring berjalannya waktu, dadeumijil berkembang menjadi bagian integral dari kehidupan domestik Korea, terutama pada abad ke-17 dan ke-18. Praktik ini bahkan menjadi salah satu dari “samhuiseong” atau tiga suara kegembiraan, bersama dengan tangisan bayi dan suara orang membaca buku.

Dadeumitdol, atau batu perata, adalah elemen kunci dalam metode dadeumi. Batu yang biasanya terbuat dari granit atau batu keras lainnya digunakan sebagai alas untuk memukul kain. Permukaannya yang halus dan kokoh memungkinkan kain untuk diratakan dengan optimal. Ukuran dan berat batu ini dirancang sedemikian rupa agar tetap stabil saat proses pemukulan berlangsung.

Dadeumi biasanya dilakukan oleh dua wanita yang duduk berhadapan di lantai, dengan dadeumitdol diletakkan di antara mereka. Posisi ini menciptakan gerakan simetris dan ritme yang terkoordinasi. Selain memiliki fungsi praktis, pengaturan ini memperlihatkan nilai sosial dan budaya dari dadeumijil sebagai aktivitas bersama. Kegiatan ini bahkan juga diadaptasi menjadi permainan tradisional bernama dadeumi nori.

Dadeumi nori adalah permainan tradisional Korea yang berkembang dari tugas menyetrika kain menjadi bentuk hiburan dan ekspresi budaya. Dalam permainan ini, peserta bersaing menciptakan suara ritmis yang harmonis saat memukul kain. Dengan menggunakan tongkat kayu bernama dadeumi bangmaengi, mereka berhadapan di atas dadeumitdol, meniru pengaturan tradisional dadeumijil.

Kompetisi dalam dadeumi nori menekankan keterampilan menjaga ritme sambil meningkatkan kecepatan dan kompleksitas pola pukulan. Elemen musikal dari permainan ini sejalan dengan konsep “nori” dalam budaya Korea, yang mencakup kehidupan, nyanyian, dan tarian. Suara yang dihasilkan selama permainan mencerminkan tradisi musik perkusi Korea, menambahkan lapisan kekayaan pada warisan budaya mereka.

Samhuiseong, atau “tiga suara”, adalah ciri khas dadeumi yang memiliki makna budaya mendalam dalam tradisi Korea. Pola suara ini terdiri dari tiga elemen, di mana suara pukulan pertama melambangkan usaha awal, suara pantulan mencerminkan ketekunan, dan suara kain yang kembali ke batu menandakan penyelesaian dan kepuasan.

Tiga suara ini mencerminkan nilai-nilai budaya Korea seperti kerja keras, ketahanan, dan harmoni. Dalam konteks tradisi syamanisme Korea, ritme samhuiseong juga diyakini memiliki makna spiritual, seperti praktik meditasi atau cara untuk berhubungan dengan roh leluhur. Makna ini menunjukkan bagaimana elemen sehari-hari dapat memiliki signifikansi yang lebih besar dalam kehidupan masyarakat.

Inspirasi samhuiseong juga terlihat dalam karya sastra seperti puisi “Sound of Dadeumi” karya Yang Ju-dong, yang menggunakan ritme dadeumi sebagai metafora untuk menggambarkan kehidupan dan emosi wanita Korea. Hal ini menegaskan bagaimana praktik tradisional ini telah terintegrasi dalam kesadaran budaya Korea.

Masuknya teknologi modern pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 membawa perubahan dalam cara orang merawat pakaian. Penggunaan setrika gaya Barat dan setrika listrik secara bertahap mengurangi penggunaan dadeumijil. Namun, praktik ini tetap bertahan di daerah pedesaan dan di kalangan warga yang menghargai metode tradisional.

Pada paruh kedua abad ke-20, saat Korea mengalami industrialisasi dan modernisasi yang cepat, dadeumijil semakin jarang digunakan. Namun, pengakuan akan pentingnya praktik ini sebagai bagian dari warisan budaya mendorong upaya pelestariannya. Pada tahun 2006, dadeumijil diakui sebagai salah satu dari 100 Simbol Budaya Korea, menandai pentingnya tradisi ini dalam sejarah dan budaya Korea.

Hari ini, dadeumijil tidak lagi menjadi bagian dari tugas sehari-hari. Namun, praktik ini tetap dipertunjukkan di acara budaya dan museum, menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Dengan melestarikan tradisi ini, masyarakat Korea menunjukkan penghormatan mereka terhadap kreativitas dan ketekunan pendahulu mereka dalam menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari.