
Bokjori, saringan tradisional yang terbuat dari anyaman bambu, memiliki sejarah panjang yang berakar pada perkembangan pertanian dan kebiasaan kuliner di Semenanjung Korea. Peninggalan arkeologi menunjukkan bahwa bentuk awal dari bokjori telah digunakan sejak era Tiga Kerajaan (57 SM – 935 M). Namun, bentuk bokjori yang dikenal pada hari ini diperkirakan mulai berkembang selama Dinasti Joseon (1392-1910).
Pada era Joseon, budidaya padi semakin meluas, sehingga kebutuhan akan alat yang efisien untuk mencuci dan menyaring beras semakin meningkat. Bokjori dirancang dengan bentuk kerucut dengan anyaman yang halus, menjadikannya alat yang ideal untuk memproses biji-bijian dan sayuran.
Pembuatan bokjori memerlukan keahlian khusus yang diwariskan secara turun-temurun. Beberapa daerah, seperti Damyang di Provinsi Jeolla Selatan, dikenal sebagai pusat produksi bokjori berkualitas tinggi, sebuah reputasi yang tetap bertahan hingga kini.
Seiring dengan modernisasi Korea pada abad ke-20, penggunaan bokjori mulai berkurang dengan hadirnya peralatan dapur buatan pabrik. Namun, bokjori tetap memiliki makna simbolis sebagai pembawa keberuntungan dalam rumah tangga Korea, terutama saat musim perayaan. Beberapa tahun belakangan, minat terhadap kerajinan tradisional, termasuk bokjori, kembali meningkat. Pemerintah pun mendukung pelestarian warisan budaya ini dan pada tahun 2011, kerajinan bambu Damyang, termasuk bokjori, diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO.
Transformasi bokjori dari alat dapur menjadi simbol budaya mencerminkan perubahan besar dalam masyarakat Korea. Kehadirannya yang tetap relevan di berbagai konteks tradisional dan modern menunjukkan kemampuan tradisi Korea untuk beradaptasi, sekaligus mempertahankan nilai spiritual yang melekat pada objek sehari-hari.
Makna Simbolis Bokjori dalam Budaya Korea
Selain memiliki fungsi praktis, bokjori juga sarat akan nilai simbolis. Dalam masyarakat tradisional Korea, bokjori melambangkan konsep “berkelimpahan melalui penyaringan”, yaitu kemampuan menyaring tantangan hidup sambil mempertahankan keberuntungan.

Bentuk kerucut bokjori menyerupai cornucopia dalam budaya Barat, yang melambangkan kelimpahan dan energi positif. Pola anyaman bambu yang saling berpotongan mencerminkan keterhubungan keluarga dan komunitas. Saat Seollal, atau Tahun Baru Imlek Korea, bokjori sering digunakan dalam berbagai tradisi.
Keluarga biasanya menggantung bokjori di pintu atau dinding rumah, sering kali diisi dengan biji-bijian atau buah-buahan, sebagai simbol harapan untuk panen berlimpah dan kesejahteraan di tahun mendatang. Selain itu, anak-anak memainkan permainan tradisional dengan melempar anak panah atau benda kecil ke dalam bokjori, yang diyakini membawa keberuntungan jika berhasil masuk.
Bokjori juga memengaruhi bahasa dan idiom Korea. Ungkapan “bokjori-reul sseuida” (불조리를 쓰다), yang berarti “mengenakan bokjori”, digunakan untuk menggambarkan seseorang yang sangat beruntung. Dalam seni dan desain kontemporer Korea, motif bokjori sering diadaptasi menjadi elemen dalam lukisan, patung, hingga arsitektur.
Teknik Tradisional Pembuatan Bokjori
Pembuatan bokjori secara tradisional adalah proses yang membutuhkan ketelitian dan keterampilan yang tinggi. Pengrajin memilih bilah bambu tipis, biasanya dari bagian bawah batang bambu, yang kemudian dibelah, dihaluskan, dan dianyam menjadi bentuk kerucut yang khas. Teknik anyaman, yang disebut “jori-jil,” menciptakan pola silang rumit yang menghasilkan struktur kokoh namun tetap fleksibel. Proses ini mencakup beberapa langkah utama.
Bahan baku berupa bambu berkualitas tinggi, sering kali jenis bambu moso, diproses menjadi anyaman dengan pola jaring heksagonal yang rapat untuk penyaringan yang lebih efektif. Pegangan bokjori dibuat terpisah dan dipasang dengan kuat ke badan utama saringan, sementara tepi-tepinya dipangkas dan dihaluskan untuk keamanan dan estetika. Teknik tradisional ini telah diwariskan dari generasi ke generasi, dengan banyak pengrajin yang mengabdikan hidupnya untuk menyempurnakan kerajinan ini.
Bokjori sebagai Simbol Tahun Baru
Bokjori memiliki peran penting sebagai simbol keberuntungan saat perayaan Tahun Baru Imlek Korea atau Seollal. Periode ini, yang biasanya jatuh pada akhir Januari atau awal Februari, menandai momen di mana keluarga Korea mengintegrasikan bokjori dalam dekorasi dan ritual mereka.
Salah satu tradisi yang menonjol adalah menggantung bokjori di pintu atau dinding rumah. Bokjori sering kali diisi dengan benda-benda yang dipercaya dapat mendatangkan keberuntungan. Beberapa benda yang sering digunakan di antaranya adalah:
- Biji-bijian seperti beras atau kacang-kacangan, yang melambangkan kelimpahan dan panen melimpah.
- Buah kering seperti kesemek, yang menyimbolkan kebahagiaan dan keberuntungan.
- Koin, sebagai tanda kesejahteraan finansial.
- Gulungan kecil berisi harapan, yang mencerminkan aspirasi pribadi untuk tahun mendatang.
Tindakan menggantung bokjori diyakini dapat “mengayak” keberuntungan masuk sambil menyaring energi buruk. Di beberapa daerah pedesaan, terdapat ritual “bokjori kkeokgi” (불조리 꽉기) pada bulan purnama pertama di tahun baru. Dalam ritual ini, orang mematahkan bagian kecil bokjori, membakarnya, dan membuat harapan. Asap dari bambu yang terbakar diyakini dapat membawa harapan mereka ke langit.

Popularitas bokjori sebagai simbol keberuntungan di tahun baru juga meluas ke ranah komersial. Banyak bisnis, terutama di pasar tradisional, memajang bokjori besar di pintu masuk mereka selama periode Seollal. Praktik ini diyakini dapat menarik pelanggan dan memastikan kemakmuran usaha di tahun yang baru. Dalam interpretasi modern, beberapa desainer Korea menciptakan aksesori berupa bokjori mini, memungkinkan orang membawa simbol keberuntungan ini ke mana pun.
Keberlanjutan bokjori sebagai simbol tahun baru menegaskan keterpaduan benda sehari-hari dengan kepercayaan spiritual dan budaya Korea. Bokjori menjadi pengingat nyata akan harapan dan aspirasi yang menyertai setiap awal tahun lunar, sekaligus menghubungkan masyarakat modern Korea dengan tradisi dari generasi pendahulu mereka.