
Korean Air sering disebut sebagai contoh maskapai yang berhasil mencapai perubahan menyeluruh. Setelah mengalami rentetan kecelakaan fatal pada tahun 1980-an dan 1990-an, maskapai ini menjalankan reformasi besar yang mencakup berbagai kebijakan seperti komunikasi dalam kokpit dengan bahasa Inggris, perombakan budaya keselamatan, dan modernisasi armada. Perubahan tersebut berkontribusi pada perbaikan kinerja operasional dan reputasi global Korean Air, yang tercermin pada perolehan peringkat 5-Star Skytrax dan capaian pendapatan tahun 2024 sebesar 16,1 triliun won.
Asal-usul
Cikal bakal Korean Air pertama kali muncul pada tahun 1948, yang awalnya memiliki nama Korean National Airlines. Rute penumpang pertama yang dilayani oleh maskapai ini adalah penerbangan antara Seoul dan Busan. Wujud modern Korean Air lahir pada 1 Maret 1969 saat Hanjin Group mengakuisisi Korean Air Lines milik pemerintah.

Jaringan rute penerbangan maskapai ini bertambah dengan cepat di sepanjang tahun 1970-an dan 1980-an. Penerbangan lintas Pasifik ke Los Angeles dibuka pada 1972, terminal kargo di Bandara Los Angeles dioperasikan, dan kerja sama pasokan komponen dengan Boeing dimulai pada 1986. Program modernisasi armada berujung pada pemesanan 10 unit Boeing 747-400 pada tahun 1988, yang mendorong pertumbuhan jaringan penerbangan internasional.
Krisis Keselamatan
Namun, pertumbuhan tersebut membawa risiko yang berdampak pada rekam jejak keselamatan yang buruk. Tercatat antara tahun 1970 dan 1999, terjadi 17 insiden yang menelan lebih dari 700 korban jiwa. Selain itu, terdapat dua peristiwa politik berdampak besar pada persepsi publik, yaitu peristiwa penembakan KAL 007 oleh Soviet pada 31 Agustus 1983 yang menewaskan 269 orang, serta pengeboman KAL 858 pada 29 Desember 1987 yang menewaskan 115 orang.

Di luar faktor eksternal, penyelidikan juga menyoroti kelemahan internal maskapai. Kecelakaan penerbangan 801 di Guam pada 6 Agustus 1997 menjadi insiden yang memperlihatkan masalah komunikasi hierarkis di kokpit. Pendamping pilot gagal menantang keputusan kapten secara tegas saat pesawat berusaha untuk mendarat dalam cuaca buruk, sementara peralatan navigasi yang bermasalah memperparah situasi. Pada akhir 1990-an, reputasi Korean Air semakin terpuruk dan memicu diterbitkannya sanksi industri, termasuk penurunan peringkat keselamatan penerbangan Korea Selatan oleh FAA pada 2001.
Kebijakan Komunikasi Berbahasa Inggris
Sebagai respons terhadap temuan komunikasi hierarkis, Korean Air menerapkan kebijakan penggunaaan bahasa Inggris untuk komunikasi dalam kokpit sejak tahun 2000-an. Hal tersebut dimaksudkan untuk meratakan hierarki dan mendorong penyampaian informasi secara langsung.
Dalam konteks budaya Korea yang sarat deferensi, kebijakan ini dirancang untuk mengurangi ambiguitas dan memperkuat prinsip Crew Resource Management (CRM). Implementasi tersebut memerlukan pelatihan intensif, pembaruan manual operasi ke bahasa Inggris, serta penyesuaian rekrutmen dan standar kompetensi. Meskipun menimbulkan perdebatan, kebijakan ini selaras dengan kenyataan bahwa komunikasi ATC internasional telah menggunakan bahasa Inggris sebagai standar.
Perombakan Budaya Keselamatan
Kebijakan bahasa menjadi bagian dari strategi yang lebih luas. Maskapai melibatkan konsultan eksternal dari produsen pesawat dan mitra aliansi untuk meninjau prosedur, lalu mengadopsi promosi berbasis merit yang menekankan kompetensi teknis dan perilaku keselamatan. Sistem pelaporan non-punitif dibangun agar personel dapat melaporkan bahaya tanpa khawatir akan dikenakan sanksi.

Pelatihan CRM disesuaikan dengan konteks lokal untuk mengatasi kecenderungan komunikasi tidak langsung. Di sisi teknis, armada dimodernisasi dengan perangkat peringatan medan dan navigasi yang lebih canggih. Hasil bertahap terlihat pada awal tahun 2000-an ketika pembatasan mitra berkurang, peringkat keselamatan nasional dipulihkan pada 2002, dan hubungan code-share kembali berjalan.
Perbaikan proses internal dan investasi jangka panjang berkontribusi pada stabilitas operasi dan layanan yang konsisten. Korean Air kemudian meraih sertifikasi 5-Star dari Skytrax. Dari sisi keuangan, maskapai membukukan pendapatan 16,1 triliun won pada 2024. Kinerja tersebut mencerminkan pemulihan pascapandemi, optimalisasi jaringan, dan kontribusi kargo yang tetap relevan dalam rantai pasok global.
Akuisisi Asiana Airlines
Dinamika industri domestik berubah pada tahun 2020 saat pemerintah Korea Selatan mengumumkan rencana akuisisi Asiana Airlines oleh Hanjin Group di tengah tekanan finansial akibat pandemi. Proses persetujuan regulasi memakan waktu hampir empat tahun dan melibatkan otoritas di berbagai yurisdiksi.
Untuk memperoleh persetujuan, Korean Air menyetujui paket remediasi yang mencakup pengalihan empat rute Eropa ke T’way Air dan pelepasan divisi kargo Asiana ke Air Incheon. Integrasi aliansi juga menyesuaikan arah perusahaan, karena Asiana sebelumnya berada di Star Alliance, sedangkan Korean Air adalah anggota SkyTeam.

Integrasi armada yang diperkirakan mencapai sekitar 250 pesawat menempatkan entitas gabungan ini sebagai salah satu operator internasional terbesar, dengan pangsa kursi internasional Korea Selatan di atas 35 persen dan meningkat mendekati 46 persen bila memasukkan maskapai berbiaya rendah afiliasi. Regulator mewajibkan pemeliharaan minimal 90 persen kapasitas kursi armada tahun 2019 untuk mencegah pengurangan layanan yang signifikan. Transisi brand pun dilakukan, yang termasuk penghapusan identitas Asiana serta pembaruan livery Korean Air. Keanggotaan pelanggan Asiana Club direncanakan akan digabungkan ke SKYPASS untuk menyelesaikan konsolidasi layanan pelanggan.
Perjalanan Korean Air menggambarkan bagaimana kombinasi reformasi budaya, kebijakan operasional yang tegas, dan modernisasi teknis dapat mengubah bentuk organisasi yang semula sarat akan masalah menjadi penyelenggara layanan kelas dunia. Tantangan pada fase integrasi Asiana akan menjadi ujian berikutnya, terutama dalam menjaga standar keselamatan, kualitas layanan, dan persaingan yang sehat.