Gerakan Pengumpulan Emas dan Krisis IMF di Korea Selatan

on in History, Society
Gerakan pengumpulan emas. Foto: National Archives of Korea

Pada tahun 1997, Korea Selatan menghadapi krisis ekonomi yang hampir melumpuhkan seluruh sistem keuangan negara. Krisis ini tidak hanya menghancurkan pasar valuta asing dan menjatuhkan nilai tukar won saja, tetapi juga menggoyahkan keyakinan masyarakat terhadap masa depan ekonomi dari negaranya.

Namun di tengah ketidakpastian tersebut, muncul sebuah gerakan kolektif yang mencengangkan dunia, di mana jutaan warga Korea secara sukarela menyumbangkan emas milik pribadi mereka untuk membantu negara melunasi utang kepada Dana Moneter Internasional (IMF).

Krisis keuangan Asia dimulai di Thailand pada tanggal 2 Juli 1997, ketika negara itu menghentikan sistem nilai tukar tetap terhadap dolar AS. Nilai mata uang baht pun anjlok, menimbulkan kepanikan di seluruh Asia Tenggara dan Timur. Dalam waktu singkat, Korea Selatan turut terseret dalam krisis. Pada akhir 1997, cadangan devisa Korea anjlok drastis dari sekitar 30 miliar dolar menjadi hanya 4 miliar dolar. Di saat yang sama, utang luar negeri Korea Selatan melonjak menjadi 153 miliar dolar.

Beberapa faktor membuat Korea Selatan sangat rentan terhadap guncangan ini. Banyak perusahaan dan bank Korea mengandalkan pinjaman luar negeri jangka pendek dalam jumlah besar. Sistem nilai tukar tetap telah gagal dalam menahan arus keluar modal ketika kepercayaan investor menurun. Perusahaan-perusahaan besar atau chaebol telah menumpuk utang dalam jumlah besar, dan defisit neraca berjalan terus berulang dari tahun ke tahun. Pada malam Natal 1997, nilai tukar won melewati angka 2.000 per dolar AS. Utang-utang luar negeri dalam denominasi dolar pun menjadi semakin sulit dibayar.

Di tengah krisis tersebut, Korea Selatan tidak memiliki banyak pilihan. Pada 3 Desember 1997, negara ini secara resmi menerima paket bantuan dari IMF sebesar 58 miliar dolar—bantuan terbesar dalam sejarah IMF pada saat itu. Namun bantuan ini disertai dengan syarat-syarat yang memberatkan, seperti:

  • Menaikkan suku bunga
  • Mengurangi pengeluaran negara
  • Meliberalisasi perdagangan dan membuka pasar domestik
  • Meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja
  • Memberikan akses lebih besar kepada investor asing.

Kebijakan-kebijakan ini menandai awal dari masa penyesuaian ekonomi yang menyakitkan. Gelombang PHK, penggabungan bank, dan restrukturisasi perusahaan pun menjadi kejadian sehari-hari. Masyarakat Korea menyebut masa ini sebagai “krisis IMF,” mencerminkan bahwa kejadian ini bukan hanya krisis dalam sektor ekonomi saja, tetapi juga sebagai pengalaman kolektif yang mendalam.

Dalam suasana yang penuh tekanan ini, muncullah sebuah ide yang tak biasa. Pada 5 Januari 1998, stasiun televisi nasional KBS memulai kampanye pengumpulan emas untuk membantu membayar utang IMF. Dalam waktu singkat, gerakan ini menyebar luas. Warga dari segala lapisan masyarakat rela menyerahkan barang-barang emas pribadi mereka—bukan karena diwajibkan, tetapi karena dorongan rasa tanggung jawab kolektif.

Selama empat bulan, dari Januari hingga April 1998, sekitar 3,51 juta orang turut serta dalam gerakan ini. Total emas yang terkumpul mencapai 227 ton dengan nilai sekitar 2,13 miliar dolar, hampir mencapai 10% dari nilai bantuan IMF.

Gerakan pengumpulan emas. Foto: The Korea Herald

Yang membuat gerakan ini sangat menyentuh adalah kisah-kisah di balik sumbangan tersebut. Ada pasangan pengantin baru yang menyumbangkan cincin kawin, orang tua yang menyumbangkan cincin kelahiran anak mereka, dan juga para atlet nasional menyerahkan medali emas yang mereka menangkan. Bahkan, Kardinal Kim Sou-hwan menyerahkan salib emas yang ia terima saat penahbisan. Institusi keuangan seperti Housing Bank, Nonghyup, dan Kookmin Bank ikut terlibat dalam proses pengumpulan. Perusahaan-perusahaan besar dan media pun turut mendukung gerakan ini.

Gerakan ini memberikan suntikan dana yang penting bagi pemerintah dalam menghadapi tekanan utang luar negeri. Namun lebih dari itu, pengumpulan emas ini membantu memperkuat moral nasional di tengah krisis. Dunia internasional menyaksikan dengan takjub, dan seorang pejabat IMF bahkan menyebut bahwa ia belum pernah melihat fenomena semacam ini di negara penerima bantuan IMF mana pun.

Pada akhirnya, reformasi yang dipaksakan IMF mulai menunjukkan hasil. Pertumbuhan ekonomi Korea yang sempat mencapai minus 5,1% pada 1998, melonjak menjadi 9,5% pada 1999 dan 8,5% pada tahun berikutnya. Pada Agustus 2001, Korea Selatan melunasi utang kepada IMF—tiga tahun lebih awal dari jadwal. Gerakan pengumpulan emas ini menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi pemulihan ekonomi Korea, atau yang sering disebut sebagai “Keajaiban di Sungai Han” generasi kedua.

Meskipun emas yang dikumpulkan pada masa itu sebagian besar telah dijual di pasar internasional, Bank Sentral Korea (BOK) masih menyimpan 104,4 ton emas sebagai bagian dari cadangan devisa. Uniknya, seluruh cadangan ini disimpan di Bank of England, bukan di dalam negeri Korea. Sejak 2013, jumlah tersebut tidak berubah, karena BOK lebih memilih aset likuid seperti dolar AS daripada menambah kepemilikan emas.

Namun, warisan dari gerakan emas telah jauh melampaui angka dan statistik. Saat pandemi COVID-19 melanda, semangat kolektif ini kembali dikenang. Banyak warga yang menyamakan situasi krisis kesehatan global itu dengan masa-masa sulit krisis IMF.

Pertemuan Korea dengan IMF, 1997. Foto: National Archives of Korea

Di sisi lain, krisis ini juga meninggalkan jejak panjang dalam perilaku ekonomi masyarakat. Warga Korea cenderung lebih berhati-hati dalam berutang, dan pemerintah juga lebih konsisten dalam menjaga cadangan devisa dalam jumlah besar—yang pada tahun 2025 tercatat lebih dari 400 miliar dolar. Secara regional, pengalaman krisis ini mendorong Korea Selatan untuk lebih aktif dalam kerja sama keuangan Asia Timur, seperti Inisiatif Chiang Mai, sebuah mekanisme swap mata uang multilateral antar negara ASEAN+3.

Gerakan pengumpulan emas tahun 1998 adalah contoh langka bagaimana solidaritas warga bisa memberikan dampak konkret dalam pemulihan ekonomi nasional. Namun, di balik keberhasilan itu, juga terdapat dinamika sosial yang kompleks. Reformasi ekonomi pasca-krisis memang membuat perusahaan bekerja dengan lebih efisien, tetapi juga menimbulkan ketidakpastian kerja dan meningkatkan kesenjangan pendapatan.

Hingga kini, banyak warga Korea masih memiliki ingatan kuat tentang masa itu—baik sebagai sumber kebanggaan maupun trauma. Namun satu hal yang tak terbantahkan adalah bahwa Korea Selatan berhasil melewati masa sulit tersebut dengan kekuatan kolektif yang jarang terlihat di panggung global.