Istilah Korea “묻지마 폭행” (mutjima poghaeng) secara harfiah berarti “serangan tanpa tanya,” namun dalam praktiknya di Korea Selatan. aksi ini lebih lazim diartikan sebagai serangan acak. Istilah ini meluas karena mengungkap kegelisahan masyarakat akan tindak kekerasan yang muncul secara tiba-tiba dan tak terduga, menyasar korban yang sama sekali tidak dikenali oleh pelaku.
Setelah mengalami peningkatan jumlah insiden, Kepolisian Korea Selatan menggolongkan fenomena ini ke dalam kategori resmi 이상동기 범죄 (isangdonggi beomjoe, atau kejahatan bermotivasi abnormal) pada Januari 2022 untuk memudahkan pencatatan dan penegakan hukum.
Motif dan Tekanan Sosial
Sebagian besar kasus serangan acak berkaitan dengan latar belakang kerentanan sosial yang kompleks. Isolasi dari keluarga dan teman dapat membuat seseorang kehilangan sarana untuk menyalurkan keluh kesahnya, sehingga perasaan frustrasi yang tertumpuk dapat berubah menjadi agresi saat momen tertentu. Tekanan ekonomi juga memainkan peran penting. Ketidakstabilan pekerjaan, tingkat pengangguran yang relatif tinggi, serta kompetisi yang memacu perasaan tertinggal sering memunculkan emosi yang tak terkendali.
Meskipun masyarakat pada umumnya menilai serangan acak sebagai tindakan irasional, beberapa pelaku mengaku melakukan tindakan tersebut untuk “mengalirkan kekecewaan hidup” atau “membalas perlakuan buruk yang tak terlihat.” Fenomena copycat juga menambah kegelisahan publik ketika media memberitakan suatu peristiwa secara masif, memicu pelaku lain untuk meniru cara dan lokasi serangan.
Tipe Pelaku Serangan Acak
Penelitian kriminologis memetakan tiga tipe pelaku utama. Tipe pertama adalah mereka yang terbebani ketidakpuasan sosial. Mereka memendam perasaan permusuhan terhadap struktur sosial dalam masyarakat, dan ketika tekanan mencapai titik puncak, mereka melampiaskannya tanpa pertimbangan pada orang yang kebetulan berada di dekatnya.
Tipe kedua melibatkan pelaku dengan gangguan kejiwaan yang memicu halusinasi atau delusi. Gangguan ini membuat mereka memandang orang-orang di sekitarnya sebagai ancaman atau target yang sah, meskipun tidak ada hubungan sebab-akibat yang jelas.
Tipe ketiga merupakan mereka yang menanggung amarah kronis akibat kejadian di masa lalu—seperti kegagalan hubungan, kehilangan pekerjaan, atau trauma personal—dan akhirnya mencari korban acak sebagai pelampiasan. Meskipun memiliki konteks yang berbeda, ketiga tipe ini menunjukkan bahwa akar penyebab dari tindakan ini sering kali bersifat personal atau sosiologis.
Waktu dan Lokasi Serangan
Analisis data kepolisian menunjukkan bahwa insiden serangan acak lebih sering terjadi pada musim panas, khususnya di ruang publik yang padat seperti stasiun kereta bawah tanah, trotoar di pusat kota, maupun di jalan protokol. Serangan sering kali terjadi di sore hingga malam hari, ketika suasana panas berkepanjangan memicu meningkatnya ketegangan fisik dan mental. Lokasi dengan kerumunan tinggi memudahkan pelaku untuk melakukan aksi tanpa pengawasan langsung, lalu menghilang sebelum respons keamanan datang.
Dampak pada Korban dan Masyarakat
Bagi korban, trauma bukan hanya terbatas pada luka fisik saja, tetapi juga meninggalkan efek psikologis yang berkepanjangan. Banyak korban mengalami rasa cemas berlebih saat berada di ruang publik, menurunkan kualitas hidup mereka.
Bagi masyarakat luas, maraknya serangan acak menimbulkan atmosfer ketidakpercayaan dan ketakutan, mengurangi rasa aman meskipun berada di area yang sering mereka lalui sehari-hari. Perekonomian lokal pun terkadang ikut terdampak, karena orang menghindari kawasan yang pernah menjadi lokasi insiden.
Penanganan Hukum dan Regulasi
Hukum pidana Korea Selatan memberikan sanksi berat bagi pelaku serangan acak. Untuk serangan tanpa luka signifikan, pelaku dapat dipenjara hingga dua tahun atau didenda hingga 5 juta won. Jika korban terluka, hukuman penjara bisa mencapai tujuh tahun dan denda maksimal 10 juta won, serta pencabutan hak sipil hingga sepuluh tahun.
Untuk serangan bersenjata, hukuman terberat adalah 10 tahun penjara. Dalam praktiknya, jaksa sering menuntut hukuman lebih berat dengan mempertimbangkan faktor ketidakpastian dan potensi resiko kepada korban lainnya.
Upaya Pencegahan dan Intervensi Sosial
Tindakan pencegahan tidak cukup hanya melalui penegakan hukum saja. Perlu kolaborasi antara lembaga pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan komunitas lokal untuk memperkuat jejaring sosial dan menyediakan layanan kesehatan mental yang lebih mudah diakses.
Program konseling bagi individu dengan gangguan emosional, serta kampanye publik untuk menurunkan stigma masalah kejiwaan, dapat mengurangi serta mencegah pelaku tipe gangguan kejiwaan dan emosi kronis untuk bertindak. Di tingkat ekonomi, kebijakan untuk mengurangi ketimpangan pendapatan dan meningkatkan keamanan kerja dapat meringankan tekanan yang menjadi salah satu pendorong utama.
Perbandingan dengan Fenomena Klitih di Indonesia
Di Yogyakarta dan sekitarnya, fenomena klitih juga merupakan bentuk kekerasan jalanan yang acak. Namun perbedaan utamanya terletak pada motivasi dan profil pelaku. Klitih biasanya dilakukan oleh remaja yang tergabung dalam geng, mencari identitas dan pengakuan teman sebaya, serta mempertahankan wilayah teritorial.
Klitih cenderung terjadi pada malam hari di gang sempit atau area kampung, sedangkan serangan acak di Korea Selatan lebih sering berlangsung pada siang hingga sore hari di ruang publik padat. Dari sisi hukum, klitih biasanya ditangani sebagai tindak pidana anak dengan pembinaan di lembaga khusus hingga sanksi ringan, sementara serangan acak di Korea Selatan dikenai hukuman penjara yang lebih berat.
Walaupun keduanya merupakan fenomena yang sama-sama mengejutkan publik, akar permasalahan klitih lebih kolektif, sedangkan serangan acak di Korea Selatan sering bermula dari kondisi pribadi atau tekanan sosial yang dialami oleh individu.
Dengan pemahaman mendalam tentang motif, profil pelaku, dan mekanisme pencegahan, diharapkan masyarakat dapat lebih tanggap dan proaktif dalam menanggulangi segala bentuk kekerasan acak, baik di Korea Selatan maupun di Indonesia.