Seoul Arts Culture Summit ke-10 diselenggarakan di kota Seoul pada tanggal 27 hingga 30 Mei 2025 dengan tema “Menapaki Masa Depan Seni dan Budaya.” Acara ini merupakan hasil kerjasama antara Arts Council Korea (ARKO) dan International Federation of Arts Councils and Culture Agencies (IFACCA) sebagai tuan rumah bersama. Sebanyak 406 peserta dari 94 negara berkumpul untuk saling bertukar gagasan tentang cara memajukan sektor seni dan budaya di tengah tantangan global yang semakin kompleks.
Forum ini dirancang untuk menciptakan ruang diskusi yang reflektif, di mana para delegasi dapat mengevaluasi dampak kecerdasan buatan, perubahan iklim, transformasi digital terhadap praktik kreatif, serta membahas peluang dan risiko yang muncul ketika teknologi baru diadopsi dalam produksi dan distribusi seni. Selain itu, acara ini juga menjadi momen persiapan penting menjelang konferensi UNESCO MONDIACULT 2025, sehingga setiap usulan dan rekomendasi yang lahir di Seoul diharapkan dapat menjadi landasan kuat bagi kebijakan budaya global selanjutnya.
Latar Belakang Sejarah
Sejarah Seoul Arts Culture Summit bermula ketika World Summit on Arts and Culture pertama kali digelar di Kanada pada tahun 2002. Sejak saat itu, acara ini rutin diadakan setiap tiga tahun sekali untuk menyatukan pemangku kepentingan budaya dalam merumuskan kebijakan dan strategi bersama dalam mengembangkan seni serta budaya di dunia internasional.
Seoul memasuki panggung global sebagai tuan rumah dari berbagai acara besar pada tahun 2010, ketika kota ini berhasil menyelenggarakan UNESCO Second World Conference on Arts Education di COEX Conference Centre. Konferensi tersebut menghadirkan sekitar 650 peserta dari 95 negara dan melahirkan dokumen Seoul Agenda yang menjadi panduan bagi pengembangan pendidikan seni di berbagai negara.
Momentum tersebut berlanjut pada tahun 2016, ketika International Conference on Cultural Policy Research untuk pertama kalinya dilaksanakan di luar wilayah Barat, yaitu di Sookmyung Women’s University, Seoul. Keberhasilan ini menegaskan kapabilitas kota untuk menjadi pusat diskusi kebijakan budaya yang relevan. Penunjukan Seoul kembali sebagai tuan rumah Summit 2025 secara bulat oleh Dewan IFACCA pada Oktober 2023 mencerminkan kepercayaan komunitas internasional terhadap peran strategis Korea dalam memimpin wacana kebijakan budaya.
Penyelenggara dan Tujuan
ARKO, lembaga pemerintah yang bertugas mendukung dan mempromosikan kesenian di Korea, bersama IFACCA, federasi global yang menghubungkan badan-badan kebudayaan dari berbagai negara, mempersiapkan acara ini sejak awal 2023. Proses seleksi Seoul sebagai tuan rumah didasarkan pada rekam jejak penyelenggaraan konferensi berskala besar, komitmen terhadap kolaborasi multilateral, dan kemampuan menyediakan infrastruktur serta sumber daya manusia yang memadai.
Tujuan utama dari acara diskusi ini adalah untuk merumuskan langkah konkret untuk menjawab tantangan masa depan di sektor budaya dan kreatif. Selain membahas inovasi teknologi, pertemuan ini juga bertujuan memperkuat jaringan antarlembaga, memfasilitasi pertukaran praktik yang berkualitas, dan menghasilkan rekomendasi kebijakan yang dapat diadopsi pemerintah maupun organisasi budaya di tingkat lokal dan internasional. Semua diskusi kemudian didokumentasikan dan akan dikirimkan ke UNESCO sebagai masukan untuk MONDIACULT 2025.
Partisipasi Global
Para delegasi yang menghadiri pertemuan ini berasal dari latar belakang dan keahlian beragam, mulai dari pembuat kebijakan budaya, kurator museum, seniman, hingga peneliti kebijakan budaya. Diskusi dibagi ke dalam beberapa sesi tematik, seperti sistem pengetahuan, partisipasi masyarakat, dan sistem digital. Para pembicara, termasuk tokoh dari Zambia, Prancis, Amerika Serikat, Swedia, Italia, Argentina, Kamboja, dan Korea, menyajikan studi kasus dan refleksi terkait kebijakan yang mereka jalankan di negara masing-masing.
Interaksi antar peserta berlangsung melalui format dialog kelompok kecil, presentasi, serta sesi World Café yang memfasilitasi diskusi interaktif. Dalam sesi-sesi tersebut, para delegasi bertukar pengalaman tentang bagaimana masyarakat lokal mengolah warisan budaya, merespon tuntutan digitalisasi, dan melibatkan komunitas dalam proses kreatif. Ragam perspektif ini memperkaya wacana sehingga menghasilkan rekomendasi yang mampu memperhitungkan konteks budaya yang berbeda.
Pengaruh Kecerdasan Buatan
Memahami peran kecerdasan buatan dalam praktik kreatif menjadi salah satu fokus dari pertemuan ini. Contoh aplikasi nyata disajikan oleh studio di Australia yang menggunakan AI untuk menciptakan narasi imersif dalam permainan video, serta proyek broadcasting langsung di Sydney yang memanfaatkan beberapa sistem AI secara terkoordinasi untuk memperkaya drama radio kolaboratif. Demonstrasi semacam ini menunjukkan potensi AI sebagai mitra kreatif alih-alih sekadar alat otomasi.
Di sisi lain, peserta juga berdiskusi mengenai konsekuensi etis dan hukum dari penggunaan AI, termasuk tantangan dalam melindungi hak cipta, mengelola bias algoritma, serta memastikan seniman memperoleh kompensasi yang adil. Diskusi lebih lanjut menyentuh isu algoritma rekomendasi di platform digital yang memengaruhi eksposur karya dan dinamika pasar seni, serta bagaimana lembaga budaya dapat merancang kerangka kerja yang menjamin akuntabilitas dan transparansi dalam implementasi teknologi baru.
Hasil dan Langkah untuk Masa Depan
Kesimpulan dari pertemuan tahun ini menegaskan bahwa budaya merupakan entitas dinamis yang sangat bergantung pada konteks sosial, ekonomi, dan politik. Delegasi sepakat bahwa hak budaya tidak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia secara menyeluruh, dan perlindungan pengetahuan tradisional masyarakat adat harus menjadi prioritas kebijakan global. Poin-poin penting ini diformulasikan dalam rekomendasi yang nantinya akan dipresentasikan pada konferensi UNESCO MONDIACULT 2025.
Langkah konkret berikutnya meliputi pembentukan kelompok kerja internasional untuk memantau implementasi rekomendasi, penyusunan panduan teknis bagi lembaga budaya tentang integrasi AI, serta inisiasi program pertukaran profesional di bidang seni dan kebijakan budaya. Dengan skema ini, diharapkan upaya kolektif dari komunitas global dapat mendorong perkembangan sektor budaya yang lebih inklusif dan berkelanjutan.