Diciptakan oleh Raja Sejong pada tahun 1443, hangul merupakan alfabet Korea dengan sistem tulisan yang unik dan revolusioner. Hangeul terdiri dari 24 huruf dasar yang mewakili konsonan dan vokal, dirancang untuk menangkap bunyi bahasa Korea dengan tepat. Inovasi ini memainkan peran penting dalam sejarah dan budaya, sekaligus membantu mempromosikan literasi dan memperkuat identitas nasional dari Korea. Artikel ini akan menggali lebih dalam tentang asal-usul hangeul, prinsip-prinsip ilmiah di balik penciptaannya, serta pengaruhnya terhadap literasi dan budaya Korea di masa modern.
Asal Usul Hangeul: Sebuah Revolusi Dalam Literasi
Pada tahun 1443, Raja Sejong, penguasa keempat Dinasti Joseon, memutuskan untuk menciptakan sistem aksara baru yang lebih sesuai dengan bahasa Korea. Sebelum diciptakannya hangeul, masyarakat Korea menggunakan aksara hanja, sistem tulisan yang didasarkan pada aksara Tionghoa. Terbatasnya akses untuk mempelajari aksara hanja yang rumit menyebabkan tingkat buta huruf yang tinggi di kalangan masyarakat kelas bawah.
Untuk mengatasi masalah ini, Raja Sejong bekerja sama dengan para sarjana dari Jiphyeonjeon, atau Hall of Worthies, selama tiga tahun untuk mengembangkan alfabet baru. Pada tahun 1446, sistem tulisan baru ini diperkenalkan kepada masyarakat luas dengan nama Hunminjeongeum, yang berarti “bunyi-bunyi yang benar untuk pengajaran rakyat”. Nama tersebut mencerminkan tujuan utama penciptaan hangeul, yaitu memberikan akses kepada semua orang untuk bisa membaca dan menulis, tanpa memandang status sosial.
Desain Ilmiah Hangeul: Menggabungkan Filosofi dan Linguistik
Hangeul dirancang dengan prinsip-prinsip ilmiah dan filosofis yang sangat maju untuk masanya. Konsonan dan vokal dalam alfabet ini tidak dipilih secara acak, melainkan didasarkan pada bentuk organ vokal dan filosofi kosmologi.
Dari segi konsonan, bentuk huruf mewakili posisi lidah, gigi, dan bibir saat bunyi diucapkan. Misalnya, huruf ㄱ (bunyi velar) menggambarkan posisi lidah yang menutupi tenggorokan, sedangkan ㅁ (bunyi bilabial) mencerminkan bentuk bibir saat mengucapkan bunyi tersebut. Vokal dalam hangeul didasarkan pada konsep filosofis yang mewakili langit, bumi, dan manusia. Misalnya, vokal ㆍ mewakili langit, ㅡ mewakili bumi, dan ㅣ mewakili manusia.
Sistem ini awalnya terdiri dari 28 huruf, yang disusun dengan logika sederhana namun efektif. Namun, seiring berjalannya waktu, empat huruf di antaranya ditinggalkan, sehingga alfabet hangeul modern yang digunakan saat ini terdiri dari 24 huruf.
Untuk membantu masyarakat memahami cara penggunaan alfabet baru ini, Raja Sejong juga memerintahkan pembuatan dua naskah penting, yaitu Hunminjeongeum Haerye, yang berisi penjelasan ilmiah tentang penciptaan dan penggunaan Hangeul, serta Hunminjeongeum Eonhae, yang menerjemahkan naskah tersebut ke dalam bahasa Korea agar lebih mudah dipahami oleh rakyat biasa.
Pengaruh Hangeul Terhadap Literasi di Korea
Sebelum hangeul diperkenalkan, kemampuan membaca dan menulis terbatas hanya pada kaum elit yang bisa menguasai hanja. Namun, dengan munculnya hangeul, tingkat literasi di Korea meningkat drastis. Setelah kemerdekaan Korea dari penjajahan Jepang pada tahun 1945, sekitar 78% penduduk Korea masih buta huruf. Namun, hanya dalam kurun waktu dua dekade setelah kemerdekaan tingkat literasi di Korea mencapai hampir 90% pada tahun 1968. Hal ini dapat tercapai berkat penggunaan hangeul yang sederhana dan program pendidikan yang kuat. Hangeul memungkinkan rakyat dari semua kelas sosial untuk belajar membaca dan menulis dengan cepat, dan ini berkontribusi pada perkembangan sosial dan ekonomi Korea di abad ke-20.
Hangeul Sebagai Simbol Identitas Budaya
Selain membantu mempromosikan literasi, hangeul juga menjadi simbol kuat dari identitas budaya Korea. Dalam sejarah Korea, alfabet ini tidak hanya digunakan sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai lambang perlawanan terhadap upaya penghapusan budaya Korea, terutama selama masa pendudukan Jepang (1910-1945). Saat itu, penggunaan hangeul dilarang oleh otoriter Jepang sebagai bagian dari kebijakan asimilasi. Namun, larangan ini sama sekali tidak menghilangkan penggunaan hangeul, hal ini justru memperkuat makna simbolis alfabet ini sebagai alat perlawanan dan kebanggaan nasional.
Setelah kemerdekaan, hangeul berfungsi sebagai kekuatan pemersatu, membantu bangsa Korea dalam membangun kembali identitas budaya mereka. Hingga kini, hangeul tetap menjadi salah satu elemen utama dalam identitas nasional Korea, dan keberadaannya dirayakan setiap tanggal 9 Oktober yang dikenal sebagai Hari Hangeul di Korea Selatan.
Pengaruh Hangeul dalam Budaya Populer dan Seni Kontemporer
Di era modern, hangeul telah melampaui fungsinya sebagai sistem aksara dan telah menjadi sumber inspirasi dalam berbagai aspek seni dan budaya. Bentuk geometris huruf-huruf Hangeul sering digunakan oleh desainer dan seniman dalam menciptakan karya seni kontemporer, mode, serta arsitektur. Misalnya, beberapa desainer mode Korea telah memasukkan karakter hangeul dalam pola pakaian mereka, sementara seniman visual menggunakan bentuk huruf ini dalam instalasi seni yang inovatif.
Selain itu, hangeul juga menjadi elemen penting dalam penyebaran budaya Korea ke dunia internasional. Dalam beberapa dekade terakhir, gelombang budaya Korea, yang juga dikenal sebagai Hallyu atau Korean Wave, telah menarik minat global terhadap bahasa dan budaya Korea. Hangeul menjadi simbol unik dari identitas Korea yang dikenali secara internasional, terutama dalam konteks musik K-pop dan drama Korea yang populer di berbagai negara.
Hangeul di Masa Depan
Hangeul bukan hanya peninggalan dari masa lalu, tapi juga merupakan aset budaya yang terus berkembang dan beradaptasi dengan perubahan zaman. Salah satu bukti pengakuan internasional atas pentingnya hangeul adalah penghargaan King Sejong Literacy Prize yang diberikan oleh UNESCO sejak tahun 1989. Penghargaan ini menghormati kontribusi hangeul dalam mempromosikan literasi, terutama di negara-negara berkembang.
Selain itu, hangeul juga terus memainkan peran penting dalam mendukung upaya pelestarian bahasa dan budaya Korea. Kemampuan aksara ini untuk mencatat tradisi lisan, cerita rakyat, dan catatan sejarah secara akurat telah memungkinkan keberlanjutan pengetahuan budaya Korea dari generasi ke generasi. Hangeul adalah salah satu sistem tulisan paling unik di dunia, tidak hanya karena desainnya yang cerdas, tetapi juga karena perannya yang sangat penting dalam membentuk identitas dan budaya Korea.