Protokol Kerajaan Joseon di Awal Pemerintahan Baru

on in History
Foto: National Museum of Korea

Baru-baru ini, Museum Nasional Korea mengumumkan selesainya penerjemahan empat jilid Byeolsambang Uigwe dari bahasa Tionghoa klasik ke bahasa Korea modern. Koleksi ini mencatat tugas Byeolsambang, sebuah organisasi sementara yang bertanggung jawab untuk menyiapkan benda-benda upacara bagi raja baru setelah masa berkabung tiga tahun bagi raja pendahulu. Dengan terjemahan ini, masyarakat umum kini bisa menelusuri kembali proses persiapan simbol kerajaan yang sebelumnya hanya bisa diakses oleh kalangan elit istana.

Istilah Uigwe secara harfiah berarti “buku tata upacara” atau “protokol kerajaan.” Dari tahun 1392 hingga 1910, dinasti Joseon telah menulis hampir empat ribu jilid Uigwe yang mendokumentasikan berbagai prosedur resmi, mulai dari prosesi penobatan raja hingga penyelenggaraan pesta negeri. Setiap jilid memuat uraian tekstual yang disertai ilustrasi, mencerminkan filosofi pemerintahan yang menekankan keteraturan dan tata krama. Pada 2007, UNESCO memasukkan Uigwe ke dalam Memory of the World sebagai warisan dokumenter yang memiliki nilai universal.

Sebagian besar Uigwe disimpan di perpustakaan Oegyujanggak, lembaga arsip budaya kerajaan yang didirikan pada masa pemerintahan Raja Jeongjo.

Foto: National Museum of Korea

Dari ratusan jilid Oegyujanggak, empat jilid Byeolsambang Uigwe termasuk ke dalam golongan yuil-bon atau salinan tunggal, artinya tidak ada duplikat lain yang tersisa di manapun. Jenis salinan ini biasanya dibuat dengan kualitas lebih tinggi agar raja dapat menelaahnya secara langsung, sehingga kualitas kertas dan tinta berada pada standar tertinggi.

Byeolsambang atau “Kantor Khusus Ketiga” muncul sebagai respons administratif setelah upacara dambje yang menandai berakhirnya masa berkabung tiga tahun bagi raja sebelumnya. Dokumen tahun 1661 mencatat bahwa Kementerian Upacara mengusulkan persiapan jubah kerajaan dan kereta istana jauh hari sebelum diadakannya upacara pemakaman. Setelah pembahasan, pejabat dari berbagai kantor diangkat untuk mengawasi pembuatan pakaian, tandu, dan perlengkapan lain. Proses ini kemudian dikodifikasi sebagai tugas Byeolsambang.

Uniknya, Byeolsambang hanya didirikan pada masa empat raja, yaitu Raja Hyeonjong, Sukjong, Gyeongjong, dan Raja Yeongjo. Rata-rata kantor ini muncul pada tahun kedua masa pemerintahan sebelum dambje digelar. Setelah pemerintahan Raja Yeongjo, praktik ini dihentikan sebab beban biaya yang dianggap memberatkan. Raja selanjutnya lebih menekankan efisiensi dan meniadakan pembentukan organisasi serupa.

Setiap jilid Byeolsambang Uigwe memuat detail benda upacara maupun prosedur upacara yang berbeda. Jilid Hyeonjong menerangkan proses awal pembentukan kantor dan dasar penyiapan simbol baru. Jilid Sukjong menegaskan tentang prosedur pewarisan model Hyeonjong sekaligus penyesuaian kebutuhan seremonial. Sedangkan jilid Gyeongjong, dalam 227 halaman, mencatat upaya penghematan biaya tanpa menghilangkan makna ritual. Sedangkan Yeongjo merekam variasi teknik pembuatan tandu, bendera, kereta istana, dan lambang resmi kerajaan lain.

Upacara dambje menandai titik balik bagi seorang raja baru. Byeolsambang Uigwe menunjukkan bahwa setelah masa berkabung selesai, raja yang baru tidak hanya kembali menjalankan tugas negara saja, tetapi juga meresmikan citra kekuasaan yang baru.

Foto: National Museum of Korea

Selain menjadi bentuk formalitas, pembaruan pakaian kebesaran dan perlengkapan istana juga menjadi manifestasi kesinambungan serta penghormatan pada nilai bakti terhadap pendahulu.

Karena bersifat yuil-bon, keempat jilid Byeolsambang Uigwe menjadi sumber tunggal bagi peneliti. Tidak ada naskah lain yang bisa dibandingkan atau disalin kembali, sehingga setiap detail mulai dari jenis kain, pola tenun, hingga tata letak ilustrasi menjadi saksi bisu dari praktik administratif dan kebudayaan kerajaan pada masa itu. Keberadaan catatan ini menggarisbawahi komitmen Joseon dalam merawat ingatan kolektif pemerintahan melalui dokumentasi sistematis.

Dokumen Byeolsambang tidak hanya sekadar daftar kebutuhan material saja. Mereka menegaskan bahwa legitimasi politik dirajut oleh ritual—bahwa tampilan visual seorang raja menjadi bagian integral dari otoritasnya. Dengan merencanakan perjalanan masa berkabung ke masa “pakaian kebesaran,” dinasti Joseon mengukuhkan gagasan bahwa transisi kekuasaan tak dapat dilaksanakan kecuali dengan tata upacara yang benar.

Proyek terjemahan Byeolsambang Uigwe selesai pada 2023 dan menjadi prioritas lantaran keunikan isi dan salinannya. Semenjak koleksi Oegyujanggak kembali ke Korea pada tahun 2011, lembaga-lembaga seperti Museum Nasional Korea gencar mengalihbahasakan bagian terpilih agar riset dan pemahaman publik semakin mendalam. Kini, keempat buku tersebut dapat diakses secara daring di situs resmi Uigwe dan dipamerkan secara bergilir di ruang pamer permanen Oegyujanggak, memberi kesempatan pada khalayak umum untuk melihat langsung naskah aslinya.

Byeolsambang Uigwe mengungkap bagaimana detail administratif dan simbolik dibangun demi kelangsungan pemerintahan. Dokumen-dokumen ini menjadi bukti praktik tata upacara yang dipertahankan selama berabad-abad dan baru dipublikasikan kepada khalayak luas berkat upaya penerjemahan modern. Dengan akses terbuka, generasi saat ini dapat mempelajari bagaimana ritual dan desain materiil berperan dalam memperkuat legitimasi kekuasaan dan memastikan kesinambungan tradisi kerajaan Joseon.