Deklarasi Darurat Militer dan Dampaknya
Pada 3 Desember 2024, Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol mengumumkan darurat militer yang memicu krisis konstitusional di negara tersebut. Keputusan ini, yang melarang aktivitas politik dan menempatkan media di bawah kendali militer, memicu protes dan gejolak yang luas. Langkah ini ditentang oleh berbagai pihak, termasuk anggota parlemen yang dengan suara bulat mencabut perintah tersebut dalam hitungan jam. Pada pagi hari 4 Desember, Presiden Yoon mencabut deklarasi tersebut.
Langkah ini meninggalkan dampak yang sangat signifikan. Presiden Yoon menghadapi desakan untuk mengundurkan diri atau dimakzulkan. Partai oposisi segera memulai proses pemakzulan, dan pengadilan tinggi serta pengadilan konstitusional meluncurkan penyelidikan terhadap legalitas tindakannya. Yoon juga dikenakan larangan bepergian sementara penyelidikan berlangsung. Beberapa pihak menilai tindakan Yoon sebagai upaya kudeta, sementara Yoon berdalih bahwa langkah tersebut dilakukan untuk menghadapi oposisi yang dianggap menghalanginya.
Kronologi Kejatuhan Yoon Suk Yeol
Krisis politik ini berkembang dengan cepat, hingga berujung pada penangkapan Presiden Yoon pada 15 Januari 2025. Berikut adalah rangkaian peristiwa utama:
- 3 Desember 2024: Yoon mengumumkan darurat militer, mengirimkan pasukan bersenjata ke parlemen. Parlemen setuju untuk segera mencabut perintah ini.
- 4 Desember: Partai oposisi mengajukan pengaduan “pemberontakan” terhadap Yoon dan pejabat tinggi lainnya.
- 9 Desember: Kementerian Kehakiman memberlakukan larangan bepergian bagi Yoon.
- 14 Desember: Parlemen meloloskan mosi pemakzulan dengan suara 204-85, yang secara efektif menangguhkan kekuasaan presiden.
- 27 Desember: Pejabat sementara presiden Han Duck-soo dimakzulkan karena menolak untuk menandatangani undang-undang khusus untuk menyelidiki Yoon.
- 30 Desember: Penyidik mengajukan surat perintah penangkapan untuk Yoon setelah ia tiga kali mangkir dari panggilan pemeriksaan.
- 1 Januari 2025: Yoon bersumpah untuk berjuang “sampai akhir” di tengah dukungan para pendukungnya.
- 3 Januari: Upaya pertama untuk menangkap Yoon gagal setelah terjadi kebuntuan selama enam jam dengan pengawal pribadinya.
- 14 Januari: Pengadilan Konstitusi membuka sidang pemakzulan, tetapi ditunda karena Yoon tidak hadir.
- 15 Januari: Setelah negosiasi panjang, Yoon ditangkap di kediamannya.
Sepanjang periode ini, Yoon tetap menolak bekerja sama dengan tim penyelidikan dan mengandalkan pasukan keamanannya untuk menghalangi upaya penangkapan. Krisis ini juga memicu pengunduran diri sejumlah pejabat tinggi, termasuk kepala layanan keamanan presiden pada tanggal 7 Januari 2025.

Warisan Kepresidenan Korea Selatan yang Penuh Gejolak
Sejarah kepresidenan Korea Selatan sering kali dipenuhi dengan akhir masa jabatan yang penuh gejolak. Hampir setiap pemimpin menghadapi tuduhan serius, pemakzulan, penjara, atau bahkan kematian yang tragis. Fenomena ini mencerminkan dinamika politik Korea Selatan yang kompleks.
- Syngman Rhee (1948-1960): Presiden pertama Korea Selatan mengundurkan diri setelah adanya pemberontakan mahasiswa besar-besaran. Ia menghabiskan sisa hidupnya di pengasingan di Hawaii.
- Yun Po-sun (1960-1962): Dilengserkan melalui kudeta militer yang dipimpin oleh Park Chung-hee.
- Park Chung-hee (1963-1979): Tewas dibunuh oleh kepala intelijennya sendiri dalam sebuah pertemuan pribadi.
- Chun Doo-hwan dan Roh Tae-woo (1980-1993): Keduanya terlibat dalam kudeta militer dan kemudian dihukum atas pengkhianatan, tetapi diberikan amnesti pada 1998.
- Roh Moo-hyun (2003-2008): Mengakhiri hidupnya di tengah penyelidikan korupsi.
- Lee Myung-bak (2008-2013): Dihukum 15 tahun penjara atas kasus korupsi.
- Park Geun-hye (2013-2017): Dimakzulkan dan dipenjara atas tuduhan korupsi sebelum akhirnya diberi grasi.
- Moon Jae-in (2017-2022): Setelah masa jabatan yang relatif damai, Moon Jae-in menghadapi kritik terkait kebijakan ekonomi dan perumahan yang menyebabkan ketidakpuasan publik. Salah satu isu yang diangkat adalah dugaan campur tangan politik dalam pengangkatan pejabat, termasuk tuduhan bahwa pemerintahannya memberikan perlakuan khusus kepada individu tertentu berdasarkan hubungan pribadi atau politik. Namun, tuduhan ini sulit dibuktikan sehingga ia tidak menghadapi tuntutan hukum serius setelah meninggalkan jabatannya.

Sejarah ini menyoroti tantangan yang dihadapi oleh para pemimpin Korea Selatan, termasuk warisan pemerintahan otoriter, korupsi yang mengakar, dan masyarakat yang semakin kritis terhadap perilaku para pemimpin mereka.
Refleksi
Krisis kepresidenan yang melibatkan Yoon Suk Yeol mencerminkan dinamika politik Korea Selatan yang terus berubah. Di satu sisi, hal ini menunjukkan kekuatan sistem demokrasi negara tersebut dalam menuntut akuntabilitas dari para pemimpin.
Di sisi lain, sejarah panjang ketidakstabilan politik mengindikasikan perlunya reformasi yang lebih mendalam untuk memperkuat institusi negara. Dengan masyarakat yang semakin sadar akan hak dan kewajiban politik mereka, masa depan politik Korea Selatan tetap menjadi perhatian global.