
Pusat Kerjasama Kehutanan Korea-Indonesia (KIFC) merupakan lembaga yang didirikan pada tahun 2011 sebagai wujud komitmen kedua negara untuk memperkuat kolaborasi dalam pengelolaan hutan dan upaya konservasi yang berkelanjutan.
Melalui institusi ini, Indonesia dan Korea Selatan dapat menggabungkan keahlian teknis, sumber daya, serta pengalaman masing-masing guna menjawab tantangan lingkungan dan sosial yang dihadapi oleh sektor kehutanan.
Sejak pembentukannya, KIFC berperan sebagai penghubung utama antara Korea Forest Service dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia dalam mengelola berbagai program inovatif yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan komunitas lokal.
Latar Belakang Sejarah dan Pendirian
Kerjasama kehutanan antara Indonesia dan Korea Selatan memiliki akar historis yang dimulai jauh sebelum hubungan diplomatik resmi terbentuk pada tahun 1973. Modal awal dibangun pada tahun 1968 ketika perusahaan Korea, PT. KODECO, memperoleh izin konsesi seluas 270.000 hektare di Batulicin, Kalimantan Selatan, menandai terobosan investasi kehutanan Korea di Indonesia.
Beranjak ke tanggal 20 Juni 1987, kedua negara memformalkan kerjasama ini melalui penandatanganan Perjanjian Kerjasama oleh Menteri Luar Negeri dari kedua belah pihak di Seoul. Inti perjanjian tersebut adalah untuk memfasilitasi pasokan kayu yang stabil dan menyelenggarakan program reboisasi di luar negeri melalui pembentukan Forum Komite Kerjasama Kehutanan (Forestry Cooperative Committee/FCC), yang pertama kali bertemu di Jakarta pada Februari 1979.
Pada perjalanannya, agenda FCC berkembang sesuai dengan tantangan dan prioritas baru dalam pengelolaan hutan. Pada pertemuan ke-14 di tahun 1999, fokus utama FCC juga dibarengi dengan dukungan terhadap perusahaan-perusahaan Korea yang beroperasi di Indonesia dan penyelenggaraan pelatihan teknis bagi sumber daya manusia.
Dua tahun berikutnya, pada 2001, perhatian beralih kepada pengembangan ekowisata (ecotourism), lalu pertemuan pada 2003 berfokus pada pemberantasan penebangan liar. Pada 2005, topik utama beralih ke perbaikan genetik tanaman hutan (forest tree improvement), dan memasuki 2007, diskusi menyoroti tentang inisiatif terkait perubahan iklim, seperti REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) dan penelitian bersama mengenai sumber daya tropis.
Kerumitan agenda dan semakin luasnya ruang lingkup kerjasama menghasilkan kebutuhan akan suatu institusi khusus untuk memfasilitasi pelaksanaan proyek bersama. Pada tanggal 29 Juni 2010, Kementerian Kehutanan (kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) Republik Indonesia dan Korea Forest Service menandatangani Record of Discussion (RoD) mengenai pendirian dan operasional Korea-Indonesia Forest Cooperation Center (KIFC). Melalui kesepakatan ini, saluran komunikasi yang lebih efektif antara otoritas kehutanan kedua negara pun terbentuk.
KIFC kemudian resmi mulai beroperasi pada tahun 2011 dengan landasan prinsip “mutual trust, mutual respect, dan mutual benefit.” Lembaga ini berfungsi sebagai motor utama dalam pelaksanaan berbagai program kerjasama kehutanan.

Peran KIFC semakin diperkuat pada Oktober 2019 melalui amandemen RoD. Pada 28 Oktober 2019, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia menandatangani dokumen amandemen di Jakarta, diikuti dengan penandatanganan oleh Wakil Menteri Korea Forest Service di Daejeon sehari kemudian.
Amandemen tersebut memperluas peran KIFC tidak hanya sebagai fasilitator saja, tetapi juga sebagai pelaksana langsung kegiatan kerjasama, fasilitator pertemuan bilateral, penyedia informasi untuk program lanjutan, penggerak investasi kehutanan baik di sektor swasta maupun publik, serta pelapor aktivitas dan realisasi keuangan kepada kedua pemerintah.
Struktur Organisasi dan Tata Kelola
KIFC digerakkan oleh struktur tata kelola bilateral yang dipimpin bersama oleh dua Co-Director, satu dari Korea dan satu dari Indonesia, untuk menjamin keterwakilan seimbang. Jeong diangkat sebagai Co-Director Korea ke-7 pada Januari 2025, sementara Kuswandono memegang jabatan Co-Director Indonesia ke-5 sejak September 2023. Kepemimpinan ganda tersebut memastikan bahwa setiap keputusan strategis memperoleh perspektif lintas negara.
Markas besar KIFC yang bertempat di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, berfungsi sebagai pusat komunikasi antara Korea Forest Service dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia. Adapun pembagian tugas KIFC meliputi:
- berkoordinasi dengan otoritas kehutanan di Indonesia dan Korea untuk menyelaraskan kebijakan dan program
- merencanakan serta mengawasi pelaksanaan proyek kehutanan bersama, menjalankan manajemen administrasi dan pelaporan keuangan secara transparan
- mengembangkan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihan teknis, serta memfasilitasi investasi sektor swasta dan kemitraan publik-swasta (Public-Private Partnership/P3) di bidang kehutanan.
Struktur tata kelola yang terintegrasi ini memungkinkan KIFC melakukan perencanaan strategis, alokasi sumber daya, dan monitoring evaluasi yang efisien untuk setiap program yang diinisiasi.
Program dan Inisiatif Utama
Sejak pendiriannya, KIFC telah menginisiasi berbagai program yang memfokuskan pada pengelolaan hutan berkelanjutan, peningkatan kapasitas, dan pemberdayaan masyarakat di beberapa daerah Indonesia.
Pertama, pengembangan Rumpin Seed Source and Nursery Center menjadi salah satu pencapaian penting. Pusat ini berperan sebagai gudang bibit dan platform pertukaran pengetahuan antara teknisi kehutanan Korea dan program reboisasi Indonesia.
Melalui penerapan teknik pemuliaan tanaman hutan dan manajemen pembibitan dari Korea serta pemanfaatan tumbuhan lokal Indonesia, Rumpin Seed Source and Nursery Center menghasilkan bibit berkualitas tinggi yang siap digunakan untuk restorasi hutan.
Kedua, program Pelatihan dan Pengembangan Kapasitas menjadi pilar penting dalam transfer ilmu. KIFC mengadakan serangkaian pelatihan teknis bagi pejabat kehutanan dan peneliti Indonesia, mencakup teknik inventarisasi hutan, metode adaptasi perubahan iklim, hingga praktik restorasi ekosistem. Dengan demikian, institusi kehutanan Indonesia semakin diperkuat secara kelembagaan dan teknis untuk mengelola sumber daya hutan secara berkelanjutan.

Ketiga adalah Kolaborasi Riset dan Inovasi. KIFC menginisiasi studi bersama terkait keanekaragaman hayati hutan tropis, teknik panen berkelanjutan, serta metodologi restorasi hutan. Kolaborasi ini memadukan teknologi dan keahlian Korea dengan kekayaan ekosistem Indonesia, menghasilkan temuan ilmiah yang mendukung kebijakan dan praktik kehutanan secara langsung di lapangan.
Keempat, fasilitasi investasi sektor swasta menjadi peran strategis KIFC sebagai penghubung antara perusahaan Korea dan otoritas kehutanan Indonesia. Dengan memastikan operasi kehutanan bersifat berkelanjutan, investasi yang digerakkan oleh KIFC turut memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat setempat.
Kelima, Kampanye Kesadaran Publik dan Edukasi juga menjadi bagian signifikan. KIFC menyelenggarakan berbagai kegiatan outreach, seperti kontes video yang menampilkan upaya kerjasama kehutanan Korea-Indonesia. Program ini bertujuan untuk meningkatkan sensibilitas generasi muda terhadap isu lingkungan serta mendorong partisipasi aktif dalam pelestarian hutan.
Prestasi dan Prospek Masa Depan
Selama lebih dari satu dekade, KIFC berhasil mengokohkan hubungan kelembagaan antara Indonesia dan Korea Selatan serta mencetak dampak lingkungan yang nyata. Salah satu bukti nyata adalah evolusi Rumpin Seed Source and Nursery Center. Berawal dari dukungan KOICA dan pembinaan KIFC hingga tahun 2020, Rumpin kini telah berkembang menjadi International Tropical Forest Nursery and Research Center dengan kapasitas produksi mencapai 12 juta bibit per tahun, menandakan suksesnya transfer teknologi dan model pemuliaan bibit yang diadopsi.
Program Ekowisata Berbasis Masyarakat yang dijalankan KIFC juga sukses meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di lokasi pelaksanaan sekaligus menjaga keutuhan ekosistem hutan. Keberhasilan inisiatif ini membuktikan bahwa kerjasama internasional dapat menyeimbangkan kepentingan konservasi dan pembangunan ekonomi lokal.
Dari sisi kelembagaan, ratusan pejabat dan peneliti Indonesia telah menerima pelatihan teknis yang diselenggarakan oleh KIFC, semakin memperkuat kapasitas institusi dalam merespons tantangan tata kelola hutan yang semakin kompleks. Sedangkan proyek-proyek REDD+ yang menjadi bagian dari kesepakatan bersama telah memperkokoh posisi kedua negara dalam komitmen iklim global dan membuka akses ke mekanisme pendanaan berbasis karbon.
Melangkah ke depan, KIFC menghadapi tantangan sekaligus peluang. Tantangan utama terletak pada keberlanjutan pendanaan, di mana KIFC perlu mengeksplorasi sumber dana baru agar program-program dapat berjalan tanpa ketergantungan penuh pada KOICA atau alokasi pemerintah.

Di sisi teknologi, transformasi digital dan pemanfaatan data satelit untuk pemantauan hutan secara real-time menjadi kebutuhan mendesak. Selain itu, perluasan program berbasis jasa ekosistem hutan—seperti penilaian jasa penyediaan air, konservasi keanekaragaman hayati, serta penyerapan karbon—menawarkan peluang baru. Strategi pengembangan carbon finance menjadi langkah krusial untuk memaksimalkan potensi ekonomi di balik jasa ekosistem hutan, sekaligus memberi insentif bagi pemangku kepentingan lokal.