
Pewarna indigo, yang dikenal dengan nama jjok dalam bahasa Korea, telah lama menjadi elemen penting dalam budaya tekstil Semenanjung Korea. Akar sejarahnya dapat ditelusuri hingga ke era Joseon, meskipun beberapa sumber memperkirakan bahwa jjok telah ada sebelumnya.
Naju di Provinsi Jeolla Selatan menjadi produsen jjok terbesar di Korea berkat kondisi tanah dan iklimnya yang cocok untuk menumbuhkan tanaman indigo. Dari masa ke masa, jjok mencerminkan kearifan masyarakat lokal dalam memanfaatkan sumber daya alam untuk menghasilkan kain berwarna biru yang khas.
Sejarah Jjok
Di masa lampau, pemanfaatan indigo tidak hanya terbatas pada segi dekoratif. Beberapa catatan menyebutkan bahwa corak biru dianggap memiliki makna tertentu. Ketika Dinasti Joseon (1392–1910) berkuasa, pemakaian jjok meluas, terutama di wilayah Naju. Pertumbuhan ekonomi tekstil mendorong peningkatan budidaya indigo, sehingga kain berwarna biru semakin tersebar di berbagai kalangan masyarakat.
Proses Fermentasi
Pewarna indigo harus melewati tahapan fermentasi yang cukup panjang. Daun indigo dikeringkan, lalu ditumpuk bersama bahan tambahan seperti abu kayu atau kapur, sebelum didiamkan dalam rentang waktu tertentu. Proses ini membantu mengurai daun menjadi komponen yang dapat larut dalam air. Awalnya, kain yang direndam di dalam larutan ini akan nampak kecokelatan, namun berangsur-angsur berubah menjadi biru setelah terpapar oksigen. Para pengrajin sering mengulangi proses pencelupan berkali-kali agar warna kain menjadi lebih pekat.
Teknik Serupa di Wilayah Asia
Fermentasi indigo juga dapat ditemukan di Jepang, misalnya dalam metode aizome. Keduanya sama-sama memanfaatkan proses penguraian organik daun, meskipun bahan pendukung dan durasi fermentasi berbeda. Prinsip utamanya tetap serupa, yakni menguraikan senyawa indigo menjadi bentuk larut yang mampu menempel pada serat kain.
Naju sebagai Pusat Tradisi
Naju dikenal sebagai pusat jjok karena ketersediaan lahan subur dan aliran Sungai Yeongsangang yang memudahkan penanaman indigo, dan teknik fermentasi indigo diwariskan secara turun-temurun oleh warga setempat. Namun, kolonisasi Jepang (1910–1945) dan Perang Korea (1950–1953) mengakibatkan menurunnya minat menanam indigo, yang diperparah dengan pergeseran fungsi lahan. Setelah masa perang, hanya sedikit orang yang masih menguasai proses pembuatan pewarna ini.

Meskipun begitu, inisiatif untuk menghidupkan kembali teknik pewarnaan indigo di Naju kembali muncul setelah perang berlalu. Seorang wartawan bernama Ye Yong-hae berperan besar dalam upaya ini, di mana ia membawa biji indigo dari Jepang dan menanamnya di kawasan tersebut.
Penduduk setempat yang masih mengingat teknik fermentasi kemudian meneruskan tradisi lama ini. Selain itu, mereka juga kembali mengajarkan teknik ini kepada generasi selanjutnya. Mereka mengajarkan perincian waktu pencelupan, cara menyesuaikan suhu larutan, dan tingkat pengadukan yang tepat. Sikap disiplin ini memastikan kualitas kain tetap konsisten.
Peran Ekonomi dan Identitas Lokal
Sebelum industri modern berkembang, penjualan kain indigo sudah menjadi bagian dari perekonomian Naju. Kain ini digemari berkat warnanya yang bertahan lama, sehingga masyarakat tidak perlu mengganti pakaian terlalu sering. Penggunaan jjok dalam hanbok menguatkan kesan bahwa warna biru bukan semata ornamen saja, melainkan bagian dari ragam busana khas Korea.
Upaya Dokumentasi
Pada masa kini, pemerintah dan lembaga budaya secara aktif merekam proses fermentasi indigo agar teknik ini tidak hilang. Beberapa museum dan pameran menampilkan tahap pencampuran larutan, pengeringan daun, serta proses pencelupan secara langsung. Kegiatan ini memberikan pemahaman kepada pengunjung tentang bagaimana pembuatan warna dan pewarnaan kain secara langsung dengan lebih detail.
Perkembangan di Era Modern
Pada era modern, pewarnaan jjok tidak terbatas pada busana tradisional saja. Beberapa desainer memanfaatkan teknik lama untuk menghasilkan pakaian atau aksesori yang mengikuti tren saat ini. Industri kreatif juga mengamati potensi pewarna alami ini bagi interior dan dekorasi. Demonstrasi terbuka pun kerap diadakan, mengundang khalayak luas melihat proses pencelupan dan peralihan warna secara langsung, sehingga membuka dialog tentang bagaimana praktik lama berkolaborasi dengan inovasi baru.
Pewarna yang Ramah Lingkungan
Proses pewarnaan jjok dianggap bersahabat dengan alam karena minim penggunaan bahan kimia sintetik. Para pengrajin bergantung pada fermentasi alami, sehingga polutan yang dihasilkan lebih rendah. Meski memakan waktu lebih lama, corak biru yang muncul sering diakui memiliki warna yang khas. Ada catatan yang berpendapat bahwa kain indigo lebih tahan dari gigitan serangga, tetapi hal ini masih belum dapat dibuktikan secara ilmiah.
Pengakuan Resmi
Pemerintah Korea memberikan status warisan budaya takbenda kepada pewarnaan jjok, menegaskan nilainya sebagai bagian vital dari identitas Korea. Beragam festival pun diselenggarakan, memperlihatkan evolusi kain biru di ranah mode dan seni rupa. Edukasi ini mendorong apresiasi terhadap teknik fermentasi yang hampir hilang. Berbagai lembaga budaya menyediakan ruang bagi diskusi, sehingga pengunjung paham bahwa pewarnaan indigo merupakan praktik bersejarah yang berjalan hingga sekarang.
Memandang Masa Depan
Banyak pihak menilai pewarnaan indigo akan tetap relevan. Konsumen global mulai peduli dengan produk yang diproses secara alami dan berkesinambungan. Para pengrajin di Naju memanfaatkan momentum ini untuk memperkenalkan produk mereka kepada pasar luar negeri. Kolaborasi dengan platform daring dan teknologi membantu mereka untuk memantau kualitas fermentasi, mendokumentasikan data, serta menjangkau segmen pasar yang lebih luas.
Pewarna indigo, atau jjok, di Korea memiliki riwayat panjang yang tidak terbatas pada simbol semata, melainkan mencakup proses fermentasi yang detail dan bervariasi. Pemerintah, pengrajin, dan masyarakat bekerja sama agar jjok terus bertahan sebagai representasi warisan budaya. Sinergi antara tradisi dan inovasi memungkinkan tradisi ini terus hidup, sekaligus memberi wawasan tentang cara masyarakat memanfaatkan sumber daya alam.