Istilah “Hell Joseon” mencerminkan perasaan frustrasi dari sebagian kalangan muda di Korea Selatan terhadap kondisi sosial ekonomi yang mereka alami. Ungkapan yang populer di sekitar tahun 2015 ini menggabungkan kata “Hell” dengan “Joseon,” merujuk pada dinasti Korea pra‑modern untuk menggambarkan rasa terjebak dalam struktur yang dianggap kaku dan tidak adil.
Seiring berjalannya waktu, istilah yang awalnya populer di internet ini mulai digunakan secara luas dan berubah menjadi lensa untuk membaca isu mobilitas sosial, ketimpangan, budaya kerja, serta pilihan hidup seperti migrasi.
Asal-usul Istilah dan Penyebaran
“Hell Joseon” awalnya hanya digunakan di komunitas daring, terutama History Gallery di DC Inside. Pada 3 September 2015, forum ini membuka Hell Joseon Gallery sebagai ruang untuk menampung keluhan yang menumpuk terkait pendidikan, kerja, dan kehidupan harian. Pemilihan kata “Joseon” bukan hanya kebetulan semata. Dinasti tersebut kerap diasosiasikan dengan hierarki sosial yang kaku, sehingga menjadi metafora bagi hambatan yang dirasakan oleh sebagian kalangan muda pada hari ini.

Dengan cepat, istilah ini menyebar ke khalayak umum dan kini dipakai oleh banyak orang untuk menceritakan pengalamannya masing‑masing. Ada yang menekankan ketimpangan ekonomi, ada yang menyoroti politik, konflik gender, ataupun budaya buruk kantor yang masih dipertahankan. Pada 2019, muncul varian dari istilah ini bernama “Tal‑Jo” yang bermakna meninggalkan atau keluar dari “Joseon,” menandai pergeseran dari keluh‑kesah menuju pertimbangan migrasi sebagai opsi nyata.
Realitas Ekonomi dan Sosial
Di balik istilah ini terdapat kekecewaan terhadap gagasan bahwa kerja keras pasti berbuah kesuksesan. Pada kenyataannya, banyak lulusan dengan spesifikasi tinggi tetap menghadapi masa tunggu panjang sebelum memperoleh pekerjaan tetap. Latar belakang keluarga dan jaringan sosial kerap dinilai lebih menentukan dibandingkan prestasi akademik semata.

Posisi yang dipandang layak jumlahnya terbatas dan kompetisinya tinggi. Banyak yang akhirnya mengambil pekerjaan kontrak atau paruh waktu, menyulitkan perencanaan jangka panjang termasuk pernikahan dan memiliki anak. Situasi ini berkaitan erat dengan istilah “generasi sampo” yang menggambarkan keputusan untuk menunda atau melepas sejumlah tujuan hidup akibat tekanan biaya.
Kepadatan penduduk menambah tingkat persaingan kerja, terutama di wilayah metropolitan. Selain kemampuan, faktor almamater dan ikatan regional sering menjadi penentu. Kombinasi variabel tersebut membentuk keseharian yang melelahkan bagi sebagian orang, dan memperkuat daya jelajah istilah “Hell Joseon” dalam percakapan publik.
Biaya hunian menjadi salah satu sorotan lainnya. Untuk membeli apartemen kecil di Seoul, calon penghuni harus menabung gaji penuh dalam jangka waktu yang sangat panjang. Sebagian anak muda memilih untuk tinggal di goshiwon, kamar mungil yang hanya memuat kebutuhan dasar, sebagai strategi bertahan hidup.
Dampak Budaya dan Perdebatan Publik
Resonansi istilah ini terlihat dalam berbagai karya budaya populer. Film “Parasite” yang berhasil memenangkan penghargaan Oscar menyajikan potret tajam mengenai ketimpangan, selaras dengan tema utama dari Hell Joseon. Karya lain seperti “Because I Hate Korea” menautkan gagasan migrasi sebagai salah satu jalan keluar individual. Representasi ini berfungsi ganda sebagai ekspresi artistik dan dokumentasi sosial mengenai kegelisahan generasi.

Di ranah politik, istilah ini memicu perdebatan. Ada yang menilai bahwa penggunaan istilah tersebut sebagai bentuk pesimisme yang tidak produktif. Di sisi lain, kritik terhadap istilah itu justru sering kali dibalas dengan argumen bahwa kemunculannya tidak terlepas dari konteks kebijakan dan kondisi struktural masyarakat pada masa tertentu. Kontroversi seputar pernyataan pejabat mengenai saran bekerja ke luar negeri bagi lulusan tertentu menunjukkan bagaimana frasa ini telah masuk ke pusat diskursus kebijakan, dan bukan sekadar ekspresi marjinal di internet.
Perbedaan generasi ikut membingkai perdebatan. Sebagian kalangan senior menilai istilah ini sebagai pengingkaran atas pencapaian pembangunan. Sementara generasi muda melihatnya sebagai deskripsi kondisi yang berubah, di mana jalur menuju kemapanan tidak lagi tersedia secara luas terlepas dari usaha pribadi. Kedua sudut pandang ini berjalan berdampingan dan membentuk dinamika wacana yang terus bergerak.
Seiring berjalannya waktu, wacana Hell Joseon turut mengisyaratkan pergeseran orientasi nilai. Alih‑alih hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dan nasionalisme pembangunan, muncul penekanan pada keseimbangan antara kerja dan kehidupan serta realisasi diri. Pergeseran ini tidak terjadi serentak, tetapi menjadi salah satu arus penting yang mewarnai pilihan hidup generasi muda.
Konsekuensi Sosial dan Tren Migrasi
Survei pada 2017 terhadap 3.710 orang menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden setuju bahwa Korea masuk dalam kategori “Hell Joseon” dan banyak yang mempertimbangkan untuk pindah ke luar negeri. Sebagian bahkan menyatakan bersedia melepas kewarganegaraan apabila berhasil menetap permanen di negara tujuan. Preferensi destinasi mengarah ke negara yang dikenal memiliki kualitas hidup baik, mobilitas sosial relatif terbuka, dan budaya kantor yang kurang hierarkis, seperti Kanada, Selandia Baru, Singapura, dan Australia.

Dorongan migrasi ini tidak hanya berbentuk wacana saja. Terdapat peningkatan minat terhadap peluang kerja dan pendidikan di luar negeri, termasuk di kawasan Asia Tenggara. Selain karena kebutuhan ekonomi, pilihan gaya hidup dan tata kerja yang dinilai lebih bersahabat menjadi faktor utama. Dampaknya perlu dibaca bersamaan dengan persoalan demografi. Ketika biaya hidup dan ketidakpastian kerja dianggap menghalangi pembentukan keluarga, migrasi dapat dilihat sebagai strategi rasional pada tingkat individu, yang berkonsekuensi pada penurunan fertilitas di tingkat populasi.
“Hell Joseon” lahir dari forum internet, kemudian menjadi narasi publik yang memengaruhi percakapan hingga keputusan migrasi. Ke depan, arah wacana ini akan ditentukan oleh bagaimana kebijakan publik merespons akar masalah ini seperti biaya hunian, kualitas pekerjaan, dan akses mobilitas sosial berkembang di Korea.