Hanja(한자) adalah sistem penulisan tradisional di Korea yang menggunakan karakter Tionghoa sebagai aksara utamanya. Meskipun penggunaannya menurun sejak hangul, alfabet asli Korea, diadopsi secara luas, hanja tetap menjadi bagian penting dari sejarah dan budaya Korea. Artikel ini akan mengupas lebih dalam tentang peran hanja dalam berbagai periode sejarah Korea, fungsinya dalam sistem penulisan, serta bagaimana posisi dan pengaruhnya berkembang dari masa lalu hingga masa kini.
Penggunaan Hanja pada Masa Dinasti Joseon
Pada masa Dinasti Joseon (1392-1910), hanja menjadi sistem penulisan utama yang digunakan di Korea dan memainkan peran krusial dalam pemerintahan, sastra, dan pendidikan. Pada era ini, nilai-nilai Konfusianisme sangat berakar dan memengaruhi pentingnya hanja di masyarakat Korea. Hanja menjadi satu-satunya sarana untuk menulis dokumen resmi dan melaksanakan kegiatan akademik pada masa awal Dinasti Joseon.
Kelompok elit sastra yang dikenal sebagai ‘yangban’ diharapkan memiliki kemampuan membaca dan menulis dalam bahasa Tionghoa klasik menggunakan hanja, yang merupakan syarat penting untuk lulus ujian pegawai negeri dan meraih posisi di pemerintahan.
Pengenalan Hangul oleh Raja Sejong
Raja Sejong, yang memerintah dari tahun 1418 hingga 1450, menyadari keterbatasan hanja bagi masyarakat umum. Pada tahun 1443, Raja Sejong memperkenalkan hangul dengan tujuan untuk meningkatkan tingkat literasi di kalangan rakyat jelata. Meski demikian, hangul tidak serta merta menggantikan hanja. Pada masa itu, kelas elit masih menganggap hangul sebagai tulisan yang “kasar” dan hanya layak digunakan oleh perempuan dan anak-anak. Penggunaan hanja tetap dominan dalam berbagai aspek kehidupan sosial, budaya, dan politik, sementara hangul berkembang secara bertahap di kalangan masyarakat biasa.
Sistem Penulisan Campuran Hanja-Hangul
Selama periode Joseon, muncul sistem penulisan campuran yang dikenal sebagai ‘gukhanmun honyong’ (국한문혼용). Sistem ini menggabungkan hanja untuk kata-kata konten dan hangul untuk partikel gramatikal dan infleksi. Penggunaan sistem ini memungkinkan masyarakat untuk tetap melestarikan hanja sekaligus membuat teks lebih mudah diakses oleh khalayak yang lebih luas.
Karya klasik Konfusianisme menjadi dasar dari pendidikan dan filosofi moral di Korea pada masanya, sehingga mempelajari serta memahami penggunaan hanja menjadi sangat penting. Para cendekiawan menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari ribuan karakter hanja untuk dapat membaca dan memahami teks-teks tersebut.
Peran Hanja dalam Era Modernisasi dan Era Kolonial Jepang
Meskipun hangul telah diciptakan pada abad ke-15, hanja tetap menjadi sistem penulisan dominan di Korea hingga akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Hangul mulai mendapatkan posisinya sebagai sistem penulisan utama di Korea pada masa modernisasi di akhir periode Joseon dan selama era kolonial Jepang. Modernisasi tersebut membawa perubahan signifikan dalam pendidikan dan komunikasi, menjadikan hangul semakin luas penggunaannya di kalangan masyarakat.
Perbandingan Hanja dan Hangul
Hanja dan hangul merepresentasikan dua sistem penulisan yang berbeda dalam bahasa Korea, masing-masing dengan sejarah dan fungsi praktis yang unik. Hangul menggunakan simbol untuk merepresentasikan bunyi, sehingga lebih mudah dipelajari dan digunakan.
Sementara itu, hanja menggunakan karakter Tionghoa untuk mewakili makna yang lebih kompleks, namun memberikan kedalaman tambahan pada bahasa. Hangul saat ini menjadi sistem penulisan utama di Korea, digunakan dalam komunikasi sehari-hari dan dokumen resmi. Di sisi lain, hanja kini masih digunakan dalam konteks tertentu, seperti penulisan akademis, surat kabar, dan dokumen hukum, untuk memberikan kejelasan konteks.
Hanja dalam Penamaan
Hanja memainkan peran signifikan dalam penamaan dari warga Korea, terutama pada nama depan. Banyak nama Korea terdiri dari dua suku kata, masing-masing diwakili oleh karakter hanja. Karakter-karakter ini dipilih tidak hanya berdasarkan bunyinya saja, tetapi juga berdasarkan maknanya, yang sering mencerminkan harapan orang tua terhadap masa depan anak atau atribut positif tertentu.
Beberapa karakter hanja yang umum digunakan dalam nama adalah 智 (ji, kebijaksanaan), 英 (yeong, bunga/berani), dan 秀 (su, unggul). Nama keluarga juga umumnya didasarkan pada hanja, dengan nama marga yang paling umum adalah 金 (Kim), 李 (Lee), dan 朴 (Park). Dalam dokumen resmi, nama Korea sering dicatat dalam hangul dan hanja untuk melestarikan karakter tradisional di samping ejaan fonetisnya.
Peran Hanja dalam Pendidikan
Pendidikan hanja di Korea Selatan telah mengalami perubahan signifikan seiring berjalannya waktu. Hanja yang awalnya menjadi bagian wajib dalam kurikulum kini hanya diajarkan sebagai mata pelajaran elektif di sebagian besar sekolah. Di sekolah menengah pertama dan atas, siswa biasanya mempelajari sekitar 1.800 karakter hanja dasar, dengan masing-masing 900 karakter diajarkan di setiap tingkat.
Kementerian Pendidikan mendorong sekolah dasar untuk menawarkan kelas hanja, dengan keyakinan bahwa hal ini dapat meningkatkan keterampilan bahasa Korea siswa. Beberapa universitas bahkan mengharuskan mahasiswa mencapai skor tertentu dalam ujian hanja untuk dapat lulus. Pendukung pendidikan hanja berpendapat bahwa mempelajari hanja membantu siswa memahami etimologi kata-kata Korea dan meningkatkan perolehan kosakata.
Hanja dan Dampaknya dalam Bahasa Korea Modern
Meskipun penggunaan hangul telah meluas dalam komunikasi sehari-hari, hanja tetap menjadi bagian integral dari bahasa dan budaya Korea. Sekitar 60% kata dalam bahasa Korea memiliki asal-usul Sino-Korea, menjadikan hanja sebagai alat yang sangat berharga bagi mereka yang ingin mempelajari bahasa Korea secara lebih mendalam. Perdebatan tentang peran hanja dalam pendidikan juga mencerminkan pentingnya aksara ini dari segi budaya. Meskipun tidak lagi menjadi bagian wajib dalam pendidikan dasar, hanja masih diajarkan di tingkat pendidikan menengah dan tetap penting di bidang-bidang tertentu seperti hukum, kedokteran, dan akademik.
Hanja juga dianggap penting untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang koneksi historis dan linguistik antara Korea dan Tiongkok. Bagi mereka yang ingin memahami bahasa dan budaya Korea secara lebih mendalam, belajar hanja dapat memberikan wawasan berharga, terutama dalam memahami terminologi kompleks dan teks klasik.
Meskipun peran hanja dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Korea telah berkurang seiring dengan berkembangnya penggunaan hangul, pengaruhnya tetap terasa hingga saat ini. Hanja tidak hanya merupakan warisan dari masa lalu, tetapi juga sebuah jendela untuk memahami sejarah, budaya, dan perkembangan intelektual di Korea. Penguasaan hanja masih dianggap sebagai aset berharga bagi para cendekiawan, profesional, dan siapa saja yang ingin memperdalam pemahaman tentang bahasa dan budaya Korea.