Choga: Atap Jerami Rumah Rakyat Korea

on in Culture
Rumah choga milik Kim Il-Sung di dekat Pyongyang. Foto: Gilad.rom (Wikipedia)

Choga (초가), atau rumah tradisional beratapkan jerami, adalah bagian penting dari warisan arsitektur dari Korea. Rumah yang dibangun menggunakan material alami seperti jerami, kayu, dan tanah liat ini banyak digunakan oleh petani serta kelas pekerja berpenghasilan rendah. Dengan desain yang selaras dengan alam dan mengedepankan kesederhanaan, choga menjadi lambang dari prinsip kehidupan masyarakat Korea yang hidup harmonis dengan lingkungan sekitarnya.

Sejarah choga di Korea dapat ditelusuri hingga zaman prasejarah, tepatnya pada periode Neolitikum. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa bentuk awal choga berkembang dari gubuk primitif, yang kemudian menjadi lebih kompleks seiring dengan berkembangnya teknik arsitektur. Pada masa Tiga Kerajaan (57 SM–935 M), choga tersebar luas di seluruh Semenanjung Korea. Selain itu, catatan tertulis pertama tentang choga juga berasal dari masa ini, menyebutkan bahwa Raja Kim Suro dari Silla pernah tinggal di rumah choga. Ini menunjukkan bahwa pada masa itu, bahkan kalangan kerajaan tinggal di rumah beratap jerami, yang menggambarkan pentingnya choga dalam masyarakat Korea.

Selama Dinasti Goryeo (918-1392) dan Joseon (1392-1910), choga tetap menjadi tipe rumah utama bagi sebagian besar penduduk, terutama petani dan kelas pekerja. Pada masa ini, struktur dasar dan bahan yang digunakan dalam choga semakin disempurnakan. Variasi regional dari choga berkembang, menyesuaikan dengan kondisi iklim dan sumber daya lokal yang tersedia. Fitur lain yang menjadi bagian tak terpisahkan dari choga adalah penggunaan ondol, sistem pemanas lantai tradisional Korea, yang telah ditemukan dalam sisa-sisa arkeologis sejak periode Protohistoris awal.

Choga tetap menjadi jenis rumah yang dominan di Korea hingga pertengahan abad ke-20. Namun, modernisasi dan urbanisasi yang cepat setelah Perang Korea (1950-1953) menyebabkan penurunan signifikan dalam pembangunan dan pemeliharaan choga. Pada tahun 1960-an, material bangunan baru dan rumah bergaya Barat mulai menggantikan choga, baik di pedesaan maupun di perkotaan.

Meskipun demikian, dalam beberapa dekade terakhir, upaya untuk melestarikan dan memulihkan choga sebagai situs warisan budaya semakin meningkat. Saat ini, walaupun tidak lagi digunakan sebagai tempat tinggal utama, rumah choga tetap menjadi contoh berharga dari arsitektur tradisional Korea dan terus dipelajari karena makna budaya yang dimilikinya serta prinsip desainnya yang berkelanjutan.

Aliran Konfusianisme berpengaruh sangat kuat dalam membentuk arsitektur tradisional Korea, termasuk choga. Prinsip-prinsip ini terlihat dalam pembagian ruang yang mencerminkan nilai-nilai Konfusianisme, seperti segregasi ruang dalam (anchae) dan luar (sarangchae) sesuai dengan peran gender. Selain itu, tata letak bangunan juga diatur menurut hierarki tertentu, di mana altar leluhur sering kali menempati posisi paling ideal di dalam rumah. Choga mencerminkan kesederhanaan dan penghematan, dengan desain yang menghindari hiasan berlebihan dan berfokus pada harmoni dengan alam.

Rumah-rumah ini tidak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga mencerminkan norma sosial dan nilai budaya masyarakat Korea, sehingga menciptakan ruang yang fungsional sekaligus simbolis. Prinsip harmoni dengan alam, seperti baesanimsu (gunung di belakang, sungai di depan), diterapkan dalam penempatan choga, yang menunjukkan keselarasan antara tempat tinggal dan lingkungan alam sekitarnya.

Chojip (초집) adalah bentuk adaptasi choga yang dapat ditemukan di Pulau Jeju. Rumah tradisional ini didesain untuk menghadapi kondisi lingkungan yang keras di pulau tersebut. Berbeda dengan choga di Semenanjung Korea, chojip memiliki struktur rendah dengan dinding batu tebal dan atap dari rumput liar, bukan jerami padi. Fitur-fitur unik chojip termasuk angeori (안거리) dan bakgeori (바케고리), dua ruang tinggal terpisah untuk generasi berbeda, serta jeongnang (정낭), batang kayu di pintu masuk yang berfungsi sebagai sistem komunikasi.

Chojip juga memiliki dinding dan pagar dari batu vulkanik yang memberikan perlindungan tambahan terhadap angin kencang. Sistem pemanas di chojip berbeda dengan ondol yang digunakan di rumah choga. Mereka juga tidak memiliki cerobong, sebagai adaptasi terhadap angin yang kuat di Pulau Jeju. Semua elemen arsitektur ini mencerminkan budaya dan lingkungan unik Pulau Jeju, serta menunjukkan kecermatan penduduk setempat dalam menciptakan tempat tinggal yang berkelanjutan.

Meskipun modernisasi telah menggantikan banyak rumah choga, warisan mereka tetap berpengaruh dalam arsitektur dan desain kontemporer Korea. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam choga, seperti penggunaan bahan-bahan alami, sistem pemanas yang hemat energi seperti ondol, dan pengaturan ruang yang mencerminkan hierarki sosial, memberikan wawasan berharga bagi arsitektur yang berkelanjutan dan responsif terhadap budaya. Dalam menghadapi tantangan urbanisasi dan masalah lingkungan modern, nilai-nilai yang terkandung dalam desain choga dapat menjadi inspirasi dalam menciptakan ruang hidup yang seimbang antara tradisi dan kebutuhan kontemporer.

Rumah choga di Hahoe Folk Village. Foto: Raki_Man (Wikipedia)

Pelestarian choga tidak hanya bertujuan untuk menjaga warisan fisik, tetapi juga mempertahankan nilai-nilai budaya yang menjadi dasar dari struktur-struktur ini. Konsep keberlanjutan dan kesederhanaan yang terkandung dalam choga sangat relevan untuk diterapkan di masa kini, terutama dalam menghadapi isu-isu lingkungan global. Dengan mempelajari dan menerapkan elemen-elemen arsitektur tradisional seperti choga, masyarakat modern dapat mengembangkan solusi yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan untuk perumahan dan pembangunan.

Choga adalah simbol dari arsitektur tradisional Korea yang mencerminkan kesederhanaan, harmoni dengan alam, dan nilai-nilai sosial yang mendalam. Dari struktur awalnya yang sederhana hingga menjadi rumah utama bagi petani pada masa Dinasti Goryeo dan Joseon, choga telah melewati berbagai fase perkembangan yang mencerminkan dinamika masyarakat Korea. Meskipun tidak lagi menjadi tempat tinggal utama, choga tetap menjadi bagian penting dari warisan budaya Korea yang terus dipelajari hingga hari ini.