Pungmul (풍무규) merupakan perpaduan antara drumming, tarian, dan nyanyian yang ditampilkan dalam pertunjukan luar ruangan, dibawakan dengan irama yang penuh semangat. Pungmul menjadi bagian dari tradisi musik rakyat Korea yang kaya akan nuansa budaya agraris, dan merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat pedesaan Korea sejak berabad-abad lalu.
Pungmul tidak hanya meramaikan kegiatan pertanian saja, tetapi juga menjadi sarana untuk merayakan hari-hari penting di desa, bahkan terkadang sebagai bentuk protes sosial. Artikel ini akan menelusuri perjalanan pungmul dari masa lalu hingga perannya dalam masyarakat Korea di era modern.
Perkembangan Pungmul Melintasi Zaman
Pungmul memiliki sejarah yang erat kaitannya dengan perkembangan sosial dan budaya Korea. Walaupun sulit untuk menentukan asal-usulnya secara pasti, pungmul diyakini telah berkembang selama berabad-abad dan mendapat pengaruh dari praktik-praktik keagamaan, ritual Buddha, serta musik militer tradisional. Bentuk awal dari pungmul dipercaya muncul selama periode Tiga Kerajaan (57 SM – 935 M), di mana pungmul dimainkan baik dalam konteks praktis maupun spiritual dalam komunitas agraris.
Pada masa Dinasti Joseon (1392-1910), pungmul mulai menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat desa. Musik ini tak hanya mengiringi petani yang bekerja di ladang saja, namun juga hadir dalam festival lokal dan ritual masyarakat. Namun, selama masa penjajahan Jepang (1910-1945), pungmul menghadapi tantangan.
Untuk menyelamatkan praktik budaya ini, pungmul disamarkan sebagai “nongak” atau musik petani biasa. Namun, di saat yang sama, pungmul juga berkembang menjadi bentuk perlawanan budaya, dengan pertunjukan yang seringkali menyelipkan kritik halus terhadap pemerintahan kolonial.
Pada era pasca-kemerdekaan dan periode industrialisasi pesat tahun 1960-an dan 1970-an, pungmul mengalami kebangkitan kembali sebagai bagian dari gerakan budaya minjung (rakyat). Pada masa ini, pungmul mulai dikenal luas oleh kaum intelektual dan aktivis perkotaan yang melihatnya sebagai cara untuk terhubung kembali dengan warisan budaya Korea sekaligus sarana unntuk menyuarakan ketidakpuasan terhadap pemerintahan yang otoriter.
Perkembangan signifikan dalam sejarah pungmul terjadi pada tahun 1978 dengan munculnya samulnori, versi modern dari pungmul yang disesuaikan untuk pertunjukan di panggung dalam ruangan. Dipimpin oleh Kim Duk-soo, samulnori memperkenalkan ritme tradisional Korea kepada audiens internasional dan menumbuhkan minat baru terhadap pungmul di kalangan generasi muda.
Asal Usul Pungmul di Budaya Dure
Pungmul berakar pada budaya dure (두레), yaitu sistem kerja sama di kalangan petani Korea. Dalam budaya ini, para petani bekerja bersama dalam kegiatan menanam dan panen. Selain menjadi hiburan, iringan musik pungmul juga juga membantu meningkatkan semangat dan mengoordinasikan gerakan para petani saat bekerja. Selain itu, pungmul juga dimainkan untuk merayakan hari-hari libur desa, yang semakin memperkuat ikatan sosial melalui pengalaman budaya bersama.
Gerakan ritmis dan energik dalam pungmul menjadikan pekerjaan berat di ladang terasa lebih ringan, serta membangun rasa persatuan di antara warga desa. Walaupun sekarang pungmul telah beralih menjadi bentuk seni pertunjukan yang lebih formal, koneksi yang mendalam dengan kehidupan agraris dan semangat komunitas tetap menjadi ciri khasnya.
Pungmul dan Peran dalam Protes Politik
Peran pungmul sebagai alat protes politik mencuat selama gerakan pro-demokrasi Korea Selatan pada akhir 1960-an dan 1970-an. Di tengah situasi politik yang otoriter, pungmul menjadi alat untuk menyampaikan ketidakpuasan dan mendukung cita-cita demokrasi.
Ritme yang kuat dan sifat komunal dari pertunjukan pungmul menjadikannya media yang efektif untuk menyatukan para demonstran dan menyampaikan pesan perlawanan. Para aktivis mengadaptasi ritme tradisional serta menambahkan nyanyian dan gerakan baru yang relevan dengan isu politik saat itu. Suara alat musik seperti kkwaenggwari, janggu, buk, dan jing bergema di jalanan kota, menarik perhatian masyarakat pada aksi yang berlangsung dan memberikan energi kepada para demonstran.
Namun, politisasi pungmul juga menimbulkan kontroversi. Beberapa kalangan tradisionalis berpendapat bahwa penggunaan pungmul untuk protes telah mengaburkan makna budaya asli dari seni ini. Meski demikian, peran pungmul dalam gerakan pro-demokrasi memberikan kontribusi besar terhadap kebangkitan dan ketertarikan kembali terhadap pungmul di kalangan generasi muda.
Pungmul dalam Ritual Musiman dan Perayaan Desa
Pungmul memainkan peran penting dalam ritual musiman dan perayaan desa, terutama yang berhubungan dengan siklus pertanian. Salah satu perayaan penting adalah upacara Jwibulnori, yang dirayakan pada bulan purnama pertama dalam tahun baru lunar. Dalam perayaan ini, warga desa membuat api unggun besar dan menulis harapan mereka di atas kertas yang kemudian dibakar demi keberuntungan.
Pungmul juga tampil dalam berbagai upacara musiman seperti festival penanaman musim semi, upacara memanggil hujan di musim panas, perayaan panen di musim gugur, dan ritual solstis musim dingin untuk mengusir roh jahat dan menyambut tahun baru. Kostum berwarna cerah yang dikenakan oleh para pemain seringkali memiliki simbolisme warna yang mewakili lima elemen (kayu, api, tanah, logam, dan air) serta lima arah utama, menekankan keterkaitan pungmul dengan alam dan filosofi tradisional Korea.
Pungmul sebagai Sarana Pembentukan Komunitas
Selain berperan dalam aspek musikal, pungmul juga berfungsi untuk memperkuat ikatan sosial dan identitas kolektif. Sifat partisipatif dari pertunjukan pungmul menciptakan pengalaman bersama yang melampaui batas usia, gender, dan status sosial, menyatukan warga dalam ekspresi budaya yang sama. Semua orang di desa didorong untuk berpartisipasi, baik dengan memainkan alat musik, menari, atau hanya sekadar bertepuk tangan.
Para pemain japsaek berinteraksi langsung dengan penonton, menciptakan pengalaman yang imersif, dan mengaburkan batas antara pemain dan penonton. Gerakan dan irama yang tersinkronisasi menciptakan rasa persatuan dan energi kolektif. Penampilan ini juga menjadi kesempatan untuk transfer pengetahuan dari generasi yang lebih tua ke generasi muda, menjaga warisan budaya tetap hidup.
Dalam konteks modern, pungmul terus membawa masyarakat bersama, beradaptasi dengan lingkungan perkotaan dan mengingatkan rakyat Korea akan akar budaya yang dimiliki bersama, terutama di dunia yang semakin terhubung secara global.
Pungmul adalah cerminan dari perjalanan budaya Korea yang penuh dinamika, yang awalnya bermula sebagai musik pengiring di lahan pertanian menjadi penyemangat para demonstran di protes jalanan, dari acara desa hingga panggung internasional. Seni ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sarana untuk menjaga identitas budaya, menguatkan solidaritas sosial, dan mengekspresikan pandangan politik.