Haenyeo Jeju: Menyelami Tradisi dan Tantangan Zaman

on in Society

Haenyeo, atau “wanita laut,” merupakan para penyelam perempuan dari Pulau Jeju, Korea Selatan, yang telah lama mempraktikkan pengambilan hasil laut dengan menyelam hingga kedalaman 20 meter tanpa menggunakan alat bantu pernapasan. Tradisi ini telah berlangsung selama berabad-abad, membentuk masyarakat semi-matriarkal di Jeju. Namun, tantangan kini muncul seiring dengan berkurangnya jumlah haenyeo yang masih aktif dan generasi muda yang lebih memilih karir lain.

Meskipun teknik menyelam haenyeo beradaptasi sesuai dengan kondisi yang berubah serta mengikuti kemajuan teknologi, haenyeo tetap mempertahankan inti teknik asli dan tradisi mereka. Di masa lalu, haenyeo menyelam dengan hanya mengenakan pakaian katun yang disebut mulsojungi, sebagaimana tercatat dalam dokumen dari tahun 1629. Praktik ini berlanjut selama lebih dari 350 tahun hingga tahun 1970-an, ketika mereka mulai menggunakan wetsuit berbahan karet, yang masih digunakan hingga saat ini. Perubahan ini meningkatkan kemampuan haenyeo untuk bertahan dalam suhu air yang dingin dan memperpanjang musim menyelam.

Haenyeo mempraktikkan teknik menyelam dengan menahan napas, turun hingga kedalaman 5 hingga 20 meter tanpa bantuan peralatan modern seperti scuba atau tabung oksigen. Mereka umumnya bisa menahan napas selama 1-2 menit per penyelaman dan bisa berada di laut hingga 7 jam sehari. Teknik ini memerlukan pelatihan dan pengalaman yang ekstensif untuk dikuasai, dengan anak perempuan biasanya mulai belajar berenang dan menyelam sejak usia 8 tahun dan melakukan debut sebagai haenyeo pada usia remaja.

Salah satu aspek penting dalam teknik menyelam haenyeo adalah sumbisori, sebuah teknik pernapasan yang telah dipraktikkan selama berabad-abad dan diwariskan dari generasi ke generasi. Teknik ini melibatkan pengeluaran cepat karbon dioksida yang terakumulasi dalam tubuh dan penghirupan cepat oksigen segar saat muncul ke permukaan. Sumbisori menghasilkan suara siulan khas yang sering digambarkan sebagai “hoowi hoowi” atau “hoi hoi,” yang memiliki berbagai fungsi. Fungsi tersebut antara lain membantu penyelam mengatur napas dan pulih dengan cepat di antara penyelaman, serta menjadi penanda lokasi akustik, memungkinkan para penyelam untuk berkomunikasi dengan sesama penyelam, terutama dalam kondisi penglihatan terbatas. Setiap sumbisori penyelam memiliki suara yang unik, bahkan menjadi tanda pengenal individu.

Teknik berenang yang digunakan haenyeo menekankan pada konservasi energi dan gerakan yang tepat. Mereka sering menggunakan gaya menyelam dengan kaki terlebih dahulu untuk penurunan cepat sambil tetap menjaga kendali dan meminimalkan hambatan di bawah air. Gerakan mereka halus dan terencana, dirancang untuk mengurangi gangguan di dalam air dan meminimalkan dampak pada lingkungan laut.

Seiring dengan bertambahnya pengalaman, penyelam haenyeo dikategorikan dalam tiga peringkat berdasarkan keterampilan mereka, yaitu hagun (peringkat rendah), junggun (peringkat menengah), dan sanggun (peringkat tinggi). Penyelam paling terampil, yang dikenal sebagai Daesanggun, tidak hanya unggul dalam memanen hasil laut, tetapi juga memiliki kemampuan untuk memprediksi kondisi cuaca dengan akurat berdasarkan pengetahuan luas mereka tentang laut.

Haenyeo di Pulau Jeju. Foto: username Own work (Wikipedia)

Pemahaman mendalam tentang ekosistem laut juga menjadi bagian dari teknik menyelam haenyeo. Mereka telah mengembangkan kemampuan untuk mengenali geografi laut, arus pasang yang berubah, dan habitat kehidupan laut. Pengetahuan ini memungkinkan haenyeo untuk memperkirakan proses pertumbuhan kehidupan laut musiman dan memanen sesuai kebutuhan, sehingga berkontribusi pada praktik penangkapan ikan yang berkelanjutan.

Meskipun profesi haenyeo memiliki tuntutan fisik yang berat dan risiko yang tinggi, seperti risiko tenggelam ataupun berhadapan dengan hewan laut yang berbahaya, banyak haenyeo terus menyelam hingga usia 70-an dan 80-an. Usia panjang ini menjadi bukti dari efektivitas teknik menyelam dan kekuatan dukungan dari komunitas haenyeo.

Haenyeo Pulau Jeju memegang signifikansi budaya yang sangat besar, mewakili masyarakat semi-matriarkal yang unik dan menggambarkan ketahanan serta kekuatan masyarakat Jeju. Selain memberikan kontribusi pada bidang ekonomi, peran haenyeo juga berdampak pada struktur sosial, tradisi, dan identitas dari Jeju.

Pada inti budaya haenyeo terdapat pembalikan peran gender tradisional, yang terutama terlihat dalam masyarakat semi-matriarkal Jeju. Dengan haenyeo sering menjadi pencari nafkah utama, para pria sering kali mengambil tanggung jawab domestik seperti mengasuh anak dan berbelanja. Pergeseran dalam dinamika keluarga ini menantang norma-norma Konfusianisme yang lazim di Korea saat itu. Di pulau-pulau kecil di lepas pantai Jeju, pembalikan peran gender ini bahkan lebih menonjol, karena laut menjadi satu-satunya sumber pendapatan.

Pengaruh haenyeo pada struktur sosial Jeju tercermin dalam adat istiadatnya yang unik. Berbeda dengan Semenanjung Korea, di Jeju pria harus membayar mas kawin kepada keluarga mempelai wanita, dan kelahiran anak perempuan dirayakan lebih meriah dibandingkan dengan anak laki-laki. Praktik-praktik ini menegaskan status wanita yang lebih tinggi dalam masyarakat Jeju, yang secara langsung terkait dengan kekuatan ekonomi dan pentingnya budaya haenyeo.

Namun, penting untuk dicatat bahwa meskipun beberapa elemen matriarkal lebih dominanl, pengaruh Konfusianisme masih tetap ada. Pria tetap mempertahankan peran kepemimpinan politik, melakukan upacara penghormatan leluhur, dan mewarisi properti serta garis keturunan keluarga. Ini menciptakan struktur sosial yang kompleks di mana haenyeo memiliki kekuatan ekonomi yang signifikan tetapi tetap tunduk pada batasan tertentu.

Haenyeo Museum, Jeju. Foto: VisitKorea

Komunitas haenyeo dicirikan oleh ikatan yang kuat dan struktur hierarki unik yang didasarkan pada keterampilan dan pengalaman. Penyelam dikategorikan ke dalam berbagai peringkat, dengan yang paling elit dikenal sebagai Daesanggun. Hierarki ini tidak hanya mengakui keahlian menyelam, tetapi juga mencakup peran kepemimpinan dan kemampuan untuk memprediksi pola cuaca yang penting untuk keselamatan penyelaman.

Pemberian pengetahuan dalam komunitas haenyeo mengikuti model magang tradisional. Penyelam berpengalaman bertindak sebagai mentor bagi para pemula, yang mengajarkan tentang teknik menyelam sekaligus memberikan wawasan tentang prinsip-prinsip kehidupan serta budaya dari komunitas haenyeo. Sistem transfer pengetahuan antargenerasi ini sangat penting dalam mempertahankan tradisi haenyeo dan menjaga ikatan komunitas.

Haenyeo telah memainkan peran penting dalam ekonomi Pulau Jeju selama berabad-abad, memberikan kontribusi yang signifikan bagi perdagangan lokal dan internasional. Hasil laut yang mereka kumpulkan, termasuk abalon, teripang, dan berbagai jenis rumput laut, telah membiayai pengeluaran penting keluarga mereka secara langsung, seperti untuk pendidikan, energi, pakaian, dan pajak. Nilai ekonomi sumber daya laut ini melonjak pada awal abad ke-20, terutama karena nilai perdagangan dan pasar mereka.

Pada tahun 2017, hasil perikanan haenyeo menghasilkan sekitar 90% dari semua ekspor kerang dari pulau tersebut, menunjukkan pentingnya industri tradisional ini bagi ekonomi Jeju. Selain itu, selama periode kolonial Jepang, banyak haenyeo menjadi penyelam migran, memperluas aktivitas mereka ke seluruh semenanjung Korea dan wilayah asing terdekat, termasuk Jepang, Tiongkok, dan Rusia. Perluasan ini tidak hanya meningkatkan pendapatan pribadi haenyeo saja, tetapi juga berkontribusi pada pengembangan ekonomi Jeju secara keseluruhan.

Saat ini, haenyeo menghadapi berbagai tantangan yang mengancam kelangsungan tradisi mereka yang telah berlangsung berabad-abad. Salah satu isu yang paling mendesak adalah populasi penyelam aktif yang semakin tua, dengan lebih dari 90% haenyeo sekarang berusia di atas 60 tahun. Perubahan demografi ini telah menyebabkan penurunan tajam jumlah penyelam, dari 14.143 penyelam pada tahun 1970 menjadi hanya 3.437 orang pada tahun 2021. Perubahan ekonomi dan pergeseran sosial membuat profesi ini kurang menarik bagi generasi muda, yang sering kali mencari karir alternatif dengan peluang yang lebih baik.

Selain itu, perubahan iklim dan degradasi lingkungan telah mempengaruhi ekosistem laut, mengurangi ketersediaan hasil laut dan membuat penyelaman lebih sulit serta kurang menguntungkan. Meskipun pemerintah telah berupaya untuk melestarikan tradisi ini melalui inisiatif seperti Sekolah Haenyeo, merekrut dan melatih penyelam baru masih sulit untuk dilakukan. Sifat dari profesi haenyeo yang menuntut ketahanan fisik dan berisiko tinggi, ditambah dengan diperlukannya ikatan komunitas yang kuat menjadi beberapa faktornya.

Meskipun demikian, budaya haenyeo terus dirayakan sebagai salah satu harta budaya paling berharga di Jeju. Pemerintah Korea telah menerapkan langkah-langkah untuk mendukung dan melestarikan budaya haenyeo, termasuk memberikan subsidi peralatan menyelam dan memberikan hak eksklusif untuk menjual hasil laut segar. Pendirian Museum Haenyeo lebih lanjut menunjukkan komitmen pemerintah untuk melestarikan dan memamerkan warisan budaya unik ini.

Dalam menghadapi berbagai tantangan modern, masa depan tradisi haenyeo bergantung pada kemampuan untuk menemukan keseimbangan antara mempertahankan praktik tradisional dan beradaptasi dengan kenyataan pada hari ini. Melalui pelestarian budaya, inisiatif pendidikan, dan pengakuan internasional, warisan haenyeo yang tak ternilai ini dapat terus menginspirasi generasi mendatang dan tetap menjadi bagian integral dari identitas dan kehidupan masyarakat Pulau Jeju.