Gunung Baekdu, atau dikenal juga sebagai Gunung Paektu di Korea dan Gunung Changbai di Tiongkok, adalah sebuah gunung berapi aktif yang terletak di perbatasan antara Tiongkok dan Korea Utara. Dengan ketinggian mencapai 2.744 meter, Baekdu merupakan gunung tertinggi di kawasan tersebut, sekaligus menjadi simbol penting baik dari sisi geologi, sejarah, maupun budaya. Dalam beberapa tahun terakhir, gunung ini menjadi sorotan dunia internasional karena perselisihan terkait pengakuan dan penamaannya di forum global seperti UNESCO.
Fitur Geologis dan Keunikan Gunung Baekdu
Secara geologis, Gunung Baekdu adalah sebuah stratovolcano aktif yang memiliki fitur alam yang sangat unik. Salah satu ciri yang paling mencolok adalah kaldera besar yang berada di puncaknya, dengan diameter sekitar lima kilometer dan kedalaman mencapai 850 meter. Di dalam kaldera tersebut terdapat Danau Surga (천지/天池), yang dianggap sebagai salah satu danau kawah terbesar di dunia. Selain menjadi salah satu daya tarik utama gunung, danau ini juga merupakan sumber dari tiga sungai besar di kawasan tersebut, yaitu Sungai Songhua, Tumen, dan Yalu.
Di sekitar kaldera, terdapat 16 puncak gunung yang menjulang tinggi, dengan ketinggian yang mencapai lebih dari 2.500 meter. Puncak tertinggi dari Gunung Baekdu dikenal dengan nama Puncak Janggun, yang sering kali tertutup salju selama delapan bulan dalam setahun. Lereng gunung ini relatif landai hingga mencapai ketinggian sekitar 1.800 meter, tetapi setelah itu, kemiringannya meningkat drastis, menambah kesan megah gunung ini.
Gunung Baekdu juga terus menunjukkan aktivitas vulkanik. Bagian tengah gunung mengalami kenaikan sekitar tiga milimeter per tahun akibat peningkatan level magma di bawahnya. Sejarah geologisnya juga mencatat beberapa letusan besar, termasuk letusan-letusan bertipe Plinian yang terjadi sekitar 448.000, 67.600, 85.800, dan 24.500 tahun yang lalu. Keanekaragaman jenis batuan dan mineral di Gunung Baekdu, mulai dari lava basaltik hingga lava trakitik, menambah nilai ilmiah gunung ini, menjadikannya subjek penelitian geologi yang penting.
Signifikansi Budaya dan Sejarah Gunung Baekdu
Bagi masyarakat Korea dan Manchuria, Gunung Baekdu lebih dari sekadar fenomena alam. Gunung ini dianggap sebagai tanah leluhur yang sakral, penuh dengan mitos dan legenda yang memperkaya sejarah dan identitas budaya mereka. Nama “Baekdusan” sendiri berarti “gunung berkepala putih”, yang merujuk pada puncaknya yang sering tertutup salju sepanjang tahun.
Gunung Baekdu pertama kali muncul dalam dalam catatan sejarah pada tahun 991 Masehi, tepatnya dalam Goryeosa, sebuah teks sejarah dari periode awal Joseon. Dalam periode dinasti ini, Baekdu juga berfungsi sebagai batas alam yang penting. Raja Sejong, salah satu raja besar dari dinasti tersebut, memperkuat pertahanan di sekitar Sungai Tumen dan Yalu yang bersumber dari Baekdu pada abad ke-15.
Selain berperan sebagai batas wilayah, Gunung Baekdu juga memiliki makna simbolis dalam lagu kebangsaan Korea Selatan dan Korea Utara. Bahkan, dalam lagu rakyat Korea “Arirang”, gunung ini turut disebut, menunjukkan bagaimana gunung tersebut telah lama menjadi simbol kebanggaan nasional yang melampaui perbatasan politik.
Namun, hubungan antara Tiongkok dan Korea terkait Gunung Baekdu sering kali penuh dengan ketegangan. Ada klaim dari beberapa warga Korea bahwa wilayah di sekitar gunung tersebut seharusnya menjadi bagian dari Korea. Klaim ini terkait dengan sejarah penjajahan Jepang dan perjanjian yang dibuat pada masa itu, yang menurut sebagian pihak memberikan wilayah tersebut kepada Tiongkok secara tidak sah. Meskipun demikian, Gunung Baekdu tetap menjadi sumber inspirasi dan kebanggaan bagi masyarakat Korea hingga saat ini.
Mitos dan Legenda Gunung Baekdu
Gunung Baekdu juga memiliki tempat istimewa dalam mitologi dan legenda Korea. Salah satu mitos yang paling terkenal adalah cerita tentang Dangun, pendiri legenda kerajaan Gojoseon. Menurut mitos ini, Dangun lahir di Gunung Baekdu, sebagai putra dari Hwanung, seorang dewa dari surga, dan Ungnyeo, seorang wanita yang sebelumnya adalah seekor beruang yang berubah wujud menjadi manusia setelah melewati serangkaian ujian.
Selain itu, ada legenda lain yang menggambarkan Gunung Baekdu sebagai tempat yang selamat dari banjir besar. Tokoh utama dari legenda ini, Namu Doryeong, adalah putra roh pohon salam yang menyelamatkan berbagai makhluk hidup setelah banjir tersebut. Meskipun tampak fantastis, kisah-kisah ini tetap memiliki kekuatan simbolis yang kental, semakin menguatkan status Gunung Baekdu sebagai tempat yang penting dan sakral dalam budaya Korea.
Tak hanya dalam budaya Korea, Gunung Baekdu juga memiliki signifikansi dalam mitologi Manchu. Klan Aisin Gioro, yang mendirikan Dinasti Qing di Tiongkok, mengklaim bahwa leluhur mereka dikandung di dekat Gunung Baekdu.
Dalam budaya kontemporer Korea, terutama di Korea Utara, Gunung Baekdu juga berfungsi sebagai simbol revolusi. Tradisi ini dimulai dengan karya sastra epik “Baekdusan” karya Cho Gi-cheon pada tahun 1947, yang menggambarkan gunung tersebut sebagai tempat mistis di mana Kim Il-sung, pemimpin revolusi anti-Jepang, mendapatkan inspirasinya. Penggunaan simbolisme Gunung Baekdu dalam literatur dan propaganda politik Korea Utara ini masih bertahan hingga saat ini, memperkuat status gunung tersebut dalam konteks sejarah modern.
Kontroversi Pengakuan Internasional
Gunung Baekdu juga menjadi pusat dari sebuah kontroversi internasional terkait dengan pengakuan dan penamaannya. Baru-baru ini, Tiongkok mengajukan permohonan kepada UNESCO untuk mendaftarkan Gunung Baekdu sebagai UNESCO World Geopark dengan nama “Changbai Mountain”. Permohonan Tiongkok ini dibahas pada pertemuan Komite Eksekutif UNESCO pada April 2023.
Jika disetujui, gunung tersebut akan resmi diakui sebagai dengan nama “Changbai Mountain” sesuai dengan usulan. Namun, akademisi di Korea khawatir bahwa hal ini akan memperkuat teori budaya Changbai Mountain yang dianggap sebagai kelanjutan dari upaya Tiongkok untuk mengklaim sejarah Korea, khususnya dari kerajaan Goguryeo dan Balhae, sebagai bagian dari sejarah Tiongkok.
Isu ini mempertegas bagaimana sebuah landmark alam seperti Gunung Baekdu bisa menjadi pusat dari perdebatan geopolitik yang kompleks. Terletak di perbatasan antara Tiongkok dan Korea Utara, gunung ini menjadi simbol dari klaim budaya dan historis yang saling bertentangan antara kedua negara.
Gunung Baekdu dalam Budaya Populer
Selain menjadi objek studi geologi dan simbol budaya yang penting, Gunung Baekdu juga sering muncul dalam produk budaya populer. Salah satu contoh yang paling terkenal adalah film Korea berjudul “Ashfall” (2019).
Film ini menggambarkan skenario hipotetis tentang letusan dahsyat Gunung Baekdu dan upaya untuk mencegah kehancuran lebih lanjut. Film ini sukses besar secara komersial, dan menjadi salah satu cara Gunung Baekdu dikenalkan kepada generasi baru melalui medium populer.
Gunung Baekdu tetap menjadi fenomena dan lokasi yang menarik di berbagai bidang, mulai dari geologi hingga budaya dan politik. Keunikan alamnya, signifikansi historisnya, serta berbagai mitos dan kontroversi yang melingkupinya menjadikan gunung ini sebagai salah satu landmark paling ikonik di Asia Timur.