Baekjeong: Sejarah dan Perjuangan untuk Kesetaraan

on in Culture, History
Penari topeng memerankan seorang baekjeong. Foto: Jordi Sanchez Teruel

Istilah “백정” (baekjeong) menyimpan sejarah panjang dan kompleks dalam masyarakat Korea. Berawal dari sebutan bagi petani biasa pada masa Goryeo, istilah ini kemudian mengalami pergeseran makna menjadi identitas kelompok yang terpinggirkan pada era Joseon. Melalui penelusuran sejarah sosial ini, kita dapat memahami bagaimana diskriminasi terbentuk, dilembagakan, dan kemudian diperjuangkan.

Pada masa Goryeo (918–1392), “백정” (baekjong) merujuk pada petani biasa yang tidak memiliki tugas resmi negara seperti wajib militer atau tugas pos. Istilah ini tersusun dari dua karakter, yaitu “백(白)” yang berarti “tanpa” atau “tidak,” dan “정(丁)” yang merujuk pada “kewajiban sipil.” Gabungan keduanya berarti “orang tanpa tugas negara.”

Ilustrasi lahan pertanian. Foto: Jake Gard (Unsplash)

Namun, pada masa Joseon (1392–1910), makna istilah ini berubah drastis. “Baekjeong” mulai diasosiasikan dengan pekerjaan penyembelihan hewan dan pengolahan kulit—profesi yang dianggap rendah dan kotor dalam pandangan Konfusianisme.

Pergeseran makna ini menandai perubahan besar dalam persepsi sosial terhadap profesi tertentu dan menjadi salah satu contoh paling nyata tentang bagaimana label sosial dapat mengalami transformasi dan digunakan untuk menyingkirkan kelompok tertentu.

Perubahan besar terjadi pada tahun 1423 di bawah pemerintahan Raja Sejong. Pemerintah mencoba memasukkan kelompok-kelompok pengembara seperti “재인” (jaein) dan “화척” (hwacheok) ke dalam struktur sosial dengan mengklasifikasikan mereka sebagai “baekjeong.” Mereka disebut sebagai “신백정” (Baekjeong Baru) untuk membedakannya dari makna yang lama. Tujuan resmi kebijakan ini adalah untuk menetapkan mereka sebagai petani demi kepentingan fiskal dan stabilitas sosial.

Namun, upaya ini berbalik arah. Alih-alih mengintegrasikan mereka, masyarakat umum menolak penyamaan ini dan tetap menggunakan “신백정” sebagai istilah bernada merendahkan. Akibatnya, makna “baekjeong” terpatri sebagai profesi yang dianggap tidak murni dan hina.

Beberapa catatan sejarah menunjukkan bahwa kelompok baekjeong masa Joseon kemungkinan berasal dari suku-suku nomaden yang bermigrasi ke Semenanjung Korea pada masa Goryeo. Mereka disebut sebagai “양수척” atau “달단,” yang mungkin merujuk pada suku Tatar, Jurchen, atau Khitan.

Karena gaya hidup mereka yang berpindah-pindah dan tidak bertani seperti masyarakat agraris pada umumnya, kelompok ini dinilai berbeda dan sulit diintegrasikan. Dalam masyarakat yang memuja stabilitas dan keseragaman, perbedaan latar belakang budaya dan ekonomi ini menjadi alasan tambahan untuk menempatkan baekjeong sebagai “orang luar.”

Ilustrasi suku nomaden Mongolia. Foto: Al Jazeera English

Pembedaan antara masyarakat umum dan baekjeong tidak hanya didasarkan pada ekonomi ataupun profesi saja, tetapi juga dibedakan dari standar moral dan budaya. Dalam proses ini, identitas baekjeong mengalami semacam “rasialisasi” yang menjadikan mereka kelompok yang tidak hanya dilihat berbeda, tapi juga ditempatkan secara permanen di luar sistem sosial yang mapan.

Pada masa Joseon, baekjeong terutama bekerja sebagai penyembelih hewan—sapi, babi, dan anjing—serta mengolah kulit menjadi barang-barang rumah tangga. Dalam pandangan Neo-Konfusianisme, pekerjaan ini dianggap rendah karena berkaitan dengan kematian dan darah. Penyembelihan sapi, khususnya, dianggap tabu karena sapi sangat dihargai sebagai alat pertanian.

Sebagian dari mereka juga bekerja sebagai perajin anyaman dan disebut “고리백정” atau baekjeong pembuat keranjang. Selain itu, mereka hidup dari berburu, mengumpulkan hasil hutan, serta mengolah kulit hewan.

Ilustrasi pengolah kulit hewan. Gambar: Public domain

Baekjeong tinggal di daerah terpisah dari permukiman utama. Pemisahan ini diperkuat oleh kebijakan resmi dan juga norma sosial. Mereka tidak diizinkan tinggal di tengah desa dan sering kali hidup secara semi-nomaden sebelum akhirnya dipaksa untuk menetap oleh pemerintah. Masyarakat umum cenderung mengasosiasikan gaya hidup berpindah-pindah dengan kriminalitas, dan stereotipe ini menambah beban diskriminasi yang sudah mereka alami dari sisi pekerjaan serta asal usul.

Dalam sistem kasta sosial Joseon, baekjeong termasuk dalam kelompok “천민” (cheonmin), yaitu kasta rendah. Namun, bahkan di antara kasta rendah sekalipun, mereka berada di posisi yang paling bawah. Selain dibatasi dalam pekerjaan, baekjeong juga tidak mendapatkan pengakuan sosial.

Diskriminasi terhadap baekjeong sangat sistematis. Laki-laki tidak diizinkan memakai sangtu (sanggul lelaki) dan perempuan tidak boleh memakai binyeo (peniti rambut) setelah menikah—dua simbol status dalam masyarakat Korea pada era Joseon.

Binyeo. Foto: Public domain

Dalam percakapan, mereka diwajibkan menggunakan bahasa hormat kepada siapa pun dari kalangan rakyat biasa, termasuk kepada yang lebih muda. Anak-anak mereka dijauhi di sekolah, dan jika mereka mencoba masuk sekolah umum, para orang tua dari anak-anak lain akan melakukan boikot. Bahkan dalam kematian, mereka tidak diizinkan dimakamkan di tempat umum. Upacara pemakaman dan tempat kubur mereka dibuat terpisah.

Pemerintah Joseon mendata baekjeong secara terpisah dalam sensus, mencatat kelahiran, kematian, dan perpindahan mereka. Jika mereka bepergian, mereka wajib membawa surat izin, membatasi pergerakan mereka secara ketat.

Kode hukum negara seperti Gyeongguk Daejeon menyebutkan secara eksplisit tentang pengelolaan kelompok ini, menunjukkan bahwa diskriminasi tidak hanya berupa norma sosial, tetapi dilembagakan secara hukum.

Patung Raja Sejong di Yeouido Park. Foto: KOREA.net (Republic of Korea)

Beberapa raja, termasuk Raja Sejong, mencoba untuk mengintegrasikan kelompok ini. Namun, tujuan utama reformasi itu lebih kepada pengawasan dan pemanfaatan tenaga kerja, bukan penghapusan diskriminasi. Kebijakan integrasi tetap mengandung logika kontrol dan tidak pernah benar-benar membongkar sistem kasta yang ada.

Reformasi Gabo tahun 1894 secara resmi menghapus sistem kasta dan status baekjeong. Namun dalam praktiknya, diskriminasi tetap berlangsung hingga abad ke-20. Pada masa penjajahan Jepang (1910–1945), mereka masih dicatat sebagai “도한” (tukang jagal) dalam registrasi pemerintah. Artinya, walaupun status hukum mereka sudah dihapus, identitas sosial sebagai kelompok terpinggirkan tetap melekat.

Sekitar tahun 1923 di Jinju, seorang pria baekjeong dipukuli hingga tewas karena menolak menyembelih anjing ketika diperintah oleh pemuda lokal. Polisi kolonial Jepang tidak menindak pelaku, menunjukkan bagaimana diskriminasi terhadap baekjeong dibiarkan tanpa sanksi. Insiden seperti ini mendorong kesadaran kolektif di kalangan baekjeong bahwa reformasi hukum tidak cukup jika tidak dibarengi dengan penerimaan sosial.

Pada April 1923, kelompok baekjeong mendirikan Hyeongpyeongsa (형평사) atau “Perkumpulan Kesetaraan” di Jinju, Gyeongsang Selatan. Gerakan ini menjadi simbol perjuangan hak sipil pertama dalam sejarah Korea modern. Uniknya, organisasi ini didukung juga oleh beberapa anggota kelas atas, termasuk Kang Sang-ho dari keluarga bangsawan yang ikut mengadopsi anak-anak baekjeong agar bisa bersekolah.

Hyeongpyeongsa memperjuangkan penghapusan istilah diskriminatif, akses pendidikan yang setara, kebebasan memilih pekerjaan, dan integrasi sosial. Slogannya, “Baekjeong, bersatulah!”, menandakan tekad kuat untuk melawan sistem sosial yang menindas. Meskipun menghadapi tekanan dan tantangan besar, gerakan ini menorehkan jejak penting dalam sejarah perjuangan kesetaraan di Korea.

Sejarah baekjeong menunjukkan bagaimana suatu kelompok dapat terpinggirkan karena konstruksi sosial, stigma pekerjaan, dan politik diskriminasi yang dilembagakan. Namun, sejarah ini juga menunjukkan bahwa perjuangan kolektif dapat mengubah nasib, seperti yang ditunjukkan oleh gerakan Hyeongpyeongsa.

Kini, diskriminasi terhadap keturunan baekjeong nyaris tidak ditemukan lagi secara terbuka. Namun, kisah mereka tetap penting untuk diingat sebagai bagian dari pelajaran kolektif bahwa status sosial bukanlah kodrat, dan bahwa kesetaraan membutuhkan usaha berkelanjutan, bukan hanya kebijakan hukum.