
Gerakan 1 Maret 1919 menandai momen penting dalam perjuangan Korea untuk merdeka dari penjajahan Jepang. Gerakan ini memicu serangkaian protes damai yang menyebar ke seluruh negeri, membentuk perjuangan bangsa untuk kedaulatan dan identitas nasional selama beberapa dekade berikutnya.
Latar Belakang
Ketidakpuasan terhadap pemerintahan kolonial Jepang, yang dimulai pada tahun 1910, telah mendidih di kalangan rakyat Korea selama bertahun-tahun. Kebijakan asimilasi budaya dan eksploitasi ekonomi yang keras semakin meningkatkan kebencian ini.
Peristiwa global seperti Perang Dunia I dan prinsip penentuan nasib sendiri dari Presiden AS Woodrow Wilson memberikan harapan untuk perubahan. Kematian mantan Kaisar Gojong pada Januari 1919, yang dikabarkan diracun oleh pihak Jepang, semakin memicu semangat rakyat Korea. Kombinasi antara faktor-faktor ini, ditambah dengan pengaruh siswa Korea yang menempuh pendidikan di Barat dan meningkatnya sentimen nasionalis, menciptakan kondisi untuk pemberontakan besar melawan pendudukan Jepang.
Deklarasi Kemerdekaan
Pada 1 Maret 1919, 33 pemimpin budaya dan pemuka agama Korea berkumpul di Seoul untuk membacakan Deklarasi Kemerdekaan Korea. Dokumen ini, terinspirasi oleh cita-cita Amerika dan Poin Empat Belas dari Presiden Wilson, menegaskan hak Korea untuk menentukan nasib sendiri dan menyerukan diakhirinya pemerintahan kolonial Jepang. Deklarasi ini dibacakan serentak di berbagai lokasi di seluruh negeri, memicu demonstrasi luas dan menandai awal resmi Gerakan 1 Maret.
Penandatangan Deklarasi
Deklarasi Kemerdekaan Korea yang disusun pada tahun 1919 ditandatangani oleh 33 pemimpin budaya dan pemuka agama terkemuka yang mewakili berbagai kepercayaan dan latar belakang. Deklarasi ini ditandatangani oleh pengikut kepercayaan Metodis, Presbiterian, Buddha, dan pengikut Chondogyo, agama asli Korea. Keberagaman agama dari para penandatangan ini penting dalam menyatukan orang Korea dari berbagai kalangan untuk tujuan bersama, yaitu kemerdekaan.
Salah satu penandatangan yang terkenal adalah Han Yong-un, seorang pemimpin Buddha yang menyusun dan menambahkan “Tiga Janji Terbuka” pada Deklarasi. Keberagaman agama ini memastikan bahwa demonstrasi tetap bersifat non-anarkis dan memiliki otoritas moral yang mendalam bagi rakyat Korea.
Signifikansi dan Warisan
Dampak dari gerakan ini bergema jauh melampaui tujuan utamanya. Deklarasi ini juga berhasil memperkuat identitas nasional dan persatuan Korea. Gerakan ini mengarah pada pembentukan Pemerintah Sementara Korea di Shanghai, yang terus berjuang hingga kemerdekaan tercapai. Tanggal 1 Maret sekarang diperingati sebagai hari libur nasional di Korea Utara dan Korea Selatan, melambangkan semangat perlawanan dan patriotisme yang abadi.
Peran Wanita dalam Gerakan 1 Maret
Wanita memainkan peran penting yang sering kali terabaikan dalam Gerakan 1 Maret, menunjukkan keberanian dan kepemimpinan yang luar biasa dalam perjuangan kemerdekaan Korea. Wanita muda, terutama siswi, berada di garis terdepan dari gerakan demonstrasi.
Salah satu tokoh paling ikonik dari gerakan ini adalah Yu Gwansun, seorang siswi berusia 16 tahun yang mengorganisir demonstrasi dan terus melawan bahkan setelah dipenjara dan disiksa. Kata-kata Yu yang terkenal, “Bahkan jika kuku saya dicabut, hidung dan telinga saya dicabik, dan kaki serta tangan saya dihancurkan, rasa sakit fisik ini tidak sebanding dengan rasa sakit kehilangan negara saya,” menggambarkan tekad dan pengorbanan para peserta wanita. Keterlibatan wanita dalam Gerakan 1 Maret tidak hanya berkontribusi pada perjuangan kemerdekaan saja, tetapi juga menantang peran gender tradisional dalam masyarakat Korea.
Protes Nasional dan Respons Jepang
Demonstrasi damai dengan cepat menyebar ke seluruh Korea, dengan perkiraan 2 juta orang berpartisipasi di lebih dari 1.500 protes di seluruh negeri. Para demonstran mengibarkan bendera Korea dan berteriak “Manse!” (Hidup kemerdekaan Korea!). Otoritas Jepang menanggapi dengan kekuatan brutal, mengakibatkan sekitar 7.000 warga Korea tewas, 16.000 terluka, dan 46.000 orang ditangkap. Gereja, sekolah, dan rumah-rumah dihancurkan dalam tindakan keras ini.
Dampak pada Budaya dan Seni Korea
Gerakan 1 Maret memiliki dampak mendalam pada budaya dan seni Korea, menginspirasi gelombang ekspresi nasionalis dan kebangkitan budaya. Setelah gerakan ini muncul, terjadi lonjakan karya sastra, lukisan, dan musik yang merayakan identitas Korea dan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial. Banyak seniman dan penulis menggunakan keterampilan mereka untuk melestarikan dan mempromosikan bahasa dan tradisi Korea yang terancam oleh kebijakan asimilasi Jepang.
Gerakan ini juga memengaruhi perkembangan sastra modern Korea, dengan penulis seperti Yi Kwang-su dan Kim Dong-in menciptakan novel dan cerita pendek yang mencerminkan semangat kemerdekaan dan kesadaran nasional yang dibangkitkan oleh aksi ini. Selain itu, bentuk seni tradisional Korea juga mengalami kebangkitan sebagai sarana pelestarian budaya dan perlawanan.
Peringatan Gerakan 1 Maret
Gerakan 1 Maret diperingati setiap tahunnya di Korea Selatan dan di kalangan komunitas diaspora Korea di seluruh dunia. Di Korea Selatan, tanggal 1 Maret dirayakan sebagai hari libur nasional yang disebut “Samiljeol” (삼일절), dengan upacara publik, acara pengibaran bendera, dan program pendidikan. Peringatan ini biasanya melibatkan pembacaan deklarasi kemerdekaan, pidato, musik nasionalis, dan tampilan bendera Korea (taegeukgi). Secara internasional, komunitas Korea di berbagai negara, termasuk Brasil, Mongolia, Kuwait, Taiwan, dan Amerika Serikat, mengadakan acara untuk menghormati warisan gerakan ini. Di beberapa tempat, seperti Mérida, Meksiko, mengadakan perayaan dengan pentas ulang pembacaan deklarasi dan pawai publik.
Jalan Kemerdekaan di Daegu
Jalan Gerakan Kemerdekaan 1 Maret di Daegu adalah situs sejarah penting yang terletak di Dosan-dong, Jung-gu. Jalan berbukit ini memiliki 90 anak tangga yang mengarah ke Katedral Gyesan, di mana lokasi ini memainkan peran penting dalam Gerakan Kemerdekaan 1 Maret 1919.
Pada tanggal 8 Maret 1919, siswa dari berbagai sekolah menengah setempat berkumpul secara rahasia dan berunjuk rasa di jalan ini, yang saat itu merupakan hutan pinus, sebagai bagian dari protes nasional melawan pemerintahan kolonial Jepang. Saat ini, jalan ini berfungsi sebagai tempat peringatan, dengan dindingnya dihiasi gambar dari gerakan kemerdekaan dan bendera Korea.
Gerakan 1 Maret 1919 berdiri sebagai momen penting dalam sejarah Korea, menggalang semangat nasional untuk kemerdekaan dan membentuk identitasnya saat ini. Meskipun ditekan oleh otoritas Jepang, yang mengakibatkan banyak korban berjatuhan, dampak dari gerakan ini sangat luas dan mendalam.
Gerakan ini memperkuat persatuan nasional, mengarah pada pembentukan Pemerintah Sementara Korea di Shanghai, dan menarik perhatian internasional pada penderitaan Korea. Warisan gerakan ini terus beresonansi, dengan 1 Maret diperingati sebagai hari libur nasional di Korea Utara dan Korea Selatan. Gerakan 1 Maret tetap menjadi simbol kuat dari ketahanan, patriotisme, dan perjuangan abadi Korea untuk menentukan nasib sendiri.