Islam di Korea memiliki sejarah yang panjang, dimulai dari kontak perdagangan awal, masa kemunduran, hingga kebangkitan kembali di era modern. Dari kedatangan pedagang Arab dan Persia pada masa Silla Bersatu hingga pengenalan kembali oleh tentara Turki setelah Perang Korea, kehadiran Islam di Korea berkembang seiring dengan perubahan politik dan sosial di semenanjung tersebut.
Kehadiran Awal Islam
Kehadiran Islam di Korea dapat ditelusuri kembali ke abad ke-7 hingga ke-10 pada masa Silla Bersatu, ketika pedagang dari Arab dan Persia mencapai Semenanjung Korea melalui jalur maritim Jalur Sutra. Para pedagang Muslim tertarik oleh sumber daya alam Korea yang melimpah, terutama emas.
Beberapa pedagang bahkan memilih untuk menetap secara permanen, mendirikan komunitas Muslim kecil. Catatan tertulis tertua tentang Muslim di Korea berasal dari Ibn Khurdadzbih, geografer asal Persia abad ke-9, yang menggambarkan pemukiman Muslim, rute perdagangan, dan barang-barang yang diperdagangkan di wilayah yang saat itu dikenal sebagai “Silla”.
Pengaruh Jalur Sutra
Jalur Sutra memainkan peran penting dalam menjalin hubungan awal antara Korea dan dunia Islam, memfasilitasi pertukaran budaya dan perdagangan selama lebih dari seribu tahun. Sejak abad ke-7, pedagang Muslim dari Timur Tengah dan Asia Tengah melakukan perjalanan ke Semenanjung Korea melalui rute darat dan laut dari Jalur Sutra, menjalin hubungan dagang dan kontak budaya. Interaksi ini membawa pengaruh Islam ke Korea, termasuk kemajuan dalam astronomi, kedokteran, ilmu kalender, arsitektur, dan persenjataan. Pertukaran ini berlangsung hingga awal abad ke-15.
Perkembangan Era Dinasti
Selama Dinasti Goryeo (918-1392), kehadiran Muslim di Korea semakin intensif. Sebuah misi dagang besar yang terdiri dari 100 pedagang Arab tiba pada tahun 1024, menandai momen penting dalam hubungan Korea-Muslim. Invasi Mongol pada abad ke-13 semakin memfasilitasi masuknya Muslim, dengan Muslim Asia Tengah, terutama Uyghur, berperan sebagai perantara antara penguasa Mongol dan pejabat Korea.
Namun pada Dinasti Joseon (1392-1910), pengaruh Islam di Korea mengalami penurunan. Pada tahun 1427, Raja Sejong mengeluarkan dekrit yang melarang praktik dan pakaian Islam, yang menyebabkan asimilasi bertahap Muslim ke dalam masyarakat Korea. Pada abad ke-16, kehadiran Islam sebagian besar menghilang dari Semenanjung Korea, meskipun beberapa pengaruh budaya dan ilmu yang dipelajari tetap bertahan.
Dekrit Raja Sejong dan Dampaknya
Pada tahun 1427, Raja Sejong dari Joseon mengeluarkan dekrit yang berdampak signifikan pada komunitas Muslim di Korea. Edaran tersebut melarang ekspresi dan adat budaya Islam, memaksa Muslim untuk meninggalkan penutup kepala tradisional mereka, menutup masjid mereka di Kaesong, dan beribadah seperti orang Korea lainnya.
Kebijakan ini bertujuan menghapus tanda-tanda identitas Muslim yang terlihat di Semenanjung Korea, mencerminkan penekanan Dinasti Joseon pada ideologi Konfusianisme dan keinginan untuk homogenitas budaya. Akibatnya, komunitas Muslim di Korea dengan cepat menurun, tanpa ada lagi catatan tentang Muslim dalam catatan sejarah selama sisa era Joseon.
Kebangkitan Abad ke-20
Pengenalan kembali Islam ke Korea pada abad ke-20 difasilitasi oleh tentara Turki yang berpartisipasi dalam Perang Korea (1950-1953) di bawah komando PBB. Tentara ini tidak hanya terlibat dalam pertempuran, tetapi juga melakukan kegiatan kemanusiaan dan mulai menyebarkan Islam kepada orang Korea.
Ini menjadi titik awal dari pendirian masjid pertama di Korea Selatan pada tahun 1955 oleh para mualaf dan pembentukan Korea Muslim Society, yang kemudian berkembang menjadi Korea Muslim Federation (KMF) pada tahun 1967. Didorong oleh hubungan ekonomi dengan negara-negara Arab, Islam mengalami pertumbuhan signifikan pada tahun 1970-an.
Hubungan Ekonomi dan Islam
Setelah Perang Korea, hubungan ekonomi Korea Selatan dengan negara-negara Muslim, terutama di Timur Tengah, berkembang pesat dan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap komunitas Muslim di Korea. Pada tahun 1970-an, industrialisasi cepat Korea Selatan menyebabkan peningkatan permintaan energi, menjadikan negara-negara Arab yang kaya akan minyak sebagai mitra yang tak ternilai.
Hubungan ekonomi ini meluas, dengan perusahaan-perusahaan Korea mendapatkan kontrak konstruksi besar di Timur Tengah. Hubungan ekonomi yang diperkuat ini berdampak besar pada Islam di Korea. Seiring meningkatnya keterlibatan Korea Selatan dengan negara-negara Muslim, demikian pula visibilitas dan penerimaan Islam dalam masyarakat Korea.
Pertengahan tahun 1970-an menjadi periode perkembangan pesat untuk Islam di Korea, dengan negara-negara Arab kaya minyak memberikan bantuan besar kepada Muslim Korea.
Dukungan ini berpuncak pada pembangunan Masjid Pusat Seoul dan Pusat Islam pada tahun 1976, yang menjadi simbol kerja sama Korea-Muslim. Hubungan ekonomi yang semakin kuat juga memfasilitasi pertukaran budaya, berkontribusi pada pemahaman yang lebih mendalam tentang Islam di kalangan orang Korea dan menyediakan sumber daya untuk pengembangan institusi dan praktik Islam di dalam negeri Korea.
Komunitas Muslim Masa Kini
Saat ini, populasi Muslim di Korea Selatan diperkirakan sekitar 200.000 orang, dengan sekitar 35.000 orang di antaranya adalah orang Korea asli. Komunitas ini terpusat di Seoul dan Busan, dengan lebih dari 20 masjid di seluruh negeri. KMF memainkan peran penting dalam mendukung komunitas ini, mengawasi Korean Muslim Students Association dan Korea Institute for Islamic Culture.
KMF juga menyediakan sertifikasi halal untuk restoran dan bisnis, dengan 14 restoran bersertifikat KMF-halal pada tahun 2018. Meskipun mengalami perkembangan, Muslim di Korea menghadapi tantangan termasuk integrasi sosial dan kesalahpahaman tentang Islam, terutama setelah peristiwa global seperti serangan 11 September.
Islamofobia di Korea Pasca-9/11
Islamofobia di Korea Selatan meningkat setelah serangan 11 September 2001, meskipun populasi Muslim di negara ini relatif kecil. Kenaikan sentimen anti-Muslim global pasca-9/11 memengaruhi persepsi orang Korea, dan semakin diperburuk oleh representasi media dan wacana keamanan.
Fenomena ini semakin diperparah oleh insiden seperti penculikan warga Korea oleh Taliban di Afghanistan pada tahun 2007 dan serangkaian serangan teroris yang terinspirasi oleh ISIS sejak tahun 2014. Sekuritisasi Islam dalam politik Korea pun turut berkontribusi pada penyebaran citra negatif Islam, dengan politisi konservatif dan kelompok masyarakat sering memanfaatkan isu-isu terkait ISIS untuk memicu sentimen Islamofobia.
Platform online, terutama media sosial seperti Twitter, telah menjadi tempat penyebaran sikap anti-Muslim. Meskipun kehadiran Muslim sudah terlihat di Korea Selatan sejak lama, perdebatan tentang potensi ancaman keamanan dan budaya yang ditimbulkan oleh Muslim tetap ada.
Perjalanan Islam di Korea
Sejarah Islam di Korea mencerminkan interaksi kompleks pertukaran budaya, hubungan ekonomi, dan pergeseran sosial yang berlangsung selama lebih dari seribu tahun.
Dari kontak perdagangan awal sepanjang Jalur Sutra hingga kemitraan ekonomi modern dengan negara-negara Muslim, kehadiran Islam di Korea berfluktuasi seiring perubahan lanskap politik dan sosial. Meskipun ada periode kemunduran, seperti pada era Dinasti Joseon, Islam muncul kembali pada abad ke-20 melalui tentara Turki selama Perang Korea dan hubungan ekonomi berikutnya dengan negara-negara Timur Tengah menjadikan Islam kembali berkembang.
Di era modern, meskipun komunitas Muslim di Korea menghadapi tantangan termasuk integrasi dan kesalahpahaman, terutama setelah peristiwa global seperti 9/11, komunitas ini terus tumbuh dan berkontribusi pada keragaman budaya Korea. Hubungan antara Korea dan dunia Islam menekankan pentingnya memupuk pemahaman bersama dan dialog budaya dalam masyarakat global yang semakin terhubung.