Drama When Life Gives You Tangerines dan Pulau Jeju

on in Entertainment

Pada 7 Maret 2025, sebuah drama berjudul “폭싹 속았수다”, atau dikenal juga dengan judul “When Life Gives You Tangerines” tayang di Netflix. Berlatarkan di Jeju pada tahun 1950-an, karya ini menyoroti kehidupan dua tokoh utama, yaitu Ae-soon dan Gwan-sik, dalam rangkaian peristiwa yang berlangsung selama empat musim.

Dengan latar pulau yang kerap dianggap unik karena adat, bahasa, dan sejarahnya, drama ini menghadirkan gambaran tentang Jeju yang berbeda dari wilayah lainnya di Korea. Keistimewaan ini dapat dilihat melalui penggunaan dialek lokal, pendekatan cerita berdasarkan pergantian musim, dan perjalanan karakter yang mencerminkan transisi sosial di Jeju.

Salah satu ciri khas dari dialek Jejueo adalah bunyi konsonan yang lembut dan vokal yang khas. Penuturnya memakai kosakata yang dipengaruhi oleh bahasa Korea Lama, namun memiliki sistem tingkat kesopanan yang lebih sedikit daripada bahasa Korea standar. Hal ini berkaitan dengan struktur sosial Jeju yang tidak begitu terikat dengan ajaran konfusius.

Di masa lalu, penggunaan dialek ini dihadapi dengan stigma negatif, yang menyebabkan banyak penduduk Jeju enggan menggunakannya di luar pulau. Namun, sejumlah survei memperlihatkan adanya peningkatan rasa bangga terhadap Jejueo. Upaya pelestarian bahasa pun terus berlangsung, meskipun generasi muda terkadang lebih nyaman menggunakan bahasa Korea standar. Akan tetapi, fakta bahwa kosakata Jejueo menyimpan kekayaan tradisi menegaskan pentingnya pelestarian dialek ini agar tidak punah.

Jejueo menawarkan beragam ungkapan yang mencerminkan kehidupan di pulau tersebut. Salah satu contohnya adalah kalimat “쉬 먹엉 살암수다,” atau “hidup seakan hanya mengandalkan angin laut,” yang bermakna “hidup tanpa perlu bekerja keras.”

Ada pula ungkapan yang mengibaratkan kesulitan hidup di ladang berbatu, mengungkapkan rintangan yang kerap dijumpai saat mengolah lahan. Terdapat juga ungkapan yang merujuk kepada para haenyeo, penyelam perempuan yang bertahan hidup dengan cara menyelam demi mengumpulkan hasil laut. Keseluruhan idiom ini menjadi bagian penting dari budaya lisan yang berkembang seiring dengan berubahnya zaman.

Pulau Jeju memunculkan identitasnya yang kuat melalui kombinasi bahasa, cerita rakyat, dan struktur masyarakat yang tidak sepenuhnya sama dengan Korea daratan. Kepercayaan, legenda, dan praktik sosial lokal tumbuh sejalan dengan sejarah isolasi dari pulau ini. Masyarakat Jeju memiliki rasa persatuan yang kental, didukung oleh berbagai tradisi yang mengutamakan kekerabatan.

Salah satu keunikan dari drama “When Life Gives You Tangerines” adalah pemanfaatan struktur cerita berlandaskan empat musim. Latar alam Jeju yang berganti sepanjang tahun menjadi penopang narasi. Setiap musim menandakan rangkaian peristiwa yang menambah bobot cerita, sekaligus menampilkan keindahan pulau tersebut. Pendekatan ini juga memungkinkan adanya lompatan waktu tanpa memutus keberlanjutanr cerita. Melalui pergantian musim, penonton melihat bagaimana aktivitas masyarakat, tradisi lokal, dan panen hasil pertanian saling berhubungan.

Jeju Olle Trail – Route 15. Foto: Jeju Olle

Musim dingin kerap menyorot ketidakpastian ekonomi dan cuaca yang keras, sementara musim semi melambangkan transisi ke awal yang baru. Sepanjang tahun, karakter dalam drama ini dihadapkan pada tantangan yang secara perlahan bergerak menuju konflik yang lebih besar. Pergerakan cerita yang penuh tanda tanya menjadi cara untuk menampilkan Jeju dan para penduduknya, di mana alam memengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat.

Pertumbuhan dari Oh Ae-soon, sang karakter utama, mulai dari remaja hingga dewasa ditampilkan dalam drama ini. Perannya dimainkan oleh tiga aktris berbeda, mencerminkan pendewasaan sekaligus perubahan sosial dalam masyarakat. Pada masa kecil, Ae-soon memiliki ketertarikan yang kuat terhadap sastra. Cita-citanya menjadi penyair diuji oleh keterbatasan finansial, yang kemudian mengarahkan pertemuannya dengan Gwan-sik, sahabatnya di masa kecil yang berubah menjadi sosok penting dalam perjalanan hidupnya.

Seiring berjalannya waktu, Ae-soon menjadi seorang karakter mandiri yang mencerminkan pengaruh tradisi perempuan tangguh di Jeju. Kedekatannya dengan laut dan pekerjaannya di bidang pertanian kerap mengingatkan penonton pada kebudayaan pulau. Seiring waktu, Ae-soon dihadapkan pada situasi yang kompleks, seperti kebutuhan menyesuaikan diri dengan perubahan ekonomi dan tekanan keluarga.

When Life Gives You Tangerines. Foto: Netflix

Dinamika cinta yang muncul bersama Gwan-sik pun menjadi cerminan relasi yang tumbuh dari kebersamaan di masa lalu. Namun, drama ini tidak menitikberatkan pada romansa semata, melainkan membingkai proses pembentukan identitas melalui interaksi sosial dan adaptasi lingkungan.

Pergeseran nilai-nilai tradisional juga digambarkan dalam karya ini. Jeju yang awalnya terkenal dengan struktur matriarkal berhadapan dengan era modernisasi, terutama ketika tuntutan ekonomi membuat generasi muda mencari peluang baru. Pergeseran ini berdampak pada cara interaksi masyarakat dengan bahasa dan budaya lama.

Drama “When Life Gives You Tangerines” memotret momen transisi tersebut melalui dialog, aktivitas sehari-hari, serta peranan dan tanggung jawab tiap karakter. Penonton diperlihatkan bagaimana Jeju berusaha menjaga warisan budaya sembari mengikuti perkembangan zaman.

Latar tahun 1950-an menyediakan setting bersejarah yang menekankan perubahan sosial Korea pada masa pascaperang. Karena posisinya yang terpisah dari daratan utama, Jeju memiliki proses pemulihan yang berbeda. Kehidupan di pulau kerap dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah pusat sekaligus cara masyarakat setempat menerapkan tradisi turun-temurun.

Drama ini menampilkan benturan antara norma baru dan kebiasaan lama, terutama ketika Ae-soon mencoba mencapai mimpinya di tengah berbagai keterbatasan. Di sisi lain, Gwan-sik menghabiskan waktunya dalam upaya untuk mendukung Ae-soon, sekaligus meniti jalan hidup yang dipengaruhi kewajiban keluarga.

Dengan landasan narasi yang mencakup bahasa, kebiasaan lokal, dan pergantian musim, drama ini memberikan pandangan bahwa Jeju bukan hanya sekadar lokasi wisata saja, melainkan juga kawasan yang menyimpan sejarah, budaya, dan dialek unik. Pendekatan pergantian musim menyorot dinamika hubungan manusia dengan alam, sedangkan pertumbuhan karakter menampilkan proses pembentukan identitas di tengah perubahan sosial.