Dinamika Ideologi di Semenanjung Korea pada 1919-1950

on in History
National Assembly Proceeding Hall, Seoul. Foto: clumsyforeigner (Wikipedia)

Periode 1919 hingga 1950 merupakan masa yang penuh perubahan dalam sejarah Korea, ditandai dengan perkembangan ideologi yang membentuk masa depan semenanjung tersebut. Dimulai dengan Gerakan 1 Maret 1919 dan berakhir dengan pecahnya Perang Korea pada 1950, berbagai pemikiran nasionalisme, sosial demokrasi, komunisme, serta liberalisme berkembang dan saling bersaing. Masa ini bukan hanya tentang perlawanan terhadap kolonialisme Jepang saja, tetapi juga tentang pencarian identitas politik dan sosial setelah Korea mencapai kemerdekaan.

Nasionalisme menjadi kekuatan utama dalam perjuangan melawan penjajahan Jepang. Gerakan 1 Maret 1919 menjadi momen penting dalam sejarah perlawanan Korea, mengubah nasionalisme dari sekadar wacana intelektual menjadi gerakan massa. Sekitar dua juta orang berpartisipasi dalam aksi damai di berbagai kota di Korea. Respons keras dari Jepang, yang menewaskan lebih dari 7.000 orang, justru semakin memperkuat semangat perjuangan dan cita-cita kemerdekaan.

Gerakan ini berakar pada retorika Presiden AS Woodrow Wilson tentang hak penentuan nasib sendiri yang membangkitkan harapan di kalangan rakyat Korea. Walaupun Konferensi Perdamaian Paris tidak mengakui tuntutan kemerdekaan Korea, Gerakan 1 Maret berhasil menunjukkan bahwa nasionalisme Korea telah berkembang menjadi kekuatan sosial dan politik yang nyata.

Presiden Woodrow Wilson (Foto public domain)

Setelah pemberontakan ini, banyak aktivis kemerdekaan melarikan diri ke luar negeri, terutama ke Tiongkok, dan mendirikan Pemerintahan Sementara Republik Korea (KPG) pada April 1919. Meskipun tidak memiliki kekuasaan nyata di dalam negeri, pemerintahan ini berperan dalam mempertahankan legitimasi perjuangan nasionalisme Korea di kancah internasional. Konstitusi yang dibentuk KPG pun resmi ditetapkan menjadi dasar pemerintahan Korea Selatan setelah kemerdekaan pada 1945.

Nasionalisme Korea pada periode ini erat kaitannya dengan anti-imperialisme dan penolakan terhadap dominasi asing. Para intelektual menggunakan berbagai metode untuk membangun identitas nasional, seperti merekam sejarah dengan selengkap mungkin dan mereformasi bahasa agar lebih mencerminkan kebudayaan Korea yang mandiri.

Di samping nasionalisme, ideologi sosial demokrasi berkembang sebagai alternatif terhadap kapitalisme dan komunisme. Partai Sosialis Chosŏn yang didirikan pada awal abad ke-20 berusaha untuk membangun relasi dengan gerakan sosial demokrasi global. Namun, karena keterbatasan dukungan internasional, partai ini tidak berkembang lebih jauh.

Berbeda dengan di Eropa, sosial demokrasi di Korea tidak lahir dari kesadaran kelas pekerja industri, melainkan dari gerakan kemerdekaan. Pada tahun 1920-an dan 1930-an, gagasan sosial demokrasi menjadi semakin terstruktur, termasuk dalam teori “Sam Kyun,” yang mengusulkan pendidikan gratis dan kebijakan ekonomi berbasis kesejahteraan. Ide-ide ini kemudian diadopsi oleh partai nasionalis seperti Partai Kemerdekaan Korea dan Partai Nasional Korea.

Partai Revolusi Nasional yang didirikan pada 1935 menjadi wadah bagi berbagai ideologi, termasuk sosial demokrasi. Di bawah kepemimpinan Kim Won-bong, partai ini mengusulkan kebijakan nasionalisasi tanah dan industri besar serta sistem pendidikan gratis. Setelah kemerdekaan, partai ini berganti nama menjadi Partai Republik Rakyat Korea dan terus memperjuangkan sistem sosial demokrasi hingga akhirnya tersisih dalam polarisasi ideologi antara komunisme dan anti-komunisme.

Komunisme mulai berkembang di Korea pada 1920-an setelah Revolusi Bolshevik di Rusia. Para pengikutnya melihat komunisme sebagai sarana untuk mencapai kemerdekaan nasional. Namun, gerakan ini terpecah menjadi beberapa faksi, ada yang mendukung komunisme khas Korea dan ada yang lebih condong ke kebijakan Comintern Soviet.

Karena adanya tekanan dari kolonial Jepang, banyak aktivis komunis Korea melanjutkan perjuangan mereka di luar negeri, khususnya di Tiongkok dan Uni Soviet. Kim Il Sung menjadi salah satu tokoh utama yang bertempur melawan Jepang di Manchuria dan membangun basis politiknya di Uni Soviet. Setelah Jepang menyerah pada 1945, Uni Soviet mendukung Kim Il Sung sebagai pemimpin di Korea Utara, yang kemudian membentuk sistem politik berbasis komunisme dengan pengaruh nasionalisme.

Di Korea Selatan, gerakan komunis mengalami tekanan dari pemerintahan Amerika Serikat dan Syngman Rhee. Organisasi sayap kiri seperti Front Nasional Demokratik Anti-Imperialis dilarang dan para aktivisnya ditangkap. Anti-komunisme menjadi ciri khas politik Korea Selatan, terutama setelah pecahnya Perang Korea.

Ide-ide liberal mulai masuk ke Korea pada akhir abad ke-19 melalui misionaris Barat dan para pelajar yang kembali dari luar negeri. Periode ini dikenal sebagai masa “pencerahan” (kaehwa), di mana modernisasi dipandang sebagai cara untuk menyelamatkan Korea dari dominasi asing.

Banyak intelektual Korea yang mengadopsi konsep-konsep Barat seperti konstitusi, hak individu, dan pemerintahan berbasis hukum. Media massa menjadi sarana utama untuk menyebarkan gagasan ini, dengan surat kabar seperti The Independent dan Cheguk Sinmun mengangkat isu reformasi sosial dan politik.

Namun, kolonialisme Jepang juga menggunakan retorika modernisasi untuk membenarkan penjajahannya. Hal ini memaksa para nasionalis Korea untuk menyesuaikan strategi mereka, lebih menekankan aspek budaya dan etnis daripada sekadar reformasi institusional. Setelah kemerdekaan, liberalisme menjadi dasar bagi pemerintahan Korea Selatan, meskipun demokrasi yang dijalankan masih mengalami banyak kendala hingga tahun 1980-an.

Agama memainkan peran penting dalam gerakan kemerdekaan Korea. Gerakan 1 Maret 1919 didukung oleh berbagai kelompok keagamaan, termasuk Cheondoisme, Kristen, dan Buddhisme. Pemimpin Cheondoisme seperti Son Byong-hi berperan dalam mengorganisir demonstrasi anti-Jepang dan mendorong perlawanan non-kekerasan. Kepercayaan Kristen, yang masuk ke Korea pada abad ke-19, memberikan pengaruh besar terhadap gerakan sosial dan pendidikan. Banyak pemimpin nasionalis berasal dari komunitas Kristen, yang mengajarkan kesetaraan dan keadilan sosial.

Partisipasi aktif kelompok keagamaan dalam gerakan kemerdekaan semakin memperkuat legitimasi politik mereka. Di Korea Selatan, gereja-gereja Kristen terus memainkan peran dalam pergerakan sosial, baik sebagai pendukung maupun penentang rezim yang berkuasa.

Korean Demilitarized Zone, Panmunjom. Foto: Driedprawns (Wikipedia)

Kemenangan Sekutu atas Jepang pada 1945 tidak membawa persatuan bagi Korea. Uni Soviet menduduki wilayah utara, sementara Amerika Serikat mengontrol bagian selatan. Pembagian di 38° Lintang Utara ini menjadi pemicu lahirnya dua sistem politik yang berbeda.

Di Korea Utara, Kim Il Sung dengan dukungan Soviet membangun negara dengan sistem ekonomi dan politik berbasis komunisme. Kebijakan nasionalisasi diberlakukan dan sistem pemerintahan yang terpusat mulai terbentuk. Sedangkan di Korea Selatan, Syngman Rhee yang didukung oleh Amerika Serikat mendirikan pemerintahan berbasis demokrasi liberal. Namun, kebijakan represif terhadap kelompok kiri dan ketegangan politik dengan Korea Utara semakin memperdalam perpecahan.

Tahun 1948, Republik Korea (Korea Selatan) dan Republik Demokratik Rakyat Korea (Korea Utara) resmi berdiri sebagai dua negara terpisah. Ketegangan antara keduanya mencapai puncaknya pada 1950 ketika Kim Il Sung melancarkan invasi ke Korea Selatan, yang memicu Perang Korea.

Periode 1919-1950 di Korea ditandai oleh dinamika ideologi yang membentuk arah perkembangan politik dan sosial di semenanjung tersebut. Nasionalisme menjadi kekuatan utama dalam perjuangan melawan kolonialisme Jepang, sementara sosial demokrasi, komunisme, dan liberalisme menawarkan berbagai alternatif visi untuk masa depan Korea.

Pembagian Korea pada 1945 dan Perang Korea pada 1950 menandai akhir dari era ini dan awal dari perpecahan yang berlangsung hingga hari ini. Meskipun Korea Utara dan Korea Selatan berkembang dengan sistem politik yang berbeda, perdebatan ideologis yang dimulai pada awal abad ke-20 tetap memengaruhi arah politik dan hubungan internasional dari kedua negara.