Daegeum adalah alat musik tiup tradisional asal Korea yang terbuat dari bambu, terkenal dengan membran yang menghasilkan suara berdengung unik yang khas. Instrumen ini telah memainkan peran penting dalam berbagai jenis musik Korea, mulai dari musik istana hingga musik rakyat dan kontemporer. Dalam perkembangannya, daegeum terbagi menjadi dua jenis utama, yaitu Jeongak daegeum yang lebih panjang dan digunakan dalam musik formal, serta Sanjo daegeum yang lebih pendek, lebih umum ditemukan dalam musik rakyat.
Asal Usul dan Evolusi Daegeum
Daegeum memiliki sejarah panjang yang berasal dari Korea kuno. Meskipun asal usul pasti dari instrumen ini masih belum dapat dipastikan, bukti arkeologis menunjukkan bahwa seruling besar sudah digunakan sejak abad ke-4 hingga ke-5 Masehi. Lukisan dinding dan pagoda Buddha dari periode tersebut menggambarkan makhluk surgawi yang memainkan instrumen seperti seruling, menunjukkan status sakral daegeum pada masa itu.
Legenda Korea menyebutkan bahwa daegeum ditemukan pada masa pemerintahan Raja Sinmun dari Silla pada tahun 681 Masehi. Dalam teks Samguk Yusa (Memorabilia of the Three Kingdoms), tercatat kisah tentang Raja Naga dari Laut Timur yang memberikan seruling bambu ajaib kepada raja Silla.

Setelahnya, daegeum terus berkembang, terutama pada masa Dinasti Goryeo dan Joseon, di mana instrumen ini menjadi elemen penting dalam musik istana. Sebuah risalah musik penting dari era Joseon berjudul Akhak Gwebeom pun **mendokumentasikan teknik pembuatan dan cara memainkan daegeum.
Pada abad ke-19, varian daegeum yang lebih pendek muncul, yang kemudian dikenal sebagai Sanjo daegeum. Daegeum ini dikembangkan untuk mengakomodasi gaya musik rakyat yang lebih dinamis dan improvisasional. Versi ini memainkan peran penting dalam genre musik sanjo, dan sejak tahun 1971, gaya permainan daegeum sanjo diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda Penting di Korea.
Jeongak dan Sanjo Daegeum: Dua Tradisi dalam Satu Instrumen
Jeongak dan sanjo daegeum mencerminkan dua tradisi musik Korea yang berbeda. Jeongak daegeum, dengan panjang sekitar 78 sentimeter, lebih sering digunakan dalam musik istana dan aristokrat, menghasilkan nada yang lebih halus dan formal.
Sementara itu, sanjo daegeum berhubungan erat dengan musik rakyat dan memberikan fleksibilitas lebih besar untuk improvisasi dan ekspresi yang lebih bebas. Meskipun memiliki perbedaan dalam ukuran dan konteks budaya, kedua jenis daegeum ini mempertahankan membran berdengung khas yang memberikan karakter suara yang unik pada instrumen ini.
Legenda Manpasikjeok: Seruling Ajaib dalam Mitologi Korea
Manpasikjeok adalah seruling legendaris dalam cerita rakyat Korea yang dikatakan memiliki kekuatan luar biasa. Menurut Samguk Yusa, instrumen magis ini diberikan kepada Raja Sinmun oleh ayahnya, yang telah menjadi Raja Naga Laut Timur. Manpasikjeok diyakini mampu mengusir musuh, menyembuhkan penyakit, mendatangkan hujan saat musim kemarau, dan menenangkan badai.

Seruling ini dibuat dari bambu mistis yang ditemukan di gunung terapung, dan dinamai Manpasikjeok, yang berarti “instrumen yang menenangkan semua gelombang”. Legenda ini menunjukkan pentingnya instrumen musik dalam mitologi Korea dan kemampuan mereka dalam memengaruhi alam serta menjaga perdamaian di kerajaan.
Membran Berdengung yang Khas
Salah satu fitur utama yang membuat daegeum berbeda dari instrumen lainnya adalah membran berdengung, yang dikenal sebagai “cheong”. Membran ini terbuat dari kulit bagian dalam bambu dan ditempatkan di atas lubang khusus yang disebut “cheonggong”, terletak di antara lubang embouchure (bagian mulut) dan lubang jari.
Getaran membran ini menciptakan suara daegeum yang khas, menambahkan kedalaman dan kompleksitas pada nada yang dihasilkannya. Desain inovatif ini tidak hanya membedakan daegeum dari seruling lainnya, tetapi juga memungkinkan ekspresi musikal yang lebih beragam, menjadikannya instrumen yang serbaguna baik dalam musik Korea tradisional maupun kontemporer.
Perkembangan Musik Daegeum
Selama berabad-abad, repertoar musik daegeum telah mengalami perkembangan yang signifikan, mencerminkan perubahan selera musik dan dinamika masyarakat Korea. Pada awalnya, daegeum digunakan terutama dalam musik istana dan upacara keagamaan, memainkan komposisi yang lambat dan meditatif. Pada masa Dinasti Joseon, daegeum menjadi lebih menonjol dalam musik kelas aristokrat, sering dimainkan bersama dengan instrumen tradisional lainnya seperti gayageum dan janggu.
Perubahan besar terjadi pada akhir abad ke-19 dengan munculnya sanjo, bentuk musik instrumental solo yang dinamis. Genre ini menampilkan fleksibilitas daegeum dengan melodi cepat yang penuh improvisasi. Popularitas sanjo begitu besar sehingga menghasilkan varian khusus dari daegeum yang lebih pendek, lebih sesuai dengan gaya permainan ini.
Pada era modern, daegeum telah menemukan tempatnya dalam berbagai konteks musik, seperti musik pengiring untuk film dan televisi, musik fusi, serta komposisi klasik modern. Perjalanan daegeum dari instrumen eksklusif istana hingga menjadi irama yang serbaguna dalam musik modern menunjukkan daya tariknya yang abadi dan kemampuannya untuk beradaptasi dengan perkembangan genre musik Korea.
Budaya yang Lestari
Daegeum tidak hanya sekadar instrumen musik biasa, tetapi juga merupakan simbol warisan budaya Korea yang kaya. Dari asal-usulnya yang legendaris hingga aplikasi kontemporernya, seruling bambu ini terus menjadi bagian integral dari musik tradisional Korea, sekaligus menjembatani antara masa lalu dan masa kini. Nada dan dengungnya yang khas terus memikat penonton, baik dalam pertunjukan musik tradisional maupun dalam komposisi modern.