Ilustrasi merias wajah. Foto: Phạm Trần Hoàn Thịnh (Unsplash)

Fenomena lookism atau diskriminasi terhadap penampilan fisik telah mengakar dalam kehidupan sehari-hari di Korea. Ungkapan populer “penampilan adalah bagian dari kemampuan seseorang” mencerminkan kenyataan bahwa daya tarik fisik berpengaruh pada peluang kerja, penerimaan sosial, dan mobilitas pribadi. Persyaratan foto pada lamaran, budaya perawatan diri yang intens, serta tingginya angka bedah kosmetik menunjukkan bagaimana preferensi sosial berkembang menjadi sistem yang terorganisir dan memengaruhi keputusan penting di berbagai sektor.

Pasar kerja menjadi ruang di mana bias penampilan terlihat paling jelas, yang berujung pada konsekuensi ekonomi. Beragam survei menunjukkan mayoritas pencari kerja meyakini rupa memengaruhi peluang diterima, dan sebagian mengaku mengalami diskriminasi langsung saat proses rekrutmen.

Praktik perusahaan yang mensyaratkan pelamar untuk menyematkan foto profil pada CV memperkuat bias tersebut, diikuti sanksi bagi pelamar yang tidak menyertakannya. Sebagian manajer SDM juga mengakui faktor penampilan memengaruhi keputusan mereka, termasuk memberi nilai lebih pada kandidat yang dianggap menarik meskipun kualifikasinya lebih rendah, ataupun sebaliknya.

Ilustrasi resume kerja. Foto: Resume Genius (Unsplash)

Dalam situasi tersebut, persiapan kerja bergeser dari penguatan kompetensi menuju peningkatan visual. Pelamar mengalokasikan waktu dan biaya untuk tata rias, pemilihan busana, serta prosedur estetika, memandang perubahan fisik sebagai bagian dari investasi karier. Pola yang sama juga dapat ditemui di lingkungan pendidikan. Hadiah kelulusan berupa prosedur kosmetik, terutama operasi lipatan kelopak mata, menandakan ekspektasi penampilan telah menjadi modal sosial yang dianggap perlu untuk masa dewasa. Hierarki sosial antarsiswa pun kerap didasarkan pada standar penampilan, sehingga prestasi akademik tidak selalu menjadi penentu utama pengakuan dan kesempatan.

Baca Juga: Budaya Diet di Korea

Industri bedah kosmetik telah berkembang menjadi sektor ekonomi berskala besar. Nilai pasar yang terus bertumbuh menempatkan Korea sebagai salah satu pusat bedah estetika dunia. Rasio angka wanita yang pernah menjalani prosedur bedah juga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa negara lain.

Ilustrasi implan untuk bedah kosmetik. Foto: philippe spitalier (Unsplash)

Permintaan tidak hanya datang dari warga lokal saja. Pasien internasional turut menyumbang angka yang signifikan dari jumlah total prosedur setiap tahunnya, menjadikan layanan estetika sebagai salah satu magnet utama dari wisata medis Korea. Normalisasi bedah kosmetik di ruang digital turut mempercepat pertumbuhan. Laman klinik dan media sosial menyajikan dokumentasi sebelum dan sesudah yang mudah diakses, menyediakan informasi praktis dan memposisikan bedah kosmetik sebagai tindakan rutin. Di saat yang sama, gelombang budaya populer Korea membentuk selera global dan mendorong permintaan standar estetika tertentu, sehingga pasar domestik dan internasional saling memperkuat sektor bedah kosmetik.

Gangnam berperan sebagai episentrum wisata medis dengan konsentrasi klinik yang padat, tenaga ahli berpengalaman, serta teknologi perawatan mutakhir. Banyak pasien mancanegara datang khusus untuk menjalani bedah kosmetik, dengan kisaran biaya yang kompetitif dibandingkan dengan negara Barat lainnya. Tarif operasi seperti kelopak mata ganda, rinoplasti, dan kontur rahang yang terjangkau membuat layanan ini mudah diakses bagi berbagai kalangan sekaligus menarik bagi pengunjung yang mengejar estetika yang diasosiasikan dengan budaya populer Korea.

Distrik Gangnam. Foto: ☺Yoshi☻ from Seoul (Wikipedia)

Peran lembaga pendukung seperti pusat informasi wisata medis mempermudah navigasi bagi pasien internasional, mulai dari rekomendasi klinik hingga bantuan bahasa. Strategi ini menempatkan layanan estetika sebagai pilar ekonomi daerah dan nasional. Arus pasien global pada gilirannya turut memberikan validasi standar penampilan yang berkembang di dalam negeri, membentuk lingkaran umpan balik antara permintaan internasional dan praktik domestik. Walaupun berlandaskan teknologi dan prosedur yang distandardisasi, tujuan utama layanan ini sebagian besar berkaitan dengan penyesuaian sosial, bukan kebutuhan klinis, sehingga ekspansi sektor ini tidak terpisah dari dinamika lookism itu sendiri.

Tekanan untuk memenuhi standar penampilan berdampak pada kesehatan mental, terutama di kalangan remaja dan wanita muda. Riset menunjukkan diskriminasi berbasis penampilan berkorelasi dengan meningkatnya ide bunuh diri serta perilaku menyakiti diri. Ketidakpuasan tubuh meluas bahkan pada kelompok dengan indeks massa tubuh normal. Proporsi mahasiswi yang merasa tidak puas terhadap bentuk tubuhnya sangat tinggi, dan sebagian besar melakukan diet demi terlihat lebih menarik, meskipun persepsi berat badan mereka tidak akurat.

Ilustrasi menimbang berat badan. Foto: i yunmai (Unsplash)

Gangguan makan menjadi masalah yang kian menonjol. Estimasi klinis menunjukkan satu dari empat wanita muda dapat terpengaruh, dengan variasi yang mungkin lebih besar karena banyaknya kasus yang tidak dilaporkan. Dampak psikologis tidak berhenti di pola makan saja. Wanita dengan citra tubuh negatif berisiko lebih tinggi mengalami depresi dan stres dibandingkan yang memiliki persepsi positif. Kebiasaan penggunaan riasan sejak sekolah dasar juga meningkat, menandakan internalisasi standar penampilan dimulai lebih dini. Bahkan sebelum pandemi, sebagian pelajar dan pekerja mengenakan masker untuk menutupi bagian wajah yang dianggap bermasalah, mencerminkan beban psikologis yang hadir di ruang publik.

Di tengah arus yang kuat, muncul gerakan perlawanan seperti Escape the Corset yang menolak standar kecantikan arus besar. Para peserta memotong rambut, meninggalkan riasan, dan menolak prosedur kosmetik sebagai pernyataan otonomi tubuh. Namun respons balik juga terjadi. Sebagian menghadapi hambatan di dunia kerja dan bahkan kekerasan, memperlihatkan tantangan membongkar norma yang sudah mengakar dalam masyarakat.

Upaya legislasi telah diinisiasi untuk membatasi pertanyaan atau permintaan informasi penampilan dalam proses rekrutmen, seperti tinggi badan, berat badan, ukuran tubuh, tempat lahir, dan status perkawinan. Meskipun sempat diajukan di tingkat komite, regulasi tersebut terhambat karena penolakan kelompok bisnis yang beranggapan penampilan relevan bagi sebagian pekerjaan.

Perdebatan ini menunjukkan tarik-menarik antara niat progresif dan kepentingan industri. Pengamat budaya menilai bahwa banyak individu kini berhadapan dengan ekosistem komersial yang terintegrasi, mulai dari kosmetik hingga bedah estetika, sehingga perubahan personal saja tidak cukup tanpa koreksi struktural yang menyentuh insentif ekonomi dan praktik korporasi.

Lookism di Korea bekerja sebagai sistem yang saling terkait. Praktik rekrutmen, kebiasaan di sekolah, industri estetika, kesehatan mental, dan wisata medis saling memengaruhi dan memperkuat satu sama lain. Normalisasi standar rupa menggeser fokus dari kompetensi menuju kesesuaian visual, sementara insentif ekonomi memperkuat arsitektur sosial yang berbasis penampilan.