Tripitaka Koreana: Kitab Buddha yang Bertahan Berabad-Abad

on in History
Tempat penyimpanan Tripitaka Koreana. Foto: Bernard Gagnon

Tripitaka Koreana adalah koleksi kitab suci Buddha yang diukir pada lebih dari 81.000 balok kayu yang dibuat di Korea pada abad ke-13. Koleksi ini dianggap sebagai salah satu teks dari ajaran Buddhis yang paling lengkap dan akurat di dunia. Tripitaka Koreana kini disimpan di Kuil Haeinsa, situs Warisan Dunia UNESCO dengan pencapaian luar biasa dalam bidang keilmuan, keahlian, dan pelestarian yang telah bertahan hampir 800 tahun.

Pembuatan teks Buddhis monumental ini dimulai pada masa Dinasti Goryeo, dengan versi pertama dibuat atas perintah Raja Hyonjong pada tahun 1011 untuk memohon perlindungan ilahi terhadap invasi Khitan. Versi awal ini, yang diselesaikan pada 1087, hancur selama invasi Mongol pada tahun 1232.

Menanggapi hal tersebut, Raja Gojong memerintahkan pembuatan versi baru pada tahun 1236, yang memerlukan waktu 12 tahun dan melibatkan banyak sarjana dan pengrajin untuk menyelesaikannya. Versi kedua ini, yang rampung pada tahun 1248, adalah versi yang bertahan hingga hari ini dan kemudian dipindahkan ke Kuil Haeinsa pada tahun 1398, tempat di mana ia telah dijaga dan dirawat baik selama lebih dari enam abad.

Tripitaka Koreana dianggap sebagai salah satu versi Tripitaka, koleksi kanonikal kitab suci Buddhis, yang paling komprehensif dan akurat. Pada umumnya, Tripitaka terdiri dari tiga bagian utama,yaitu Sutta Pitaka (khotbah), Vinaya Pitaka (aturan monastik), dan Abhidhamma Pitaka (analisis filosofis). Namun, versi Korea memperluas kitab ini dengan komentar tambahan dan karya oleh biksu Korea.

Akurasi dan kelengkapan yang luar biasa telah menjadikannya referensi penting bagi keilmuan Buddhis di Asia Timur, yang menjadi dasar bagi edisi Tripitaka Jepang dan Tiongkok. Selain memiliki signifikansi dalam konteks keagamaan, Tripitaka Koreana juga memberikan wawasan tentang versi teks Buddhis Tiongkok dan Khitan yang telah hilang.

Tripitaka Koreana memainkan peran penting dalam lanskap religius dan politik Dinasti Goryeo. Buddhisme menjadi kepercayaan yang disukai oleh warga Korea dan menerima dukungan luas dari istana kerajaan selama periode ini. Pembuatan Tripitaka bukan hanya menjadi upaya keagamaan saja, tetapi juga politik, seperti yang terlihat dari perintah Raja Hyonjong pada tahun 1011 untuk memohon perlindungan ilahi dari invasi asing.

Proyek ini mencerminkan komitmen kerajaan terhadap Buddhisme dan penggunaannya sebagai alat pertahanan secara spiritual. Selain itu, pembuatan dan pelestarian Tripitaka di Kuil Haeinsa menjadikannya pusat pendidikan dan penyebaran Buddhisme, berkontribusi pada status biara sebagai lembaga kunci untuk melestarikan dan menyebarkan ajaran Buddhis.

Meskipun motif dari pembuatan Tripitaka Koreana umumnya dipandang sebagai permohonan perlindungan ilahi terhadap penjajah asing, penelitian terbaru menunjukkan bahwa proyek ini juga memiliki tujuan politik yang lebih luas.

Menurut sejarawan Min Yeong-gyu, proyek ini kemungkinan merupakan upaya pemerintahan militer Choi untuk menenangkan komunitas Buddhis dan memperkuat solidaritas nasional. Dengan menjalankan upaya besar-besaran ini, rezim tersebut berusaha untuk mengkooptasi kekuatan agama Buddhis yang dianut oleh mayoritas yang bersekutu dengan aristokrasi sebelumnya, sehingga mengkonsolidasikan kekuasaannya. Usaha selama 16 tahun untuk menghasilkan Tripitaka ini dapat dilihat sebagai langkah strategis untuk menyatukan negara di bawah kepemimpinan rezim Choi selama masa ancaman eksternal dan ketidakstabilan internal.

Setiap balok kayu dari kitab ini memiliki lebar 70 cm, panjang 24 cm, dan ketebalan sekitar 2,6 hingga 4 cm, dengan seluruh koleksi memiliki berat sekitar 280 ton. Balok-balok ini dibuat dengan teliti dari kayu birch berkualitas tinggi yang melalui proses persiapan yang panjang. Proses tersebut meliputi:

  • Merendam balok kayu dalam air laut selama tiga tahun
  • Direbus dalam air garam
  • Dikeringkan di tempat teduh selama tiga tahun sebelum diukir
  • Dilapisi dengan lak beracun untuk mencegah kerusakan akibat serangan serangga
  • Diperkuat dengan bingkai logam untuk mencegah pelengkungan

Proses ketat ini memastikan balok kayu memiliki daya tahan dan umur yang panjang, sekaligus berkontribusi pada pelestariannya yang luar biasa selama berabad-abad.

Salinan dari Tripitaka Koreana. Foto: Steve46814

Mengandung 52.382.960 karakter dalam 1.496 judul dan 6.568 volume, Tripitaka Koreana terkenal karena akurasi dan kelengkapannya yang luar biasa. Teks-teks ini mencakup tiga divisi utama Tripitaka, yaitu Sutta-pitaka (khotbah Buddha), Vinaya-pitaka (aturan monastik), dan Abhidhamma-pitaka (analisis filosofis).

Teks ini juga dipercaya tidak memiliki kesalahan yang diketahui, menjadikannya kiab penting bagi keilmuan Buddhis di Asia Timur. Para penyusun menggabungkan versi-versi Tripitaka dari Dinasti Song Utara, Khitan, dan Goryeo yang lebih tua, serta menambahkan konten dari biksu Korea yang dihormati, menghasilkan koleksi yang komprehensif dan otoritatif.

Disimpan di Janggyeong Panjeon di Kuil Haeinsa, Tripitaka Koreana mendapatkan manfaat dari struktur yang dirancang khusus untuk pelestariannya. Arsitektur bangunan yang inovatif memungkinkan ventilasi alami, kontrol suhu, dan kelembaban, yang telah menjaga balok-balok kayu dalam kondisi prima selama lebih dari 750 tahun.

Dalam beberapa tahun terakhir, upaya untuk memastikan umur panjang dan aksesibilitas koleksi ini telah dipertimbangkan, termasuk digitalisasi dan rencana untuk mentransfer karakter-karakter tersebut ke pelat tembaga sebagai cadangan tambahan. Tripitaka Koreana terus menarik peziarah Buddhis, sarjana, dan sejarawan, berfungsi sebagai sumber daya penting bagi studi ajaran Buddhis dan sebagai bukti warisan budaya Korea.

Tripitaka Koreana memiliki pengaruh mendalam terhadap teks-teks Buddhis dan keilmuan di seluruh Asia Timur. Karena akurasi dan kelengkapannya yang luar biasa, kitab ini menjadi versi kanon Buddhis yang otoritatif, menjadi dasar bagi edisi-edisi selanjutnya di negara lain. Tripitaka Taisho Jepang, sebuah kompilasi modern kritis dari teks-teks Buddhis, sebagian besar didasarkan pada edisi Korea.

Demikian pula, Zhonghua Dazangjing dari Tiongkok menggabungkan teks-teks dari Tripitaka Koreana. Pengaruhnya meluas ke Jepang, di mana kitab ini sangat dicari-cari selama periode Edo, dengan 45 cetakan lengkap diberikan ke Jepang sejak era Muromachi. Pertukaran lintas budaya dan ketergantungan pada Tripitaka Koreana untuk keakuratan tekstual ini menunjukkan dampaknya yang langgeng terhadap keilmuan Buddhis dan pelestarian ajaran Buddhis di seluruh Asia Timur.

Tripitaka Koreana berdiri sebagai bukti warisan budaya Korea yang kaya dan kontribusinya yang signifikan terhadap Buddhisme. Karya monumental ini tidak hanya mewakili pencapaian luar biasa dalam keahlian dan dedikasi saja, tetapi juga interaksi kompleks antara pengabdian agama dan strategi politik. Akurasi dan kelengkapannya yang tak tertandingi telah menjadikannya sumber daya yang tak ternilai bagi ajaran Buddhisme di seluruh Asia Timur, mempengaruhi edisi-edisi teks Buddhis di Jepang dan Tiongkok.

Di luar signifikansi keagamaannya, Tripitaka Koreana mencerminkan pencapaian teknologi Korea abad ke-13 dalam teknik pencetakan dan pelestarian kayu. Sebagai situs Warisan Dunia UNESCO, kitab ini terus menarik sarjana, peziarah, dan pengagum, berfungsi sebagai jembatan antara masa lalu dan masa kini Korea, dan simbol kekuatan pelestarian budaya yang bertahan lama.