
Busana merupakan salah satu penanda nyata dari perubahan sosial, ekonomi, dan budaya dalam sebuah masyarakat. Pakaian yang kita kenakan tidak hanya berfungsi untuk melindungi tubuh, tetapi juga merefleksikan status, identitas, dan selera kita.
Ketika masyarakat mengalami transformasi besar-besaran, busana ikut berubah mengikuti tuntutan dan nilai-nilai baru yang muncul di masyarakat. Salah satu periode penting dalam sejarah Korea yang menyaksikan perubahan busana secara masif adalah pada masa penjajahan Jepang (1910-1945).
Industrialisasi yang digalakkan pemerintah kolonial Jepang membawa dampak besar terhadap struktur sosial dan ekonomi Korea. Munculnya kelas pekerja pabrik, kelas menengah urban, serta pertumbuhan kapitalisme dan konsumerisme mengubah lanskap kota-kota Korea. Transformasi ini tak pelak memengaruhi gaya berbusana masyarakat Korea. Busana tradisional (hanbok) yang semula dipakai secara meluas, perlahan tergantikan oleh pakaian bergaya Barat yang dianggap lebih modern.
Pergeseran ini tidak hanya terjadi pada level fisik, tetapi juga dalam makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam busana itu sendiri. Artikel ini akan mengupas bagaimana proses industrialisasi di Korea pada masa kolonial mengubah praktik dan pandangan busana pada masyarakat.
Perubahan Struktur Sosial dan Munculnya Kelas Baru
Pembangunan pabrik-pabrik dan infrastruktur seperti jalan raya dan jalur kereta api mendorong pertumbuhan kota-kota industri baru. Ribuan penduduk desa berbondong-bondong meninggalkan kampung halamannya untuk mencari pekerjaan di sektor industri perkotaan. Fenomena urbanisasi ini terlihat dari peningkatan jumlah kota yang berpenduduk lebih dari 20.000 jiwa, yang awalnya hanya berjumlah 32 kota pada tahun 1925 menjadi 90 kota pada tahun 1940.
Gelombang urbanisasi tersebut melahirkan kelas pekerja pabrik yang sebelumnya tidak ada dalam masyarakat agraris Korea. Para buruh pabrik tekstil, pertambangan, dan industri lainnya hidup dengan upah rendah dan kondisi kerja yang buruk. Sementara itu, industrialisasi juga menghasilkan kelas menengah baru yang terdiri dari pegawai kantor, guru, jurnalis, dan profesi-profesi kelas menengah perkotaan lainnya. Kemunculan kelas-kelas baru ini mengikis struktur masyarakat feodal Korea yang sebelumnya didominasi oleh kaum bangsawan dan petani.
Transformasi struktur sosial ini berdampak pada pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat Korea. Kelas menengah urban yang terdidik cenderung mengadopsi budaya konsumerisme kapitalis untuk menunjukkan status dan identitas mereka yang lebih “modern”. Sementara kaum buruh dengan pendapatan terbatas kesulitan mengikuti tren tersebut. Perbedaan akses terhadap konsumsi ini kemudian tercermin dalam cara berbusana masing-masing kelas.
Busana sebagai Penanda Kelas dalam Masyarakat Kapitalis Kolonial
Selain menjadi penanda status sosial, di masa itu pakaian juga menjadi penanda kuasa dan identitas etnik. Pakaian tradisional Korea (hanbok) dan pakaian Barat dipakai sebagai medium untuk menegaskan identitas etnik dan kelas sosial. Orang Korea yang mengenakan pakaian Barat sering kali dilihat sebagai simbol kemajuan, sementara hanbok menjadi simbol resistensi terhadap kolonialisasi dan pelestarian identitas Korea.
Perubahan dalam busana dan penandaan identitas ini mencerminkan dinamika sosial, ekonomi, dan politik di bawah penjajahan Jepang. Pakaian Barat, dengan harga dan aksesibilitas yang terbatas, sering kali dikaitkan dengan elit urban atau mereka yang memiliki hubungan dekat dengan penguasa kolonial. Sedangkan hanbok, yang lebih terjangkau dan secara luas dikenakan oleh mayoritas penduduk, menjadi simbol kekhasan budaya dan perlawanan terhadap kolonialisme.
Busana juga berperan dalam memperkuat diferensiasi sosial dan ekonomi. Misalnya, dalam konteks pabrik dan industri, pakaian kerja yang diberikan kepada buruh pabrik menandakan posisi mereka dalam hierarki sosial ekonomi, sementara pakaian Barat yang mahal menjadi simbol akses ke kekuasaan ekonomi dan sosial. Hal ini menunjukkan bagaimana pakaian berperan tidak hanya sebagai penutup tubuh, tapi juga sebagai medium komunikasi sosial yang kompleks, merefleksikan struktur sosial dan hubungan kekuasaan dalam masyarakat.
Selain mencerminkan perubahan mode dan estetik, busana dalam konteks masyarakat juga menandai pergeseran sosial, politik, dan ekonomi yang lebih luas. Pakaian menjadi simbol perlawanan, identitas, dan stratifikasi sosial, yang semuanya berperan dalam membentuk dan mengungkapkan dinamika masyarakat Korea kolonial.
Peran Media dan Iklan dalam Menyebarkan Gaya Busana Modern
Peran media dan iklan dalam menyebarkan gaya busana modern sangat signifikan, terutama di era kolonial Korea, dimana masyarakat mulai terpapar pada berbagai bentuk representasi visual dan narasi tentang modernitas. Bersamaan dengan berkembangnya fotografi dan teknologi percetakan, media seperti surat kabar, majalah, dan poster memainkan peran krusial dalam memperkenalkan dan mempopulerkan pakaian Barat sebagai simbol kemajuan dan modernitas.
Selain itu, toko-toko besar dan pusat perbelanjaan yang sering mengadakan pertunjukan mode dan menggunakan display yang menarik juga menjadi pusat penyebaran tren mode baru. Kegiatan-kegiatan ini tidak hanya memperkenalkan masyarakat dengan konsep berpakaian sesuai tren terbaru saja, tapi juga merangsang keinginan untuk menjadi bagian dari kelas sosial yang lebih “modern”. Dengan demikian, media dan iklan menjadi agen perubahan sosial yang mengarahkan masyarakat untuk mengadopsi standar dan nilai baru dalam berbusana, sering kali menekankan perbedaan antara ‘tradisional’ dan ‘modern’, ‘lokal’ dan ‘asal Barat’.
Dalam konteks lebih luas, media dan iklan tak hanya memengaruhi cara individu berpakaian, tapi juga cara mereka memandang diri sendiri dan orang lain dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik. Mereka membentuk persepsi tentang identitas, status, dan kelas melalui pilihan busana, serta memperkuat ide-ide tentang gender dan seksualitas melalui representasi tubuh dan cara berpakaian. Dengan demikian, media dan iklan memiliki kekuatan untuk membentuk diskursus sosial seputar mode, identitas, konsumsi, dan juga memainkan peran penting dalam evolusi busana modern di masyarakat kolonial Korea.
Busana adalah salah satu penanda nyata dari perubahan sosial, ekonomi, dan budaya dalam masyarakat. Pada masa kolonial Jepang di Korea, industrialisasi dan urbanisasi yang terjadi mengubah struktur sosial dan munculnya kelas-kelas baru, seperti kelas pekerja pabrik dan kelas menengah urban. Di era ini, busana menjadi penanda kekuasaan, identitas etnik, kelas sosial, dan ekonomi. Pakaian Barat dilihat sebagai simbol kemajuan, sementara hanbok menjadi simbol penolakan terhadap kolonialisme.
Selain itu, media dan iklan juga memainkan peran penting dalam menyebarkan dan mempopulerkan gaya busana modern di Korea kolonial. Melalui representasi visual dan narasi tentang modernitas, media mendorong masyarakat untuk mengadopsi standar dan nilai baru dalam berbusana, sering kali menekankan perbedaan antara ‘tradisional’ dan ‘modern’, ‘lokal’ dan ‘asal Barat’.
Kita dapat melihat bagaimana busana tidak hanya merefleksikan, tetapi juga memengaruhi dinamika sosial, ekonomi, dan politik dalam masyarakat Korea kolonial yang sedang bertransformasi.