Ilustrasi kantor parlemen. Foto: Hansjörg Keller (Unsplash)

Politik di Korea Selatan sering digambarkan dengan istilah “kanan” dan “kiri” seperti kebanyakan negara lainnya. Namun, makna dari istilah tersebut sangat ditentukan oleh berbagai konteks khusus, seperti perang Korea, keberadaan Korea Utara, industrialisasi di bawah rezim militer, serta gerakan demokratisasi sejak 1980-an. Di dalam kerangka ini, benturan ideologi tidak hanya terjadi antara konservatif dan progresif, tetapi juga antara generasi tua dan muda, serta antara laki-laki dan perempuan.

Blok kanan konservatif saat ini diwakili oleh Partai Kekuatan Rakyat (People Power Party, PPP). Di kubu ini, identitas politik dibentuk kuat oleh ancaman dari Korea Utara dan pentingnya aliansi militer dengan Amerika Serikat. Konservatif menekankan ideologi anti-komunisme, liberalisme ekonomi, penguatan pertahanan, serta sikap keras terhadap program nuklir Korea Utara. Kerja sama serta bantuan yang dikirimkan ke Korea Utara dipandang harus sangat bersyarat dan dikaitkan dengan perubahan politik maupun denuklirisasi.

Pertemuan Kim Jong-un dengan diplomat dari Korea Selatan, Maret 2018. Foto: Blue House (Republic of Korea)

Di sisi lain, blok kiri progresif berpusat pada Partai Demokrat Korea (Democratic Party of Korea, DPK). Secara umum, partai ini dipandang berhaluan tengah–kiri dengan fokus pada kesejahteraan sosial, pengurangan ketimpangan, dan reformasi demokratis. Mereka mendorong perluasan jaminan sosial, kebijakan pertumbuhan berbasis pendapatan, dan agenda pelestarian lingkungan. Dalam isu Korea Utara, kubu progresif cenderung melihatnya sebagai bangsa saudara yang perlu direkonsiliasi, sehingga dialog, kerja sama ekonomi, dan pendekatan damai dipandang sebagai langkah yang lebih tepat.

Kedua kubu sama-sama mengakui pentingnya hubungan dengan Amerika Serikat, tetapi kubu progresif lebih sering menekankan otonomi kebijakan luar negeri dan membuka ruang hubungan yang relatif lebih hangat dengan Tiongkok dan Rusia.

Isu Korea Utara menjadi garis pemisah paling jelas. Kubu konservatif memprioritaskan keamanan dan pencegahan, sedangkan pihak progresif mendorong keterlibatan dan kebijakan rekonsiliasi seperti “Sunshine Policy” yang pernah dijalankan pada akhir 1990-an. Perbedaan ini berulang kali menjadi faktor penentu utama dalam pemilihan dan afiliasi partai.

Di balik itu, pertarungan memori sejarah masih terasa kuat. Kubu progresif mengidentifikasi diri dengan gerakan demokratisasi melawan rezim militer, menuntut pengakuan atas kekerasan negara, serta menjadikan peristiwa seperti Pemberontakan Gwangju 1980 sebagai simbol perjuangan demokrasi dan keadilan sosial.

Memorial dari Pemberontakan Gwangju 1980. Foto: Schlarpi (Wikipedia)

Namun, kubu konservatif menyimpan hubungan yang lebih ambigu dengan warisan rezim otoriter. Sebagian kelompok kanan dan kanan jauh memandang tokoh seperti Syngman Rhee dan Park Chung-hee sebagai pendiri republik dan arsitek modernisasi, sambil menafsirkan “demokrasi liberal” terutama sebagai gerakan anti-komunisme dan keberpihakan tegas pada Amerika Serikat. Undang-Undang Keamanan Nasional, yang mengkriminalisasi dukungan terhadap Korea Utara dan komunisme, menjadi salah satu warisan paling menonjol dari periode tersebut dan masih menjadi rujukan dalam perdebatan kebebasan sipil.

Perbedaan pandangan juga muncul dalam sektor ekonomi, meskipun tidak lagi setajam dulu. Progresif menekankan perluasan jaringan pengaman sosial, kebijakan pro-buruh, dan intervensi negara untuk mengurangi kesenjangan. Sedangkan kubu konservatif, yang mulanya dekat dengan para chaebol, menekankan pertumbuhan dan iklim ramah bisnis. Namun, kritik publik terhadap dominasi chaebol dan menurunnya laju pertumbuhan ekonomi membuat kedua kubu mulai mengadopsi elemen kebijakan negara kesejahteraan, seperti subsidi untuk pengasuhan anak dan perlindungan bagi pekerja sementara, meskipun dengan penekanan yang berbeda.

Di dalam spektrum progresif sendiri terdapat dua arus besar yang saling bersaing sepanjang sejarahnya. Pertama, terdapat faksi People’s Democracy (PD) yang berkembang ke arah kiri ala Barat, dipengaruhi sosial demokrasi dan liberalisme Amerika. Kelompok ini berfokus pada isu kelas, hak-hak buruh, layanan kesehatan universal, dan demokrasi sosial. Partai-partai kecil seperti Justice Party sering dianggap mewarisi tradisi PD, dengan penekanan pada keadilan sosial dan hak minoritas.

Faksi kedua adalah National Liberation (NL) yang menggabungkan nasionalisme etnis, agenda reunifikasi, dan sikap anti-imperialisme. Mereka menempatkan perjuangan melawan hegemoni Amerika Serikat dan penyatuan kembali dengan Korea Utara sebagai prioritas utama. Faksi ini lebih sering terlibat dalam perdebatan karena dianggap memiliki simpati yang terlalu besar terhadap Korea Utara, sehingga menghadapi resistensi publik yang kuat.

Ilustrasi kantor parlemen. Foto: Joakim Honkasalo (Unsplash)

Pertentangan antara PD dan NL mengenai prioritas perjuangan, antara kelas dengan reunifikasi, menjadikan politik kiri di Korea Selatan terfragmentasi. Hal ini ikut menjelaskan mengapa kekuatan kiri radikal sulit bertahan lama sebagai kekuatan elektoral besar.

Selain isu keamanan dan ekonomi, politik Korea Selatan semakin dipengaruhi oleh perdebatan seputar gender dan identitas. Dalam beberapa tahun terakhir, gender menjadi garis pembelah yang tajam terutama di kalangan pemilih muda.

Di kubu konservatif, elite politik sering kali memanfaatkan ketegangan gender untuk menarik dukungan laki-laki muda. Janji penghapusan Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga, serta narasi mengenai “diskriminasi terbalik” terhadap laki-laki, muncul sebagai slogan kampanye. Di media dan ruang publik, feminisme kerap disederhanakan sebagai “kebencian terhadap laki-laki”, yang kemudian dimanfaatkan untuk memobilisasi pemilih laki-laki berusia 20-an dan 30-an.

Kubu progresif secara formal lebih dekat dengan agenda kesetaraan gender, namun juga tidak luput dari skandal kekerasan seksual dan kritik atas penanganan internal kasus-kasus tersebut. Dalam beberapa pemilu, kedua partai besar dituding bukan memperbaiki relasi gender, melainkan memanfaatkan konflik gender demi keuntungan elektoral jangka pendek.

Dimensi lain yang memengaruhi spektrum politik kanan–kiri adalah regionalisme. Wilayah Honam (Jeolla, berpusat di Gwangju) secara historis menjadi basis dari kubu progresif. Daerah ini mengalami diskriminasi politik dan ekonomi selama masa rezim militer dan identik dengan gerakan demokratisasi. Dukungan kuat terhadap partai-partai progresif dipahami sebagai ekspresi ingatan kolektif terhadap represi negara dan aspirasi demokrasi.

Kota Busan, pusat dari wilayah Yeongnam. Foto: Busan Tourism Organization

Sebaliknya, wilayah Yeongnam (Gyeongsang, yang berpusat di Daegu dan Busan) cenderung mendukung partai konservatif. Selama periode industrialisasi otoriter, wilayah ini mendapatkan prioritas investasi, sehingga jejaring politik–ekonomi antara elite lokal, chaebol, dan pusat kekuasaan tumbuh kuat.

Pola regional ini telah bertahan sejak transisi demokrasi pada tahun 1987, meskipun dalam beberapa tahun belakangan mulai menunjukkan tanda pelemahan di kalangan pemilih muda yang lebih fleksibel dan kurang terikat pada identitas daerah.

Next Page→