Sosuseowon, Akademi Konfusianisme Pertama di Korea

on in History
Sosuseowon, di bagian dalam Ganghakdang. Foto: Korea Tourism Organization

Sosuseowon adalah akademi Konfusianisme pertama di Korea yang menerima piagam kerajaan. Didirikan pada tahun 1542 di kaki Pegunungan Sobaeksan, keberadaan akademi ini memainkan peran penting dalam membentuk pendidikan Konfusianisme pada masa Dinasti Joseon. Sosuseowon menjadi simbol penting dari pendidikan dan pembentukan karakter selama berabad-abad.

Sepanjang lima abad sejarahnya, akademi ini telah menjadi saksi dari berbagai perkembangan penting dalam pendidikan Konfusianisme di Korea. Akademi ini awalnya dikenal sebagai Baekundong Seowon ketika didirikan oleh Ju Se-bung pada tahun 1542. Namun, pada tahun 1550, akademi ini menerima pengakuan resmi dari Raja Myeongjong atas permintaan Toegye Yi Hwang, seorang sarjana ternama, dan kemudian diubah namanya menjadi Sosuseowon. Pengakuan resmi ini menjadikan Sosuseowon sebagai akademi Konfusianisme pertama di Korea yang mendapatkan dukungan dari negara.

Pada tahun-tahun awal, akademi ini didedikasikan untuk memperingati ajaran dari An Hyang, seorang filsuf Neo-Konfusianisme yang dihormati dari Dinasti Goryeo. Seiring berjalannya waktu, peran akademi ini berkembang menjadi pusat pembelajaran dan pengajaran. Pengaruh Yi Hwang sangat besar dalam membuka akses pendidikan di Sosuseowon untuk berbagai lapisan masyarakat, termasuk menerima siswa dari latar belakang sosial yang berbeda, suatu langkah yang progresif pada masanya.

Selama era Dinasti Joseon, Sosuseowon berperan penting dalam mendidik sarjana-sarjana muda berpaham Konfusianisme. Hingga tahun 1910, lebih dari 4.000 siswa dididik di akademi ini, dengan banyak dari lulusannya menjadi sarjana berpengaruh dan pejabat tinggi pemerintahan. Kurikulum di Sosuseowon difokuskan pada karya-karya Konfusianisme dan karya sastra klasik, dengan tujuan untuk mengembangkan intelektual dan moral para siswanya.

Ju Se-bung, yang menjabat sebagai magistrat Punggi County, memegang peranan penting dalam pendirian Sosuseowon. Ju Se-bung merancang akademi ini tidak hanya sebagai lembaga pendidikan saja, tetapi juga sebagai tempat peringatan, yang kemudian menjadi model bagi akademi-akademi seowon lain di Korea pada masa setelahnya. Di bawah kepemimpinan Ju, Sosuseowon juga mulai mengadakan upacara peringatan bagi sarjana Konfusianisme lainnya seperti An Chuk dan An Bo pada tahun 1544.

Sosuseowon. Foto: Korea Tourism Organization

Setelah Ju Se-bung, Toegye Yi Hwang menjadi tokoh kunci lainnya yang memengaruhi perkembangan Sosuseowon. Yi Hwang berhasil mendapatkan pengakuan resmi dari Raja Myeongjong pada tahun 1550 dan mengubah nama akademi menjadi Sosuseowon untuk mencerminkan status barunya. Selain itu, Yi Hwang juga memperluas cakupan pendidikan di akademi ini dengan menerima siswa tanpa memandang status sosial mereka, termasuk anak seorang pandai besi, yang dianggap revolusioner pada saat itu. Yi Hwang kemudian mendirikan akademi lain bernama Dosan Seowon, yang semakin memperkuat warisannya dalam pendidikan Konfusianisme di Korea.

Sosuseowon adalah salah satu dari 47 akademi seowon yang berhasil bertahan dari penghapusan besar-besaran akademi Konfusianisme pada tahun 1871 oleh Heungseon Daewongun, wali Raja Gojong. Penghapusan ini merupakan bagian dari upaya reformasi yang lebih luas untuk mengurangi kekuatan dan pengaruh lembaga-lembaga Neo-Konfusianisme di Korea.

Keberhasilan Sosuseowon dalam bertahan dapat dikaitkan dengan signifikansi sejarahnya sebagai akademi seowon pertama yang menerima pengakuan kerajaan, serta hubungannya dengan para sarjana terkenal seperti An Hyang dan Yi Hwang. Sosuseowon juga berperan penting dalam melestarikan artefak budaya penting, termasuk potret An Hyang (Harta Nasional No.111) dan Raja Munseon Jeonjwado (Harta Nasional No.485).

Pada era modern, Sosuseowon beralih fungsi dari lembaga pendidikan aktif menjadi situs warisan budaya yang penting. Bangunan dan artefak yang terawat baik di Sosuseowon terus memberikan wawasan tentang masa lalu Konfusianisme di Korea. Pada tahun 2019, Sosuseowon, bersama dengan delapan akademi Neo-Konfusianisme lainnya, diakui sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO karena nilai universalnya yang luar biasa sebagai bukti tradisi Neo-Konfusianisme di Korea.

Sosuseowon dan akademi Neo-Konfusianisme lainnya memiliki dampak yang mendalam dan berkelanjutan terhadap sistem pendidikan di Korea, membentuk nilai-nilai budaya dan pendekatan pedagogis yang masih memengaruhi masyarakat Korea modern. Akademi-akademi ini membangun tradisi beasiswa yang ketat dan pembentukan moral yang kemudian tertanam dalam filosofi pendidikan Korea.

Sosuseowon. Foto: Korea Tourism Organization

Sistem seowon menekankan pentingnya hafalan, analisis kritis terhadap teks-teks klasik, dan pengembangan keterampilan kaligrafi. Fokus pada pembelajaran hafalan dan analisis teks ini masih terlihat dalam pendidikan Korea kontemporer, terutama dalam persiapan Ujian Kemampuan Masuk Perguruan Tinggi (CSAT) yang sangat kompetitif, atau dikenal sebagai Suneung.

Akademi-akademi Neo-Konfusianisme juga menanamkan rasa hormat yang mendalam terhadap pendidikan dan beasiswa dalam budaya Korea, yang turut berkontribusi pada tingginya tingkat pencapaian pendidikan di Korea Selatan dan performa yang baik dalam penilaian internasional seperti studi PISA.

Namun, warisan sistem seowon ini juga berkaitan dengan beberapa tantangan dalam pendidikan Korea saat ini. Tekanan yang intens untuk mencapai prestasi akademik, yang berakar pada tradisi Konfusianisme, telah menciptakan lingkungan pendidikan yang sangat kompetitif. Hal ini mengakibatkan tingginya prevalensi les privat (hagwon) dan jam belajar yang panjang bagi siswa, mencerminkan dedikasi yang diharapkan dalam seowon di masa lampau. Struktur hierarkis seowon, di mana para sarjana dihormati dan siswa diharapkan menunjukkan penghormatan, juga ikut memengaruhi hubungan antara guru dan murid di sekolah-sekolah Korea modern.

Prinsip pendidikan yang didirikan oleh lembaga-lembaga seperti Sosuseowon terus membentuk pendekatan Korea terhadap pembelajaran. Penekanan pada pendidikan moral seiring dengan pendidikan akademik, yang menjadi ciri khas akademi Neo-Konfusianisme, tercermin dalam fokus sekolah-sekolah Korea modern pada pengembangan karakter dan pendidikan kewarganegaraan.

Dalam beberapa tahun terakhir, ada upaya untuk menyeimbangkan nilai-nilai pendidikan tradisional dengan pendekatan yang lebih progresif. Ini termasuk inisiatif untuk mengurangi ketergantungan pada pembelajaran hafalan, mendorong kreativitas, dan mengatasi masalah kesehatan mental yang terkait dengan tekanan akademik.