Laut Timur: Antara Identitas Nasional dan Realitas Geopolitik di Asia Timur

on in History
Matahari terbit dari Laut Timur, Korea. Foto: Clementina (Wikipedia)

Dalam ranah geopolitik Asia Timur, isu penamaan laut tidak hanya mencerminkan penamaan geografis saja, tetapi juga melibatkan identitas nasional, sejarah, dan politik regional yang kompleks. Istilah “Laut Timur” digunakan untuk merujuk pada dua perairan berbeda yang masing-masing menjadi pusat perselisihan penamaan, menggambarkan dinamika sejarah dan geopolitik yang berlapis di kawasan ini.

Di Korea Selatan, “Laut Timur” merujuk pada perairan yang secara internasional dikenal sebagai Laut Jepang. Nama ini dianggap telah digunakan dalam sejarah Korea selama lebih dari 2.000 tahun. Di sisi lain, Vietnam menggunakan istilah “Laut Timur” untuk merujuk pada perairan yang dikenal oleh dunia sebagai Laut Tiongkok Selatan. Kedua penamaan ini mencerminkan pentingnya laut tersebut bagi masing-masing negara, baik dari segi ekonomi maupun keamanan nasional.

Penamaan “Laut Timur” oleh Korea Selatan memiliki sejarah panjang yang terdokumentasi dalam berbagai peta dan dokumen, baik dari Timur maupun Barat. Misalnya, teks-teks kuno Korea secara konsisten menyebut perairan tersebut sebagai “Laut Timur,” yang muncul dalam “Sejarah Tiga Kerajaan” (Samguk Sagi) yang disusun pada tahun 1145, dan pada monumen Raja Gwanggaeto yang didirikan pada tahun 414 M.

Peta-peta Barat dari abad ke-16 hingga ke-19 sering menggunakan nama seperti “Laut Korea”, “Laut Corea”, atau “Laut Timur” untuk menandai perairan tersebut. Contohnya, peta Robert Dudley tahun 1643 “Dell’Arcano del Mare” melabelinya sebagai “Mare di Corai” (Laut Korea), dan peta Guillaume de l’Isle tahun 1705 “Carte des Indes et de la Chine” menggunakan istilah “Mer Orientale ou Mer de Corée” (Laut Timur atau Laut Korea). Penggunaan nama “Laut Timur” juga dapat ditemukan dalam edisi pertama Encyclopaedia Britannica tahun 1771. Bukti-bukti ini menunjukkan bahwa penamaan tersebut telah digunakan jauh sebelum abad ke-20.

Penggunaan nama “Laut Jepang” dalam dunia internasional mulai terjadi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, bersamaan dengan ekspansi kekaisaran Jepang dan kolonisasi Korea. Pada periode ini, Korea tidak memiliki kemampuan untuk mewakili dirinya sendiri di panggung internasional, yang dipandang sebagai faktor utama dalam adopsi global nama “Laut Jepang” sebagai nama standar.

Bagi Korea Selatan, penamaan “Laut Timur” bukan hanya tentang kartografi, tetapi juga menyangkut identitas nasional dan keadilan sejarah. Korea Selatan berpendapat bahwa nama “Laut Jepang” menjadi dominan di panggung internasional selama periode ketika Korea berada di bawah penjajahan Jepang, sehingga tidak dapat mewakili dirinya sendiri. Hal ini dianggap memberi keuntungan bagi Jepang untuk mempromosikan nama pilihannya tanpa adanya oposisi.

Peta buatan Prancis pada tahun 1723, menunjukkan nama Mer De Corée (Laut Korea) Gambar: Public Domain

Sejak tahun 1992, posisi resmi pemerintah Korea Selatan adalah mendorong penggunaan nama “Laut Timur” dan “Laut Jepang” secara berdampingan dalam konteks internasional. Pendekatan ini didasarkan pada prinsip penghormatan terhadap penggunaan sejarah dan ketidakmampuan mencapai konsensus antara negara-negara terkait.

Korea Selatan berpendapat bahwa pendekatan ini sejalan dengan prinsip-prinsip kartografi internasional, terutama ketika negara-negara tidak dapat menyepakati satu nama untuk suatu fitur geografis. Mereka merujuk pada resolusi dari Organisasi Hidrografi Internasional (Resolusi 1/1972) dan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Standardisasi Nama Geografis (Resolusi III/20) untuk mendukung posisi ini.

Sengketa penamaan antara Korea Selatan dan Jepang ini mencerminkan masalah sejarah dan politik yang lebih mendalam, yang berakar dari masa penjajahan Jepang atas Korea pada awal abad ke-20. Bagi Jepang, nama “Laut Jepang” dianggap sebagai satu-satunya nama yang diakui secara internasional.

Pemerintah Jepang berpendapat bahwa nama ini diakui secara global pada awal abad ke-19, jauh sebelum penjajahan Jepang atas Korea. Jepang juga menunjukkan bahwa penggunaan nama “Laut Jepang” secara konsisten dalam publikasi Organisasi Hidrografi Internasional sejak tahun 1928 merupakan salah satu bukti penerimaan nama ini di dunia internasional.

Sengketa ini pertama kali mendapat perhatian internasional pada tahun 1992 ketika Korea Selatan secara resmi memberikan pernyataan keberatan terhadap nama “Laut Jepang” di Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Standardisasi Nama Geografis yang keenam. Sejak saat itu, Korea Selatan terus mengangkat isu ini dalam berbagai forum internasional, termasuk pertemuan Organisasi Hidrografi Internasional.

Namun, Jepang menolak proposal penggunaan nama ganda, dengan alasan bahwa hal tersebut akan menimbulkan kebingungan dalam navigasi dan bertentangan dengan tujuan Organisasi Hidrografi Internasional untuk menstandarisasi peta dan publikasi hidrografi. Jepang juga menyoroti fakta bahwa ada beberapa wilayah laut di seluruh dunia yang juga disebut dengan nama “Laut Timur” dalam berbagai bahasa, yang dapat menambah kerancuan jika diadopsi untuk perairan tertentu.

Sengketa penamaan Laut Timur (Laut Jepang) dan Laut Tiongkok Selatan (Laut Timur bagi Vietnam) memiliki implikasi ekonomi yang signifikan bagi kawasan dan negara-negara yang terlibat. Perairan ini sangat penting untuk perdagangan maritim, perikanan, dan sumber daya energi, sehingga sengketa penamaan dan teritorial ini memiliki dampak ekonomi yang substansial.

Laut Jepang/Laut Timur merupakan jalur pelayaran vital yang menghubungkan Asia Timur Laut dengan pasar global. Laut ini juga memiliki hasil perikanan berharga yang penting bagi perekonomian Jepang dan Korea Selatan. Sengketa penamaan ini berpotensi memengaruhi hak penangkapan ikan dan batas-batas maritim, yang dapat berdampak pada aktivitas ekonomi di kawasan ini.

Di sisi lain, Laut Tiongkok Selatan, yang disebut sebagai Laut Timur oleh Vietnam, memiliki signifikansi ekonomi yang lebih besar. Laut yang meliputi area seluas sekitar 3,5 juta kilometer persegi ini merupakan jalur maritim penting yang menghubungkan Samudra Hindia dan Pasifik. Karenanya, laut ini menjadi salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia, dengan sekitar sepertiga perdagangan maritim global melewati perairan ini. Selain itu, garis pantai yang panjang dan banyaknya pulau yang berada di Laut Timur, termasuk bagian dari kepulauan Spratly dan Paracel, sangat signifikan bagi klaim teritorial dan kedaulatan maritim Vietnam.

Peta Kepulauan Spratly. Gambar: Department of State, US

Laut ini juga kaya akan sumber daya alam, termasuk cadangan minyak dan gas yang substansial yang mungkin melebihi cadangan sumber daya di Timur Tengah. Selain itu, laut ini merupakan wilayah penangkapan ikan terbaik keempat di dunia, dengan produksi sekitar 6 juta ton makanan laut setiap tahunnya, atau setara dengan 10% dari total tangkapan dunia.

Sengketa ini juga memengaruhi ketertarikan perusahaan internasional untuk berinvestasi dalam eksplorasi dan ekstraksi energi lepas pantai. Ketidakpastian yang diakibatkan dari sengketa ini dapat menghambat perkembangan ekonomi dan eksploitasi sumber daya alam di kawasan tersebut.

Lokasi strategis Laut Timur (Laut Tiongkok Selatan) telah menjadikannya titik fokus sengketa teritorial di antara beberapa negara, termasuk Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei. Sengketa ini memiliki implikasi signifikan bagi stabilitas regional dan hubungan internasional.

Pulau Spratly dan Paracel, yang terletak di pusat Laut Timur, memiliki nilai strategis penting bagi pertahanan nasional. Pulau-pulau ini dapat digunakan sebagai lokasi stasiun informasi, pengendalian lalu lintas udara, penunjuk navigasi, dan titik pengisian bahan bakar.

Sengketa penamaan atas Laut Timur/Laut Jepang dan Laut Tiongkok Selatan/Laut Timur menyoroti interaksi yang rumit antara faktor sejarah, budaya, dan geopolitik di kawasan maritim Asia. Kontroversi ini melampaui kartografi semata, tetapi juga melibatkan isu-isu sensitif tentang identitas nasional dan kedaulatan.

Meskipun ada upaya diplomatik yang berkelanjutan, belum ada resolusi yang dapat disetujui oleh semua pihak. Pendekatan terbaru yang diusulkan oleh Organisasi Hidrografi Internasional adalah untuk menggantikan penamaan dengan nomor dalam standar digital. Usulan tersebut dapat menjadi salah satu alternatif, namun akar permasalahan sengketa penamaan ini menunjukkan bahwa isu ini akan tetap menjadi masalah yang penuh kontroversi dalam diplomasi regional dan forum internasional di masa mendatang.