Korea Selatan berada pada titik penting dalam hubungannya dengan kecerdasan buatan (AI). Survei terbaru menunjukkan bahwa mayoritas masyarakatnya optimis terhadap potensi AI. Lebih dari 75% responden menilai AI bermanfaat bagi kesejahteraan sosial, tetapi mereka juga mengkhawatirkan privasi dan keamanan pekerjaan.
Kondisi ini tercermin pula di sektor bisnis, di mana kesadaran tinggi akan pentingnya AI masih belum diimbangi dengan adopsi teknologi yang luas. Regulasi terkini, seperti Undang‑Undang Dasar tentang Pengembangan Kecerdasan Buatan dan Penciptaan Dasar Kepercayaan (AI Basic Act), menempatkan Korea Selatan di garis terdepan tata kelola AI di kawasan Asia.
Dengan infrastruktur teknologi mutakhir dan budaya terbuka terhadap inovasi, negara ini berusaha untuk menyeimbangkan antusiasme dengan pendekatan yang pragmatis.
Tingkat Kesadaran dan Ketertarikan
Masyarakat Korea Selatan menunjukkan keingintahuan tinggi terhadap AI. Menurut survei tahun 2024, 79% responden menyatakan tertarik untuk mempelajari AI, dan 78% menyatakan telah merasakan perkembangan teknologi ini dalam kehidupan sehari‑hari. Ketertarikan meningkat di semua kelompok usia dan jenjang pendidikan, misalnya pada responden berusia 30–50 tahun serta mereka dengan pendidikan setingkat SMA ke bawah.
Pandangan terhadap dampak AI terbagi antara ranah pribadi dan sosial. Sekitar 50% menilai AI memperbaiki kualitas hidup individu (naik 11 poin persen dari tahun sebelumnya), sedangkan 66% percaya AI dapat memberikan manfaat positif bagi masyarakat luas. Hal ini menunjukkan harapan yang lebih besar terhadap efek kolektif AI dibanding pengalaman pribadi.
Namun, respons emosional warga Korea Selatan terhadap AI cukup terbagi. Responden yang menunjukkan keingintahuan mencapai 83% dan 82% responden memiliki harapan positif terhadap AI, namun tingkat kecurigaan dan ketakutan juga tinggi, yaitu 61% bagi keduanya. Pada kelompok mahasiswa, 75,6% menilai AI secara positif, tetapi hanya 41,7% yang benar‑benar memercayai layanan AI, memperlihatkan kesenjangan antara penilaian dan kepercayaan.
Kekhawatiran dan Harapan
Meskipun optimis, masyarakat masih memiliki kekhawatiran terkait AI. Sebagian besar responden meyakini AI dapat memperburuk masalah privasi, meningkatkan ketimpangan ekonomi, menurunkan kemampuan manusia karena ketergantungan pada teknologi, dan menggantikan tenaga kerja di berbagai sektor. Kendati demikian, harapan tinggi juga muncul atas potensi AI, dengan mayoritas percaya bahwa AI dapat membawa manfaat kemanusiaan, meningkatkan kualitas hidup, dan berperan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi baru.
Di kalangan pelaku bisnis, terdapat jurang antara pengakuan akan pentingnya AI dan implementasi nyata teknologi ini. Menurut data, 78,4% pelaku usaha menyadari perlunya AI untuk meningkatkan produktivitas dan kinerja, tetapi hanya sekitar 30,6% yang benar‑benar menggunakan teknologi AI dalam operasional mereka. Adopsi AI bervariasi menurut sektor, di mana sektor jasa mencatat tingkat adopsi tertinggi sekitar 53%, sedangkan manufaktur di kisaran 23,8%. Lebih spesifik lagi, bidang keuangan dan layanan TI memimpin dengan tingkat penggunaan mencapai 57,1% dan 55,1%.
Dari sisi ukuran perusahaan, adopsi AI paling banyak dijumpai pada perusahaan besar dengan angka 48,8%, diikuti perusahaan menengah 30,1%, dan perusahaan kecil 28,7%. Secara geografis, wilayah metropolitan Seoul mencatat tingkat adopsi mencapai 40,4%, sementara di luar kawasan tersebut hanya berkisar 17,9%.
Adopsi dan Implementasi di Industri
Perusahaan yang telah menerapkan AI umumnya memanfaatkannya untuk penelitian dan pengembangan produk, analisis data, manajemen kualitas dan produksi, serta untuk layanan pelanggan. Salah satu manfaat utama yang paling dirasakan adalah efisiensi waktu dan pengurangan biaya operasional. Antusiasme terhadap pengembangan lebih lanjut juga tinggi, di mana sebagian besar perusahaan berencana menambah jenis teknologi AI yang digunakan dan meningkatkan anggaran investasi.
Namun, perusahaan yang belum mengadopsi AI menyebutkan beberapa kendala utama yang mereka hadapi, seperti keterbatasan kemampuan teknis, infrastruktur yang belum memadai, beban biaya investasi, serta keraguan terhadap keandalan hasil teknologi AI. Hampir separuh dari mereka sama sekali tidak memiliki rencana untuk mengimplementasikan AI di masa depan.
Regulasi AI
Dari sisi regulasi, Undang‑Undang Dasar tentang Pengembangan Kecerdasan Buatan yang mulai berlaku pada 22 Januari 2026 mengatur cakupan ekstrateritorial dan menerapkan pendekatan berbasis risiko. Pemerintah menyediakan dukungan infrastruktur, menetapkan pengawasan ketat pada sistem AI berdampak tinggi di sektor kritis seperti kesehatan dan energi, serta mewajibkan transparansi bagi penyedia layanan AI generatif. Respons industri pun beragam, beberapa perusahaan global meminta fleksibilitas regulasi agar inovasi tidak terhambat, sementara pemerintah berupaya menyeimbangkan keamanan publik dan daya saing nasional.
Sikap publik terhadap regulasi AI relatif pasif. Survei menunjukkan kurang dari 60% responden mendukung pembentukan lembaga independen untuk mengawasi pengembangan AI generatif, menempatkan Korea Selatan di urutan terendah kedua dibanding sepuluh negara. Begitu pula, hampir sepertiga responden menghendaki regulasi terhadap perusahaan yang menggantikan tenaga kerja dengan teknologi AI.
Harapan di Masa Depan
Dalam kehidupan sehari‑hari, warga Korea Selatan menaruh harapan bahwa AI akan unggul dalam tugas‑tugas tertentu, seperti penerjemahan bahasa. Namun, mereka kurang yakin AI dapat menggantikan peran manusia dalam menciptakan ekspresi kreatif ataupun humor. Kekhawatiran tentang penggantian pekerjaan juga tinggi, dengan sebagian besar percaya bahwa jumlah pekerjaan yang hilang akan melebihi kesempatan baru yang tercipta.
Integrasi AI dalam budaya populer juga berkembang pesat. Industri hiburan, terutama K‑pop, memanfaatkan teknologi AI untuk menyelenggarakan konser virtual dan membantu proses produksi kreatif selama pandemi. Langkah ini menunjukkan bahwa AI tidak hanya berdampak pada sektor bisnis saja, tetapi juga merambah ke ranah budaya dan kehidupan sosial.
Secara regional, antusiasme terhadap AI di Korea Selatan tergolong tinggi—sejalan dengan negara‑negara Asia lain seperti Tiongkok, Indonesia, dan Thailand. Warga Asia umumnya lebih terbuka terhadap adopsi teknologi baru dibandingkan dengan masyarakat di Eropa atau Amerika Utara.
Studi kasus Korea Selatan menggambarkan bagaimana sebuah negara berusaha untuk menyeimbangkan dinamika antara penerimaan teknologi baru dan kebutuhan melindungi kepentingan publik. Dengan mengkombinasikan regulasi komprehensif, dukungan infrastruktur, dan budaya inovasi, Korea Selatan memberikan contoh tentang bagaimana antusiasme terhadap AI dapat dipadukan dengan kehati‑hatian dan strategi jangka panjang untuk memastikan manfaat teknologi dirasakan secara adil oleh seluruh lapisan masyarakat.