Ilustrasi rumah sakit. Foto: Zoshua Colah (Unsplash)

Program makan siang gratis di Korea Selatan dirancang untuk menyediakan asupan nutrisi seimbang bagi jutaan siswa setiap harinya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, program ini menghadapi tantangan serius akibat kasus keracunan makanan yang berulang. Dua insiden besar yang paling menonjol adalah wabah norovirus dari kimchi pada Juli 2024 dan kontaminasi Salmonella dalam roti pada Mei 2025. Kedua kasus ini memperlihatkan kerentanan sistem distribusi pangan terpusat meskipun pengawasan yang teliti sudah diberlakukan.

Pada Juli 2024, terjadi salah satu kasus keracunan makanan terbesar di Namwon, Provinsi Jeolla Utara. Sebanyak 1.024 siswa dan staf dari 24 sekolah mengalami gejala muntah, diare, dan sakit perut setelah mengonsumsi kimchi yang terkontaminasi norovirus. Lonjakan kasus terjadi sangat cepat, dari 153 kasus pada 6 Juli menjadi 745 kasus dalam 24 jam berikutnya. Uji laboratorium menemukan virus dalam sampel pasien, lingkungan sekolah, serta kimchi yang dikonsumsi.

Ilustrasi laboratorium. Foto: Trnava University (Unsplash)

Pemerintah kota langsung menghentikan produksi dan penjualan dari perusahaan kimchi yang terlibat, serta melakukan penarikan produk. Otoritas kesehatan pun menekankan bahaya dari dehidrasi berat, terutama bagi anak-anak, lansia, dan orang-orang dengan kondisi medis tertentu. Kasus ini menyoroti risiko makanan fermentasi yang tidak melalui proses pemanasan sebelum dikonsumsi, sekaligus kelemahan sistem distribusi makanan sekolah yang terpusat.

Insiden keracunan makanan kembali terjadi pada Mei 2025 akibat adanya kontaminasi pada produk roti yang diproduksi oleh Mother Goose dan didistribusikan Foodmerce, anak perusahaan Pulmuone. Sebanyak 208 orang di empat provinsi terdampak setelah mengonsumsi dua produk roti berlabel “High-Calcium.” Gejala utama berupa diare dan muntah dialami oleh banyak siswa di Cheongju, Jincheon, Sejong, dan Buan.

Analisis genetik oleh Badan Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea mengidentifikasi jenis Salmonella yang sama pada pasien dan sampel makanan. Sekitar 27.000 produk roti telah beredar dalam dua hari sebelum ditarik. Kementerian Keamanan Pangan dan Obat-obatan memerintahkan penarikan segera, sementara Pulmuone melakukan penarikan sukarela seluruh produk terkait. Kasus ini kembali menyoroti bagaimana kontaminasi di tingkat produsen dapat berdampak luas melalui jaringan distribusi nasional.

School Meals Act memberikan sanksi berat bagi pelanggaran keamanan pangan, termasuk hukuman penjara hingga tujuh tahun dan denda hingga ₩100 juta. Undang-undang ini mewajibkan penerapan protokol kebersihan yang ketat mulai dari perencanaan menu, pengadaan bahan, hingga penyajian makanan. Perubahan besar muncul pada tahun 2006 setelah adanya insiden keracunan yang menimpa 1.500 siswa, mengalihkan pengelolaan dari perusahaan swasta ke pengawasan langsung oleh sekolah.

Ilustrasi pengadilan. Foto: Saúl Bucio (Unsplash)

Namun, meskipun sudah ada ancaman sanksi berat, efektivitasnya masih dipertanyakan. Kasus pada 2024 dan 2025 menunjukkan adanya celah dalam penerapan hukum dan lemahnya efek jera, terutama karena proses hukum sering kali tidak mencapai hukuman maksimal.

Selain School Meals Act, Food Sanitation Act digunakan untuk menindak produsen pangan. Dalam kasus roti yang terkontaminasi Salmonella, perusahaan Mother Goose diperiksa atas dugaan kelalaian proses sterilisasi. Undang-undang ini menempatkan tanggung jawab ketat pada produsen untuk memastikan kepatuhan terhadap standar keamanan, dengan sanksi pidana dan denda besar.

Sejak Korea Selatan mendeklarasikan krisis keamanan pangan nasional pada 2023, penegakan hukum semakin diperketat. Regulasi baru bahkan mewajibkan sterilisasi bahan mentah untuk produk berisiko tinggi seperti kimchi. Langkah ini menunjukkan pergeseran dari pendekatan reaktif menuju pencegahan melalui pengawasan ketat dan ancaman sanksi.

Kasus keracunan makanan yang melibatkan ribuan siswa memperlihatkan tantangan besar dalam menjaga keamanan pangan. Meskipun sudah ada kerangka hukum yang komprehensif, kedua insiden tersebut menunjukkan perlunya perbaikan dalam penegakan, transparansi rantai pasok, serta sistem distribusi yang lebih terdesentralisasi. Perlindungan kesehatan siswa perlu didukung dengan adanya konsistensi pengawasan, keterlibatan produsen, dan edukasi konsumen.