Gochujang: Sejarah, Proses Fermentasi, dan Peran Penting dalam Kuliner Korea

on in Food

Gochujang adalah salah satu bumbu dasar yang penting dalam kuliner Korea. Pasta hasil fermentasi ini memiliki perpaduan rasa pedas, manis, dan gurih yang kompleks. Dibuat dari bubuk cabai merah, beras ketan, kacang kedelai yang difermentasi, dan garam, gochujang telah mendapatkan popularitas di dunia internasional sebagai bumbu serbaguna yang mampu memberikan kedalaman rasa pada berbagai hidangan.

Sejarah gochujang sudah berlangsung selama berabad-abad, dengan akarnya yang berhubungan erat dengan tradisi kuliner Korea kuno. Meskipun asal-usul pastinya masih diperdebatkan, bentuk awal pasta pedas di Korea dapat dilacak kembali hingga abad ke-9. Dokumen asal Tiongkok dari periode tersebut menyebutkan tentang “pasta lada” Korea, meskipun kemungkinan besar mengacu pada pasta yang dibuat dengan merica hitam atau lada Korea (chopi) dan bukan cabai merah.

Gochujang mengalami perubahan besar pada abad ke-16, ketika pedagang Portugis memperkenalkan cabai merah dari Amerika ke Korea. Dalam waktu singkat, cabai merah ini menyatu dalam kuliner Korea. Pada awal abad ke-18, gochujang telah menjadi pasta cabai seperti yang kita kenal sekarang.

Salah satu teks dari masa itu yang berjudul “Jeungbo Sallim Gyeongje” merinci resep gochujang yang menggunakan bubuk kacang kedelai fermentasi (meju), bubuk cabai, tepung beras ketan, dan kecap kedelai. Kombinasi bahan-bahan dasar yang digunakan tetap konsisten hingga hari ini, meskipun proporsi dan komponen tambahan bisa bervariasi.

Dinasti Joseon (1392-1910) juga memainkan peran penting dalam meningkatkan status gochujang. Raja Taejo, pendiri dinasti tersebut, konon menemukan gochujang dari wilayah Sunchang saat mengunjungi sebuah kuil. Ia terkesan dengan rasanya dan memerintahkan gochujang untuk disajikan kepada keluarga kerajaan. Hal ini kemudian menjadikan Sunchang sebagai pusat produksi gochujang yang terkenal, dan reputasinya tetap bertahan hingga hari ini.

Pada abad ke-18 dan setelahnya, gochujang semakin sering disebutkan dalam literatur Korea. Buku “Somun Saseol” dan “Revised and Augmented Farm Management” mencatat pentingnya gochujang dalam masakan Korea. Sunchang, yang terletak di Provinsi Jeolla Utara, semakin dikenal sebagai penghasil gochujang terbaik, dan setiap tahunnya Festival Gochujang Sunchang diselenggarakan untuk merayakan bumbu ini.

Fermentasi merupakan proses penting dalam peningkatan manfaat nutrisi dan pengembangan cita rasa yang kompleks dari gochujang. Secara tradisional, proses fermentasi gochujang memakan waktu 2 hingga 6 bulan. Namun, beberapa produsen bahkan dapat memfermentasikannya hingga 3 tahun. Proses ini dimulai dengan mencampurkan bahan utama seperti bubuk cabai merah, tepung beras ketan, bubuk kacang kedelai fermentasi (meju garu), garam, dan bubuk malt barley.

Onggi yang digunakan untuk fermentasi gochujang. Foto: OlkhichaAppa (Wikipedia)

Campuran ini kemudian ditempatkan dalam pot tembikar yang dikenal sebagai onggi, yang memungkinkan sirkulasi udara dapat tetap terjaga. Selama fermentasi, terjadi beberapa proses utama, seperti penguraian pati oleh enzim amilase dari malt barley yang mengubahnya menjadi gula sederhana, memberikan rasa manis pada gochujang. Selain itu, protease memecah protein menjadi asam amino yang meningkatkan rasa umami.

Aktivitas mikroba seperti Bacillus subtilis dan bakteri asam laktat berkontribusi pada pengembangan rasa dan pengawetan. Seiring berjalannya waktu, warna merah gochujang akan menjadi semakin pekat akibat reaksi kimia, dan interaksi yang kompleks antar bahan menghasilkan rasa pedas, gurih, dan manis yang khas.

Faktor lingkungan sangat penting dalam fermentasi. Secara tradisional, gochujang difermentasi di luar ruangan, terpapar sinar matahari di siang hari, dan ditutup pada malam hari. Produsen modern sering menggunakan lingkungan dengan suhu yang terkontrol untuk memastikan hasil fermentasi yang konsisten. Proses ini tidak hanya mengembangkan rasa, tetapi juga meningkatkan kandungan nutrisi gochujang, membuatnya lebih mudah diserap oleh tubuh. Selain itu, fermentasi juga dapat mengurangi faktor anti-gizi yang ada dalam kacang kedelai, sehingga meningkatkan nilai gizi secara keseluruhan.

Selama fermentasi, pemantauan yang cermat sangat penting untuk mencegah pertumbuhan jamur yang tidak diinginkan. Jika jamur muncul di permukaan, biasanya akan dikikis, dan area tersebut ditaburi garam atau alkohol untuk mencegah jamur untuk bertumbuh kembali.

Gochujang telah menjadi elemen yang sangat penting dalam berbagai hidangan tradisional Korea. Sebagai bahan serbaguna, pasta pedas ini sering digunakan dalam hidangan seperti jeyuk bokkeum, yaitu tumis daging babi pedas dengan gochujang sebagai dasar marinasi. Tteokbokki, kue beras kenyal yang dimasak dengan saus berbasis gochujang, adalah contoh hidangan populer lainnya.

Jeonju bibimbap. Foto: lovelyheewon (Pixabay)

Bibimbap, hidangan nasi campur dengan sayuran dan saus gochujang, adalah salah satu contoh paling terkenal yang memperlihatkan kemampuan gochujang untuk menambahkan kedalaman rasa pada hidangan yang sederhana. Gochujang juga menjadi bumbu utama dalam dakgalbi, tumis ayam pedas, dan gochujang jjigae, semur yang mengandalkan gochujang sebagai bumbu utamanya.

Gochujang juga memiliki peran penting dalam barbekyu Korea. Bumbu ini sering digunakan sebagai dasar untuk marinasi daging sebelum dipanggang, serta menjadi bahan penting dalam saus celup seperti ssamjang, yang biasanya disajikan dengan daging barbekyu.

Selain itu, gochujang juga sering digunakan sebagai glasir selama proses pemanggangan, memberikan lapisan rasa karamel yang kaya pada daging. Kombinasi unik antara rasa pedas, manis, dan umami yang dihasilkan dari fermentasi membuat gochujang mampu meningkatkan rasa hidangan barbekyu dengan kompleksitas yang mendalam.

Gochujang telah berevolusi dari bumbu tradisional Korea menjadi bahan yang dikenal oleh dunia, dihargai karena profil rasanya yang kompleks dan serbaguna dalam berbagai jenis masakan. Kombinasi unik dari rasa pedas, manis, dan umami telah membuat gochujang menjadi favorit di kalangan koki dan penggemar kuliner di seluruh dunia. Proses fermentasi yang khas tidak hanya mengembangkan rasa gochujang, tetapi juga meningkatkan nilai gizinya, memberikan potensi manfaat kesehatan.

Seiring dengan popularitasnya yang semakin mendunia, gochujang kini telah menemukan tempatnya dalam masakan fusi dan aplikasi non-tradisional, yang menunjukkan fleksibilitasnya di luar hidangan Korea. Namun, penting untuk mempertahankan metode produksi tradisional dan menjaga keaslian gochujang, terutama seperti yang dilakukan di daerah penghasil gochujang terkenal seperti Sunchang.

Perjalanan panjang gochujang dari bumbu khas daerah menjadi bahan yang diakui secara internasional mencerminkan pelestarian tradisi kuliner Korea sekaligus kemampuannya untuk beradaptasi dengan selera dan pengaruh global. Ini juga menjadi bukti bahwa bahan dengan rasa yang kompleks seperti gochujang semakin dihargai di seluruh dunia, dan minat terhadap tradisi kuliner yang beragam terus bertumbuh.